Belajar dari Kasus Restoran Karen’s Diner: Budaya Organisasi dan Pelanggan

Salah satu efek jangka panjangnya adalah: pelanggan merasa tersinggung, karyawan tidak nyaman dengan peran fiktif yang harus mereka mainkan setiap hari, dan reputasi perusahaan menjadi buruk. Karen’s Diner akhirnya tutup di Indonesia dan juga bangkrut di Inggris karena biaya operasional dan krisis reputasi.
Oleh : Priatna Agus Setiawan
JERNIH– Pada tahun 2021, nama Karen’s Diner menjadi sensasi internasional karena konsepnya yang unik dan berbeda dari restoran pada umumnya. Di restoran ini, pelanggan justru disambut dengan pelayanan yang kasar, sarkastik, bahkan dihina secara terang-terangan.
Konon, semua itu hanya bagian dari hiburan. Banyak orang di Australia atau beberapa negara Barat menganggap konsep ini lucu dan menyegarkan, karena sudah bosan dengan standar “service with a smile”. Namun, ketika konsep ini dibawa ke negara yang budayanya sangat menjunjung kesopanan seperti Indonesia, reaksi masyarakat menjadi sangat berbeda.
Di Jakarta, Karen’s Diner sempat buka pada Desember 2022. Viral? Tentu saja. Tapi tak butuh waktu lama bagi masyarakat untuk merasa bahwa konsep “kasar” itu tidak sekadar hiburan, tapi sudah melanggar batas kesopanan. Banyak pelanggan merasa dilecehkan, bahkan beberapa video menunjukan pelayan melakukan body shaming atau merusak makanan pelanggan. Akhirnya restoran tersebut tutup hanya dalam waktu kurang dari setahun (Tempo.co, 2025; Detikfood, 2025).
Budaya Organisasi Tidak Bisa Dipaksakan
Apa pelajaran terpenting dari kegagalan Karen’s Diner di Indonesia? Bahwa sebuah budaya kerja (organizational culture) tidak bisa dipaksakan jika bertentangan dengan nilai lokal masyarakat. Budaya organisasi mencerminkan cara perusahaan memperlakukan karyawan dan pelanggan. Jika budaya internalnya adalah “bersikap kasar demi hiburan”, maka karyawan pun didorong untuk bersikap demikian setiap hari. Akibatnya, suasana kerja menjadi negatif, penuh tekanan, dan bahkan bisa menumbuhkan perilaku saling meremehkan di antara sesama staf.
Menurut artikel tentang Toxic Culture di tempat kerja (Karina Sofyan, 2023), beberapa ciri awal budaya kerja yang buruk adalah: manajemen yang keras, kritik di depan umum, dan konflik antarpegawai yang dibiarkan. Inilah yang terjadi di Karen’s Diner, bahkan bukan hanya dibiarkan, tapi justru menjadi bagian dari “konsep resmi” restoran.
Ketika Hiburan Menjadi Toxic
Sekilas, restoran ini ingin memberikan hiburan. Masalahnya, bentuk hiburannya adalah memarahi, membentak, atau menghina tamu. Di negara Barat, mungkin ejekan ringan dianggap lucu atau sekadar roasting. Tapi di Indonesia, hinaan fisik, kata-kata seperti “muka lo kayak panci gosong”, dan tindakan mencampuri makanan orang lain bukan hanya dianggap tidak sopan, tapi bisa dianggap merendahkan martabat manusia.
Salah satu efek jangka panjangnya adalah: pelanggan merasa tersinggung, karyawan tidak nyaman dengan peran fiktif yang harus mereka mainkan setiap hari, dan reputasi perusahaan menjadi buruk. Karen’s Diner akhirnya tutup di Indonesia dan juga bangkrut di Inggris karena biaya operasional dan krisis reputasi.
Pelajaran untuk Pemilik Restoran dan HRD
Agar hal serupa tidak terjadi, berikut beberapa pelajaran penting yang bisa dipetik dari kasus ini:
- Sesuaikan Budaya Layanan dengan Budaya Lokal
Tidak semua ide bisa diekspor begitu saja. Inovasi tetap perlu, tapi harus memperhatikan norma budaya masyarakat setempat. Pelayanan sengaja kasar mungkin lucu di TikTok, tapi tidak untuk pelanggan yang mencari suasana makan yang nyaman bersama keluarga.
- Bangun Komunikasi Sehat dengan Karyawan
Dalam budaya kerja yang sehat, karyawan bebas menyampaikan aspirasi tanpa takut dipermalukan. Jika mereka dipaksa bersikap kasar demi konsep, tapi secara pribadi merasa tidak nyaman, lama-lama mereka akan stres atau resign.
- Hadirkan Lingkungan Kerja yang Saling Menghargai
Restoran itu bukan panggung bebas menghina. Budaya kerja harus membangun rasa hormat, saling mendukung, dan menjaga profesionalitas, bahkan jika konsep restoran ingin “unik”.
- Perhatikan Kesehatan Mental Karyawan
Menurut berbagai survei HR modern, salah satu penyebab turnover tinggi adalah stres akibat budaya kerja toksik (Harvard Business Review, 2023). Jika pekerjaan membuat karyawan harus akting memaki orang setiap hari, mereka sendiri bisa kehilangan empati dan rentan kelelahan emosional (emotional exhaustion).
- Lakukan Evaluasi Budaya Secara Berkala
Survei kepuasan karyawan, review pelanggan, dan forum diskusi perlu rutin dilakukan agar manajemen tahu apakah budaya yang diterapkan masih sehat atau sudah melewati batas.
Kasus Karen’s Diner menjadi contoh konkret bahwa budaya organisasi harus adaptif terhadap konteks sosial masyarakat. Ketika sebuah restoran menganggap hinaan kepada pelanggan sebagai hiburan, hal itu justru menciptakan lingkungan kerja yang toxic dan merusak reputasi perusahaan. Baik di Inggris maupun Indonesia, akhir ceritanya sama: tutup lebih cepat dari yang dibayangkan.
Pelayanan yang baik bukan hanya soal kecepatan dan rasa makanan, tapi juga soal rasa hormat. Sebagaimana dinyatakan dalam artikel tentang budaya toxic di restoran, lingkungan kerja yang sehat harus dibangun dengan komunikasi dua arah, penghargaan terhadap staf, dan suasana yang saling mendukung. Restoran bukan hanya tempat bisnis, tapi juga tempat manusia bekerja — manusia yang butuh dihargai, bukan dijadikan bagian dari pertunjukan kasar setiap hari.
Jadi, bagi para pemilik usaha dan HR di bidang kuliner, inovasi boleh, tapi jangan lupa: konsep unik harus tetap sejalan dengan nilai-nilai etika, budaya, dan psikologis manusia. Budaya kerja yang sehat akan membawa loyalitas karyawan dan kepuasan pelanggan — dan itulah kunci bisnis yang bertahan lama.[]