Buku “Perjalanan Kerja Tahun Keempat Dubes RI di Kyiv”: Manakala Kerja Digerakkan Gairah dan Cinta
Karena penghayatan dan cinta tadi, tugas dan kerja itu pun lebih jauh telah menjadi sarana baginya untuk berbakti. Bukan hanya kepada negeri, apalagi hanya menjadi alat aktualisasi diri, karena tugas dan kerja yang dihayati dan dihidupi dengan cinta pada hakikatnya menjadi sarana bakti kepada Ilahi. Pada maqam itu, kerja sudah menjadi sarana pengabdian profetik.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Konon, ribuan tahun lalu cendikiawan terkemuka Cina, Confusius, pernah berkata,”Jika Anda mencintai ‘pekerjaan’ Anda, sepanjang hidup Anda tak akan pernah merasa terbebani kerja.” Di kelumit usia yang saya jalani, tak banyak orang yang saya lihat mampu terbebas dari beban kerja. Prof Yuddy Chrisnandi adalah salah satu dari yang sedikit itu. Tentu saja, dengan itu ia otomatis menjadi bagian dari komunitas crème de la crème.
Memang, alih-alih sering mendengar keluh-kesah karena pekerjaan, seharusnya kita semua menikmati obrolan tentang kerja dan pekerjaan yang menyegarkan dan inspiratif. Bukankah dari zaman baheula pun seorang penulis novel berkebangsaan Jerman, Lorenz Diefenbach, sudah bilang arbeit macht frei, kerja itu membebaskan, dalam novel yang judulnya sepanjang makalah anak kuliahan tahun pertama,”Arbeit macht frei: Erzählung von Lorenz Diefenbach”?
Keterbebasan Dubes Yuddy dari ekses kerja yang justru jadi beban itu bisa terlihat dari buku “Perjalanan Kerja Tahun Keempat Dubes RI di Kyiv”, buku tahunan keempat yang diterbitkannya selama bertugas sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Ukraina, Armenia dan Georgia tersebut. Dan bukan hanya dari buku terakhirnya untuk tugas di Ukraina itu, kita bisa merasakan betapa tugas dan kerja justru membuat Yuddy beroleh kebebasannya.
Alhasil, benar apa yang Confusius katakan, karena tugas dan kerja itu telah menumbuhkan cinta dalam hatinya, maka kerja-kerja yang ia jalankan pun bukan hanya tidak menjadi tanggungan yang membuatnya terbebani. Karena penghayatan dan cinta tadi, tugas dan kerja itu pun lebih jauh telah menjadi sarana baginya untuk berbakti. Bukan hanya kepada negeri, apalagi hanya menjadi alat aktualisasi diri, karena tugas dan kerja yang dihayati dan dihidupi dengan cinta pada hakikatnya menjadi sarana bakti kepada Ilahi. Pada maqam itu, kerja sudah menjadi sarana pengabdian profetik.
Dengan pemaknaan kerja seperti itu, tidaklah mengherankan bila dalam waktu empat tahun bertugas di Kyiv, Ukraina, Dubes Yuddy mencatatkan banyak prestasi monumental yang akan terus dikenang orang-orang sepeninggalnya.
Dalam upayanya terus menjajaki dan menciptakan peluang hubungan Indonesia dengan Ukraina, Armenia dan Georgia di berbagai segi, Dubes Yuddy penuh dengan gagasan dan ide yang tak jarang ‘out of the box’. Sebelum menarik para warga Ukraina datang menyaksikan Borobudur dan Pura Besakih di tanahnya yang asli, ia memboyong, antara lain, Borobudur, Besakih dan Istiqlal, ke Kyiv. Sejak sekitar tiga tahun lalu, warga Kyiv sudah bisa menikmati replika karya besar bangsa Indonesia itu di Kebun Raya Kyiv.
Menyaksikan betapa maraknya budaya minum kopi di Ukraina, Dubes Yuddy segera menggalakan promosi kopi Indonesia dengan menjembatani eksportir kopi kita dengan para pemain di pasar kopi Ukraina. Di lain waktu, KBRI Kyiv juga menggelar acara ‘icip-icip’ kopi (cofee tasting) dari berbagai sentra kopi Indonesia. Mengingat zaman yang seolah acara akan hampa tanpa mereka, KBRI pun mengundang para influencer untuk mencicipi rasa kopi Indonesia yang begitu kaya.
Dengan pengalaman lebih Indonesia di bidang vaksin TBC, setelah melalui berbagai penjajakan, akhirnya vaksin TBC buatan Indonesia pun akan diproduksi Ukraina, sebagai salah satu bentuk hubungan perdagangan dan kesehatan.
Sementara, melihat sisi keunggulan Ukraina di bidang alat militer dan senjata, KBRI Kyiv pun aktif mempertemukan pemain-pemain alutsista dalam negeri dengan pihak Ukraina. Secetek catatan saya, beberapa kali delegasi Indonesia, antara lain dari TNI AD, TNI AU dan PINDAD, datang mengunjungi mitra-mitra mereka di Ukraina, menghasilkan sekian banyak MoU dan kerja sama di bidang peralatan militer dan persenjataan.
