SolilokuiVeritas

Benahi Legislatif!

DPR kehilangan efektivitas sebagai penyeimbang utama eksekutif. Cukup kooptasi pimpinan partai, maka DPR pun menjadi tukang stempel. Boleh tampak garang ketika acara dengar pendapat, tetapi keputusan akhir sudah bisa ditebak. Sikap kritis memudar, terkalahkan oleh kenyamanan fasilitas dan remunerasi yang besar.

Oleh     : Ahmad Muchlis*

JERNIH– Demonstrasi yang diikuti kerusuhan di hari-hari terakhir bulan Agustus ini jelas dipicu oleh arogansi beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kemarahan akibat sikap tersebut tampak dari penjarahan massa pada kediaman para anggota DPR yang bermasalah tersebut.

Ketidakpuasan terhadap DPR juga tampak dari hasil kajian Litbang Kompas yang menunjukkan sentimen negatif 88,9 persen pada percakapan media sosial periode 16-26 Agustus 2025.

Berkaca pada peristiwa menyedihkan ini, sudah waktunya DPR melakukan perubahan ke arah perbaikan. Praktek yang berlaku saat ini sudah waktunya untuk dievaluasi secara mendasar.

Kita menyaksikan bahwa selama ini DPR telah menjelma menjadi Dewan Perwakilan Partai. Pengambilan keputusan legislatif dilakukan lebih berdasarkan kepentingan (pimpinan) partai politik. Tidak ada akuntabilitas partai dan anggota DPR kepada konstituen, kecuali pada saat pemilihan umum (Pemilu). Penggantian antar waktu dilakukan hanya berdasarkan permintaan partai politik.

Kenyataan ini membuat DPR kehilangan efektivitas sebagai penyeimbang utama eksekutif. Cukup kooptasi pimpinan partai, maka DPR pun menjadi tukang stempel. Boleh tampak garang ketika acara dengar pendapat, tetapi keputusan akhir sudah bisa ditebak. Sikap kritis memudar, terkalahkan oleh kenyamanan fasilitas dan remunerasi yang besar.

Perubahan mendasar itu mestilah kita mulai dari bagaimana kita memaknai Pancasila. Bacalah sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Mengikuti kaidah Bahasa Indonesia, esensi sila keempat ini terletak pada kata pertama: kerakyatan.

Ini adalah kata yang diterangkan oleh kata-kata yang mengikutinya. Kerakyatan yang diwujudkan melalui perwakilan, sedangkan proses pengambilan keputusan dilakukan melalui musyawarah yang mengedepankan sikap bijaksana. Bijaksana seperti apa? Bijaksana untuk menemukan keseimbangan dan keadilan dalam memenuhi kepentingan rakyat yang sayangnya acap kali berbenturan satu sama lain.

Pengamalan sila keempat ini bisa terjadi kalau DPR dapat meletakkan kepentingan rakyat pada prioritas tertinggi mereka. Supaya hal ini terjadi, setiap anggota lembaga legislatif harus akuntabel langsung kepada konstituennya.

DPR dapat meletakkan landasan bagi perubahan itu, yaitu melalui revisi Undang-undang (UU) Pemilihan Umum, UU Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), serta undang-undang lain yang relevan. Cakupan revisi mesti mencakup setidaknya tiga hal berikut.

Pertama, ia memberi landasan hukum bagi adanya calon independen untuk legislatif. Mekanisme pengajuan calon independen dapat mengikuti mekanisme dalam pemilihan kepala daerah.

Kedua, undang-undang yang baru perlu memberi tempat bagi konstituen untuk menarik anggota legislatif yang telah terpilih dan diangkat sebelumnya. Ini merupakan perwujudan akuntabilitas anggota legislatif.

Ketiga, kalau selama ini pergantian antarwaktu (PAW) merupakan hak prerogatif partai politik, skema yang baru harus memungkinkan keputusan itu diuji konstituen. Kecuali untuk kasus-kasus seperti berhalangan tetap atau hukuman pidana, masyarakat konstituen diberi hak untuk menantang usulan PAW oleh partai.

Mekanisme penarikan dan tantangan PAW dapat dimulai dari petisi formal sejumlah minimal pemilih. Rincian proses selanjutnya merupakan bahan perdebatan dan musyawarah bersama. Masukan dari masyarakat, khususnya akademisi, perlu memperoleh perhatian serius, bukan hanya sekadar untuk pemenuhan persyaratan.

Keempat, mekanisme pengambilan keputusan legislatif juga perlu diperbaiki. Pemberian suara secara individu harus menjadi norma menggantikan praktek suara fraksi atau koor aklamasi. Ini membuka ruang untuk tampilnya perspektif khas daerah atau lokal yang mungkin luput pada perspektif yang lebih tinggi.

Kelima, revisi undang-undang juga merupakan kesempatan untuk meninjau posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ketika DPR dalam prakteknya mewakili partai politik, DPD-lah yang ditempatkan sebagai wakil rakyat. Namun kewenangan yang diberikan kepada DPD pun dikebiri. Keterlibatan DPD dalam pengajuan dan pembahasan dibatasi pada hal-hal yang secara eksplisit menyangkut daerah serta tentang pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi. DPD juga dapat memberikan pertimbangan kepada DPR dalam hal-hal tertentu. Padahal setidaknya hampir semua peraturan perundangan dalam implementasinya pasti melibatkan daerah. Sewajarnyalah DPD terlibat dalam semua legislasi.

Ketika DPR dapat dikembalikan sebagai lembaga perwakilan rakyat, peran DPD sebagai lembaga perwakilan rakyat tidak serta merta hilang. Akan tetapi, bagaimana persisnya?

Kita dapat melakukan perbandingan dengan negara-negara lain yang juga menerapkan sistem dwi-kamar, Amerika Serikat salah satunya. Dalam buku The Assault on Reason (2007), Al Gore mengungkapkan jalan pikiran para pendiri negara tentang peran berbeda kedua kamar legislatif di negara tersebut. Gore menulis: “… The House contained the unruly youngsters, reactive to the passions of the day thanks in part to an imposition of two-year terms. Senate, on the other hand, would hold office for six-year terms and serve to check the House with a deliberativeness that longevity in office afforded.”

Masa kerja anggota House of Representatives (HoR) yang singkat, yaitu 2 tahun, memaksa mereka untuk lebih responsif terhadap kehendak sesaat masyarakat. Sementara Senate, dengan masa jabatan 6 tahun, diharapkan berpikir lebih panjang melalui perdebatan yang lebih mendalam. Pandangan matang Senate diinginkan dapat mengekang keinginan meledak-ledak HoR. Setiap undang-undang di Amerika Serikat harus memperoleh persetujuan kedua kamar sebelum dapat diajukan kepada presiden untuk diundangkan.

Kasus Amerika Serikat ini memberikan contoh bahwa dua kamar legislatif dapat mewakili kepentingan yang sama, yaitu seluruh rakyat, tetapi dengan peran berbeda. Gagasan ini dapat menjadi inspirasi untuk pemetaan pembagian tugas dan tanggung jawab antara DPR dan DPD kita.

Perubahan strategis dan mendasar ini perlu dilakukan bila kita tidak ingin mengulangi kegagalan Reformasi 1998. Tuntutan yang dilontarkan pada saat itu bersifat jangka pendek yang ternyata tidak cukup untuk membawa perubahan berarti dalam kehidupan kita bernegara. Pembe-nahan legislatif merupakan imbalan yang wajar untuk nyawa rakyat yang terkorbankan dalam kejadian yang baru saja kita jalani ini. [ ]

*Pensiunan pegawai negeri sipil

Back to top button