SolilokuiVeritas

Bangsa yang Hilang Akal

Silaturahmi antarpelaku politik dalam konteks Pilpres akan menyejukan situasi konfliktual yang terbangun saat ini. Sayang, para pemainnya akan menafsirkan Idul Fitri secara berbeda. Semuanya akan disesuaikan dengan kepentingan politik. Dus, misalnya, nyaris mustahil Cak Imin, Puan, atau Prabowo mengunjungi Anies, AHY, atau Ahmad Syaikhu.

Oleh   :  Smith Alhadar*

JERNIH–Kita berada dalam ketidakpastian yang sempurna. Tidak ada seorang pun tahu apa yang akan terjadi besok. Bahkan, elite politik penentu masa depan bangsa kebingungan menghadapi situasi kalut saat ini. Sementara, proses Pilpres kehilangan rasionalitasnya berdasarkan norma yang berlaku.

Undang-undang telah menetapkan Pilpres berlangsung pada 14 Februari 2024. Namun, kemungkinan penundaan atau pembatalan tetap terbuka. Pada hari-hari  mendatang kekekacuan sosial-politik bisa terjadi — baik terpicu secara alami oleh akumulasi persoalan bangsa maupun direkayasa– dan syahwat kekuasaan pemerintah untuk berkuasa lebih lama masih bertahan.

Kita bingung karena secara objektif pemerintah gagal di hampir semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Ekonomi amburadul, korupsi merajalela, utang negara menggunung, kemiskinan meluas, demokrasi merosot, dan penegak hukum tak dapat diandalkan.

Kita bingung dan kaget karena, menurut hasil survey, kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah tetap tinggi. Kemerosotan bangsa yang kasat mata ternyata diganjar dengan kepuasan pada kinerja pemerintah. Lalu, kendati pendaftaran ke KPU tinggal enam bulan lagi, belum ada bacapres dan bawacapres yang dapat dipastikan akan berlaga di ajang Pilpres mendatang.

Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan PKS telah membentuk Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) dengan Anies Baswedan sebagai bacapresnya. Tetapi penguasa masih berusaha dengan berbagai cara untuk membuyarkannya, termasuk melalui instrumen hukum.

KPK terus ditekan untuk segera mempersangkakan Anies terkait korupsi. KSP Moeldoko, diduga berduet dengan Anas Urbangingrum — yang mungkin dibantu penguasa melalui Kemenkumham –diharapkan bisa membegal Demokrat atau melegalisasi kubu KLB Deli Serdang di mana Moeldoko adalah ketua umumnya. Tujuannya agar Anies tidak bisa nyapres.

Ada pula yang meragukan partai dalam KPP akan konsisten mengusung Anies bila penguasa mengancam akan memenjarakan kadernya di kabinet. Kita sedih karena negara yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi, pemerintahannya  menyingkirkan hak politik warganya untuk berkontestasi dalam Pilpres, meskipun untuk itu negara bisa jatuh ke dalam turmoil.

Toh, dalam konteks penjegalan Anies, publik tak bisa terima apapun alasannya karena penguasa tak lagi dipercaya. Memang upaya KPK terlalu dipaksakan. Demikian juga manuver Moeldoko. Upaya keduanya menunjukkan pemerintah telah hilang akal sehingga menciptakan ketegangan dan ketidakpastian politik yang tinggi.

Koalisi besar — terdiri dari Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB (Golkar, PAN, PPP) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (Gerindra, PKB) — juga sedang berada dalam terowongan gelap tanpa cahaya di ujungnya. Siapa bakal capres-cawapres mereka? Tidak ada yang tahu. Mungkin setan sekalipun tidak.

Tadinya koalisi besar yang diinisiasi Jokowi diniatkan untuk mengusung Ketum Gerindra Prabowo Subianto sebagai bacapres. Karena tidak mengundang PDI-P dalam pembentukannya — dan Ganjar Pranowo disingkirkan sebagai bacapres — kita menduga Jokowi sengaja mengisolasi PDI-P yang tak menghendaki Pilpres ditunda dan bertanggung jawab atas kegagalan Indonesia menjadi host Piala Dunia U-20.

