
Padahal kalau mau dilihat kronologi sejarahnya, kegaduhan soal ijazah palsu ini sebenarnya sudah dimulai dari peristiwa yang terjadi sekitar 12 tahun silam, tepatnya saat berlangsung Seminar “Memimpin dengan Hati”, yang diselenggarakan di Universitas Islam Indonesia (UII) Jogja, pada Jumat 28 Juni 2013. Acara yang dihadiri Prof Mahfud MD (MMD), Buya Syafii Maarif, Jokowi dan moderator Rosiana Silalahi
Oleh : Roy Suryo*
JERNIH– Kasus “palsu-memalsu” semakin ramai. Selain sudah ada gugatan pidana dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) tentang ijazah palsu di Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Bareskrim Mabes Polri) yang terdaftar melalui Aduan Masyarakat (DuMas) semenjak Desember 2024 lalu, mantan Presiden Jokowi juga melaporkan pencemaran nama baik melalui Polda Metrojaya. Ada pula beberapa onderbouw-nya (alias “Termul”, istilah dari netizen +62) membuat laporan serupa di beberapa Polres yang ada.
Sementara itu sudah berlangsung juga gugatan perdata soal ijazah palsu SD-SMP-SMA hingga S1-nya di Pengadilan Negeri (PN) Surakarta, yang diadukan Dr Taufik dkk. Sempat sampai ke tahap mediasi, kasus itu dead-lock karena tidak kooperatifnya pihak Jkw. Ada lagi gugatan ke UGM dan delapan pihak terkait melalui PN Sleman yang diajukan oleh Ir Komarudin, sebagaimana disampaikan Juru bicara PN Sleman, Cahyono SH MH, yang sudah terdaftar semenjak 05/05/25 dan rencananya mulai disidangkan Kamis (22/05/2025) nanti.

Perkembangan terakhir yang paling menarik adalah Gercep alias Gerak Cepat-nya Tim Bareskrim Polri yang meluncur ke Solo dan Jogja untuk mengambil keterangan dari beberapa orang (yang disebut-sebut sebagai “kawan SMA dan Mahasiswa” Jkw, selain juga memeriksa bukti-bukti terkait di SMAN 6 (dulu SMPP 40) Surakarta dan UGM Yogyakarta. Tercatat tak kurang dari 30 lebih orang yang sudah dimintai keterangan soal ini, meski tidak jelas disebutkan siapa-siapa identitasnya dan dari pihak / afiliasi mana mereka semua.
Di sisi lain, setelah Dirpitidum Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro mengumumkan hasil di Solo dan Jogja sudah mencapai 90 persen, secara “kebetulan” seseorang bernama Wahyudi Andrianto yang dikenal sebagai adik Iriana, mendatangi Gedung Bareskrim membawa sebuah tas tenteng yang diklaim berisi “semua ijazah asli (?)” untuk diuji di laboratorium forensik (Labfor) Mabes Polri. Kedatangan Ipar Jokowi ini cukup menarik perhatian, karena sebenarnya laporan (Dumas) TPUA itu belum diumumkan nomor LP-nya. Mendadak, seperti terburu waktu, dilakukan setelah ada laporan Jokowi di Polda Metro.
Mengapa kesan “saling ingin didahulukan” ini terasa kental, karena memang sebagaimana kekhawatiran mayoritas masyarakat yang mencurigai independensi korps Polri, hasil labfor tersebut nanti sudah bisa diprediksi hanya akan menguatkan, alias memberi hasil “Asli” dari ijazah yang sebenarnya ditengarai palsu selama ini. Hal itu jelas akan membuat laporan (Dumas) TPUA di Bareskrim di-SP3-kan, alias dihentikan, semata-mata agar laporan pencemaran nama baik yang diajukan Jokowi di Polda Metro yang malah sengaja dikerjakan.
Karenanya tidak heran, bahwa meski tertulisnya sebagai “Undangan Klarifikasi” namun minggu-minggu ini sangat terasa kesan dipaksakan pemanggilan untuk tokoh-tokoh ilmuwan, aktivis dan ulama untuk langsung diberkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di Polda Metro Jaya, yang dalam suratnya dituliskan banyak pasal, mulai dari Pasal 310 dan 311 KUHP, Pasal 35 jo Pasal 51 atau Pasal 32 jo Pasal 48 UU ITE, juga Pasal 27A UU ITE. Dari pasal-pasal di atas terdapat pasal-pasal selundupan, yang ancaman hukumannya di atas delapan bahkan 12 tahun, sehingga bisa dimanfaatkan subyektivitas aparat untuk melakukan penahanan.
Tercatat mulai dari Rustam Effendi, Damai Hari Lubis, Ibu Kurnia Tri Royani SH, Rizal Fadillah SH, hingga dr Tifauzia Tyassuma, Dr Rismon Sianipar, saya, bahkan Mikhael Sinaga dari podcast Sentana-pun sudah mendapatkan Undangan Klarifikasi tersebut, meski ada yang baru secara elektronik alias belum sah secara hukum karena baru dikirim melalui sarana WA (WhatsApp) melalui HP. Kabarnya masih akan banyak lagi yang diundang, termasuk podcast-podcast yang sebenarnya merupakan pilar keempat demokrasi di Indonesia untuk memberitakan apa-apa yang tidak berani diberitakan atau didiskusikan melalui media mainstream yang kabarnya tidak berani lantang bersuara.
Padahal kalau mau dilihat kronologi sejarahnya, kegaduhan soal ijazah palsu ini sebenarnya sudah dimulai dari peristiwa yang terjadi sekitar 12 tahun silam, tepatnya saat berlangsung Seminar “Memimpin dengan Hati”, yang diselenggarakan di Universitas Islam Indonesia (UII) Jogja, pada Jumat 28 Juni 2013. Acara yang dihadiri Prof Mahfud MD (MMD), Buya Syafii Maarif, Jokowi dan moderator Rosiana Silalahi tersebut sempat menyinggung perolehan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) saat mereka kuliah. Dengan bangganya MMD bercerita bahwa IPk-nya 3,8 sedangkan Jokowi sendiri mengaku bahwa IPK-nya “dua saja tidak ada” alias di bawah 2.
Di sinilah awalnya orang yang kritis mulai curiga terhadap kebenaran kuliah Jokowi yang disebut-sebut “Lulus” dari Fakultas Kehutanan UGM tahun 1985 selama lima tahun, karena syarat untuk bisa lulus antara lain adalah menempuh minimal 144 SKS (dengan IPK di bawah 2 jelas lebih dari lima tahun studinya), IPK minimal 2,0 dan tidak ada nilai E, kemudian nilai D tidak melebihi 25 persen total SKS, mendapat nilai minimal C untuk Pancasila dan Agama, serta harus selesai Skripsi dan Pendadaran.
Catatan: khusus soal pentingnya skripsi ini akan dibahas dalam tulisan selanjutnya karena sangat penting sebelum ada ijazah yang diterbitkan.
Kesimpulannya, kasus yang kecurigaan masyarakatnya sudah muncul sejak 12 tahun silam tersebut bahkan sudah memakan korban Bambang Trimulyono dan Gus Nur akibat penyelundupan pasal-pasal karet dalam persidangan di tahun 2022 lalu. Akankah diulangi lagi di tahun 2025 ini? Tentu kali ini tidak, masyarakat sudah semakin cerdas dan Inshaa Allah Gusti Allah SWT tidak sare. “Wis wayahe” kata pepatah, alias kali ini kalau tidak mau #IndonesiaGelap terulang lagi, seharusnya kasus ijazah palsu ini terbongkar. []
- Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes; Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen