
Manusia pembelajar haruslah seperti bambu: meliuk dalam angin, tapi tak patah; berakar dalam tanah, namun menjulang ke langit. Ia harus memiliki jiwa yang gelisah untuk tahu (curiosity), hati yang menyala karena cinta (passion), imajinasi yang menari di antara bintang, nalar tajam yang mampu memilah dan merajut, serta keteguhan yang tak luntur diterpa gagal.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH–Saudaraku, dunia sedang berubah bukan karena dunia telah tua, tetapi karena ia terus menemukan cara baru untuk menjadi muda kembali—dengan teknologi sebagai penyulut, dan disrupsi sebagai percikan-percikan petir yang menyambar.
Zaman batu tak berakhir karena habis batunya. Zaman besi tak datang karena perunggu sirna. Semua berubah bukan karena kekurangan, tapi karena penemuan. Maka, jangan takut pada badai perubahan. Takdir kita adalah menjadi layar yang lentur di tiupan angin tak tentu arah.
Tugas pendidikan bukanlah mencetak bata-bata keterampilan yang kaku, tapi menggali tanah liat pikiran yang bisa dibentuk ulang—lentur, tapi kokoh. Karena di dunia yang terus berubah, yang bertahan bukan yang paling kuat, tapi yang paling bisa menyesuaikan.
Manusia pembelajar haruslah seperti bambu: meliuk dalam angin, tapi tak patah; berakar dalam tanah, namun menjulang ke langit. Ia harus memiliki jiwa yang gelisah untuk tahu (curiosity), hati yang menyala karena cinta (passion), imajinasi yang menari di antara bintang, nalar tajam yang mampu memilah dan merajut, serta keteguhan yang tak luntur diterpa gagal.
Namun, kreativitas tanpa karakter hanyalah bunga tanpa akar. Maka pendidikan harus menjadi taman—bukan hanya tempat pohon-pohon tinggi tumbuh, tetapi juga tempat harum kejujuran, warna kesetiaan, dan buah keberanian bisa dipetik.
Ruang kelas tak lagi cukup sebagai wadah belajar. Ia mesti terbalik seperti cermin—teori dibawa pulang, praktik dirayakan bersama. Anak-anak tak boleh diborgol oleh silabus; mereka mesti bebas memilih jalan belajarnya sendiri, ditemani guru yang bukan menara gading, melainkan sahabat perjalanan.
Dan tak kalah penting, mereka harus belajar menulis bukan hanya agar bisa menjawab soal, tapi agar bisa menjawab hidup. Membaca bukan sekadar menuntaskan halaman, tapi menyalakan lentera dalam dada. Karena, tanpa kata yang dibaca dan ditulis, tak ada dunia yang bisa dipahami apalagi diubah.
Di tengah zaman yang gaduh oleh algoritma dan kebisingan digital, mari kita tegakkan pendidikan yang tak hanya mencerdaskan otak, tapi menghaluskan rasa, menajamkan nurani, dan menanamkan harapan.[ ]