Ganjar, yang ikut-ikutan memboikot timnas Israel, mungkin dipandang telah membelakangi Jokowi. Perkiraan kita sangat mungkin salah. Prabowo bisa gagal nyapres. Yang mungkin tampil ke depan adalah Ganjar. Bahkan, terbuka kemungkinan koalisi besar bubar.

Situasi ini tercipta setelah PDI-P menawarkan diri bergabung dengan koalisi besar dengan syarat bacapresnya berasal dari kadernya. Siapakah dia? Kalau Puan Maharani yang disodorkan, sangat mungkin tak ada parpol yang berminat bergabung dengan PDI-P karena nilai jual Puan rendah. Tapi mereka tersandera oleh kasus-kasus korupsi yang mereka lakukan.

Agar bargaining position-nya meningkat, PDI-P mengklaim Jokowi akan ikut menentukan bacapresnya. Kalau demikian, Ganjar yang akan muncul sebagai bacapresnya. Tetapi Gerindra (mungkin juga PKB) akan menarik diri dari koalisi besar. Tidak masuk akal setelah dua kali sebagai capres di dua Pilpres terakhir, kini Prabowo bersedia hanya diposisikan sebagai bacawapres.

Kendati demikian, sangat mungkin KIB bersedia bergabung dengan PDIP kalau Ganjar adalah bacapres dan Ketum Golkar, Airlangga Hartarto, sebagai bacawapres. Bagaimana posisi Jokowi kalau Gerindra keluar dari koalisi besar? Apakah ia bersedia ikut menjdi penentu bakal capres-cawapres dari koalisi yang dibangun PDI-P tanpa Gerindra?

Bagaimana pula posisi Gerindra sekiranya PKB bersedia bergabung dengan koalisi yang dibangun PDI-P sehingga Prabowo tak bisa nyapres? Bagaimana sekiranya Jokowi konsisten mendukung koalisi besar tanpa PDI-P?

Kendati bisa mengusung capres-cawapres sendiri, tidak mungkin PDI-P akan berjalan sendiri tanpa koalisi karena siapa pun bakal capresnya akan langsung tereliminasi di putaran pertama. Dus, PDI-P akan terus bermanuver sampai ia mendapatkan mitra koalisi — dengan Golkar, Gerindra, atau PKB —  sehingga mengancam kelangsungan hidup koalisi besar.

PAN dan PPP tidak berguna sebagai vote getter karena sebagian besar konstituen mereka bersimpati pada Anies. Situasi ini tentu saja rumit. Tetapi bukan kita saja yang kehilangan kemampuan untuk memprediksi koalisi yang mungkin terbentuk dengan bakal capres-cawapres yang pasti. Para elite parpol pun kebingungan dalam merasionalisasi dinamika politik yang sedang berjalan. Dengan kata lain, mereka tak mengendalikan keadaan yang sangat cair ini.

Idul Fitri adalah momentum yang disediakan Islam untuk mengharmoniskan kembali kehidupan sosial setelah setahun sebelumnya kaum Muslim bertengkar untuk meraih kepentingan masing-masing. Idul Fitri diniatkan untuk umat Islam saling memaafkan dan memperkokoh kembali persaudaraan Islamiyah, insaniyah, dan wathaniyah.

Dengan begitu, mestinya para politisi — setelah kualitas hidup mereka meningkat pasca berpuasa — menemukan ruang sosial baru yang lebih luas untuk bekerja sama atau paling tidak membangun saling pengertian. Silaturahmi antarpelaku politik dalam konteks Pilpres akan menyejukan situasi konfliktual yang terbangun saat ini.

Sayang, para pemainnya akan menafsirkan Idul Fitri secara berbeda. Semuanya akan disesuaikan dengan kepentingan politik. Dus, misalnya, nyaris mustahil Cak Imin, Puan, atau Prabowo mengunjungi Anies, AHY, atau Ahmad Syaikhu.

Kalau itu terjadi, mungkin pesan yang ditangkap publik dari pertemuan mereka berbeda dengan apa yang mereka niatkan. Dalam pengertian yang sama, Megawati mungkin saja menutup pintu rumahnya bagi tokoh politik dari KPP. Alhasil, silaturahmi hanya akan terjadi antarsekutu atau calon sekutu. Rumah-rumah ketua parpol akan menjdi ruang-ruang isyarat simbolis atau negosiasi politik pada hari Lebaran.

