Gelombang pasang nepotisme di Indonesia saat ini, di segala tingkatan, sebagian mencerminkan lemahnya penerapan prinsip demokrasi. Sebagian lain menggambarkan fenomena “puncak gunung es” dari meluasnya kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, nepotisme menistakan jatidiri bangsa dan prinsip demokrasi: karakter keindonesiaan dibentuk oleh semangat anti-feodalisme dan anti-kolonialisme.
Menulis di majalah Bintang Hindia, No. 1/1902, Abdul Rivai memancangkan tonggak perlawanan terhadap nepotisme. “Tak perlu memperpanjang perbincangan kita mengenai ‘bangsawan oesoel’ karena kemunculannya memang telah ditakdirkan. Jika nenek moyang kita bangsawan, kita pun bisa disebut sebagai bangsawan bahkan meskipun pengetahuan dan pencapaian kita tak ubahnya seperti ‘katak dalam tempurung’…Saat ini pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan posisi seseorang. Inilah situasi yang melahirkan munculnya ‘bangsawan pikiran’.”
Semangat anti-nepotisme juga tercermin dalam pilihan kepemimpinan negara dalam rancangan Konstitusi. Menyangkut kepala Negara, para anggota BPUPK berbeda pendapat dalam usul penyebutan namanya. Ada yang mengusulkan istilah presiden, wasir, imam, maharaja dan lain-lain. Namun, tidak ada pertentangan akan keharusan kepala negara itu dipilih oleh rakyat bukan atas dasar keturunan.
Dalam konteks prinsip demokrasi, nepotisme melanggar kesamaan hak warga negara yang menuntut prinsip fair play dan meritokrasi dalam politik. Bahwa posisi seseorang tak ditentukan oleh prinsip hereditas melainkan oleh pengetahuan, pengalaman, kreativitas dan prestasinya.
Tak terbantahkan, seseorang dari dinasti politik mendapatkan keuntungan modal sosial dan kultural, berupa proses familiarisasi lebih dini dengan “bahasa” dan pergaulan politik. Mereka juga diuntungkan oleh pengenalan publik yang lebih baik karena asosiasinya dengan keluarga terkenal. Modal inilah yang memudahkan mereka terjun ke dalam dunia politik.
Meski demikian, fakta keberuntungan tersebut sama sekali tidak boleh menafikan prinsip fair play dan meritokrasi. Siapa pun, dari keluarga mana pun, harus mengikuti proses pengkaderan dan menapaki jenjang posisi politik menurut ukuran prestasi.
Gelombang pasang nepotisme di Indonesia saat ini, di segala tingkatan, sebagian mencerminkan lemahnya penerapan prinsip demokrasi. Sebagian lain menggambarkan fenomena “puncak gunung es” dari meluasnya kesenjangan sosial dalam masyarakat. [ ]