Di bidang pendidikan, selama empat tahun bertugas, Dubes Yuddy bisa menjembatani terjalinnya kerja sama antara perguruan-perguruan tinggi Indonesia dengan Ukraina. Dalam setahun terakhir, setidaknya tercatat IPB University telah menjalin kerja sama dengan Polissia National University (PNU), yang sebelumnya bernama Zhytomyr National Agro-Ecological University (ZNAU), universitas dengan spesialisasi bidang pertanian di Ukraina. Universitas yang berdiri sejak 1922 itu memiliki delapan fakultas, 42 jurusan dan lima institut penelitian. Kerja sama sejenis juga terjalin antara PNU dengan Universitas Nasional (Unas), Jakarta.
KBRI Kyiv juga secara rutin mengundang para pelajar dan generasi muda Ukrania untuk datang berdiskusi, menikmati pergelaran budaya serta kuliner Indonesia. Pada setiap sesi itu, para pelajar Ukraina akan turut memainkan lagu-lagu yang mereka kenal dengan alat musik angklung. Umumnya, mereka menyatakan apresiatif dengan pengenalan yang mereka nikmati itu.
Barangkali cara-cara yang lebih soft seperti itu memang lebih efektif. Paling tidak, seperti diakui Menparekraf Sandiaga Uno, hal itu terbukti telah meningkatkan jumlah wisatawan Ukraina ke Indonesia secara pesat dalam beberapa tahun terakhir, khususnya sebelum masa pandemi. Secara statistic, dari wisatawan asal Eropa Tengah dan Timur yang masuk ke Indonesia, jumlah wisatawan Ukraina meningkat pada peringkat kedua setelah Rusia, dengan capaian 16.491 wisatawan pada tahun 2020, dan 35.537 pada 2019, sebelum masa pandemi.
Dengan prestasi yang dicapai KBRI Kyiv di tahun-tahun terakhir, Biro Perencanaan Organisasi Kementerian Luar Negeri RI, dalam penilaiannya kemudian menempatkan KBRI Kyiv berada pada peringkat enam dari 131 Perwakilan RI di luar negeri, terutama dalam pelaporan capaian kinerja keuangan dan administrasi. Prestasi besar itu tercatat beberapa poin di bawah KBRI Tashken, PTRI New York, KJRI Frankfurt, KBRI Dar-es Salam, dan KBRI Wellington.
Bahkan seolah menunjukkan kalau efisiensi itu harus dilakukan kapan pun bisa, Dubes Yuddy pada awal tahun ini memindahkan Gedung KBRI Kyiv yang masih menyewa, ke gedung lain. Gedung baru itu relatif lebih luas, lebih baik, lebih dekat ke Wisma Duta yang menjadi kediaman duta besar—bisa ditempuh dengan berjalan kaki 10 menit–, namun dengan harga sewa yang lebih murah.
“Sekalipun masih berstatus sewa, biaya sewanya lebih murah 4.000 dolar AS per bulan, atau menghemat 48 ribu dolar AS per tahunnya,” kata Dubes Yuddy. “Biaya transportasi ke kantor bisa menjadi nol karena bisa jalan kaki.”
Itulah antara lain yang terangkum dalam buku 180-an halaman, plus 15 halaman tambahan ini. Isinya beragam, hampir seperti catatan harian pribadi—sesuatu yang lebih menegaskan betapa kerja bagi Dubes Yuddy sudah nyaris menjadi kegiatan pribadi yang ia cintai. Bagi pembaca yang sering ikut menikmati “Kabar Dari Kyiv”, newsletter daring bulanan yang gampang diakses publik, mayoritas kontennya pasti sudah pernah dibaca sebelumnya.
Tentu saja, setiap pembaca akan memiliki kesan sendiri tentang buku ini. Apapun kesan itu, sah saja adanya. Sebab sebagaimana kata Roland Barthes, seorang filsuf dan kritikus sastra Prancis, ketika sebuah karya telah dilempar ke kerumunan, sang pengarang pun mati. Teks-teks yang ditulis pengarang, sudah bukan miliknya lagi. Sekarang, yang berkuasa adalah pembaca. Pembacalah yang akan menyatakan hitam putihnya buku yang dibacanya. Benar, matinya sang pengarang sebagaimana kata Barthes, secara otomatis memunculkan apa yang disebut oleh Catherine Belsey sebagai kekuatan pembaca (reader’s power).
Karena membaca sebuah buku bukanlah proses yang steril dan pasif, melainkan proses yang kreatif dan aktif, buku ini tentu saja memberikan kesempatan luas untuk pembaca mengembangkan kreativitasnya sendiri. Pembaca tidak hanya menerima begitu saja apa yang terbaca di buku ini, melainkan pula memperdalam, mengonfrontasikannya dengan pengalaman dan perasaan. Malahan, pembaca ditantang untuk menyelesaikan apa yang sebenarnya tidak pernah selesai dalam buku ini—dan sejatinya dalam semua buku yang ditulis manusia. Pembaca, memang sejatinya ditantang untuk ‘mengarang’ dan menciptakan kisah-kisahnya sendiri atas kisah yang dituturkan oleh buku yang dibacanya.
Seperti kata-kata Joseph Conrad, bahwa pengarang itu sesungguhnya hanya menulis separuh buku, separuh lainnya harus diambil alih pembaca. Itu berarti, semua kita harus melanjutkan hal-hal besar yang telah diraih Dubes Yuddy dalam tugasnya di Ukraina, dan melanjutkannya, memperluas dan memperbesarnya sehingga bisa merangkum dan memberikan kebaikan kepada lebih banyak lagi sesama manusia. [dsy]