Rumah Megawati, Jokowi, Prabowo, Surya Paloh, dan lain-lain, akan ramai dikunjungi elite yang berkepentingan dalam Pilpres. Siapa mengunjungi siapa  akan memberi interpretasi yang berbeda. Artinya, Idul Fitri akan mereka maknai secara politis.

Kalau demikian, tujuan Idul Fitri untuk menciptakan masyarakat yang guyub tidak akan terjadi karena kalangan elite akan tetap menjaga jarak dengan pihak yang dianggap lawan. Sebaliknya, Idul Fitri mungkin akan makin menegaskan perbedaan, bahkan permusuhan, di antara mereka.

Di masa lalu, kendati para politisi punya ideologi berbeda, mereka dipersatukan oleh kesamaan cita-cita kemerdekaan. Maka, kita menyaksikan bagaimana, misalnya, Ketua Partai Katolik Kasimo duduk bersama A.R Baswedan (kakek Anies) dari Partai Masyumi untuk membicarakan isu-isu kebangsaan.

Memang sekiranya politik kebangsaan dan kenegarawanan yang dikedepankan, Idul Fitri bisa menjadi sarana untuk merukunkan kembali masyarakat yang terbelah melalui teladan moral yang diperlihatkan para elite.

Secara politik, bangsa kita sedang mengalami kemerosotan sehingga akal sehat tak bisa digunakan untuk menambal luka-luka bangsa. Megawati belum juga bersahabat dengan SBY. Ia juga masih mengharamkan PDI-P berkoalisi dengan PKS dan Demokrat untuk alasan yang sulit untuk dimengerti. Sikap Megawati ini membuat ruang politik menjadi sempit.

Kita juga terperangkap dalam kebingungan terkait mega skandal korupsi dan pencucian uang senilai Rp 349 T di Kemenkeu. Siapa saja pelakunya? Mengapa Sri Mulyani dibebaskan dari tanggung jawab? Lalu, Jokowi sebagai presiden terbebas dari aib ini?

Apa yang dicapai Menko Polhukam Mahfud MD dalam kasus perampokan duit rakyat itu? Tidak ada, kecuali sekadar membangunkan masyarakat tentang bahaya yang sedang dihadapi bangsa, setelah itu meninggalkannya. Memang tidak masuk akal hasil akan didapat, sesuai ekspektasi publik, manakala Menkeu dilibatkan dalam penyelidikannya. Mana ada di dunia ini pelaku kejahatan ikut menyelidiki kasus yang dilakukannya?

Kasus ini lebih jauh menimbulkan pertanyaan tentang akal sehat DPR, lembaga tinggi negara yang anggotanya dipilih dan digaji rakyat untuk mengawasi eksekutif. Bukannya mendukung pembongkaran kasus, DPR justru menyerang Mahfud yang dituduh tidak berwenang membongkar rahasia negara. Mereka tak faham fungsi Menko Polhukam.

Terkait proyek kereta cepat Jakarta-Bandung,  juga membingungkan. Tidak masuk akal kita harus ikut memikul pembengkakan biaya proyek  ketika kesalahan dibuat pihak Cina. Tetapi Luhut justru memarahi kita yang mempertanyakan dampak buruk terhadap kita dan kemampuan negara untuk membayar utang baru dengan bunga tinggi (3,4 persen) untuk menggenapi pembengkakan biaya itu.

Mengapa kita harus menerima bunga utang yang begitu tinggi dan harus dijamin oleh APBN pula untuk kesalahan yang tidak kita lakukan? Kalau APBN dijadikan jaminan, fiskal kita akan terbebani dalam waktu lama. Tetapi sangat mungkin DPR akan menyetujuinya. Rakyat juga yang akan memikul getahnya.

Alhasil, semua yang dipaparkan di atas bersumber dari bangsa yang hilang akal. Karena itu, kita tak mampu mengontrol diri kita sendiri. Semua berjalan liar karena pragmatisme, oportunisme, dan niat jahat ditoleransi. Tujuan berbangsa dan bernegara pun hilang di cakrawala. Dan kita tak tahu jalan pulangnya. Selamat hari raya Idul Fitri, minal aidin walfaidzin, mohon maaf lahir dan batin. [  ]

*Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

Back to top button