SolilokuiVeritas

Closure Politik Platonik

Jokowi, dengan seluruh jejaring oligarkis dan kleptokratisnya, melambangkan kontinuitas dari rezim uang. Sementara Prabowo, meski penuh kontradiksi, masih membawa citra sebagai politisi yang tidak pernah berhenti berteriak tentang pemberantasan korupsi. Publik melihat jurang antara keduanya begitu dalam: seperti bumi dan langit. Maka muncul keyakinan bahwa cepat atau lambat, retakan itu akan pecah. Pertanyaan publik kini: apakah pecahnya retakan itu adalah momen hari ini, ketika rakyat dan mahasiswa bersatu menuntut perubahan?

Oleh     :  Radhar Tribaskoro

JERNIH– Politik platonik adalah politik yang berangkat dari gagasan, idealisme, atau retorika—bukan dari materialitas kekuasaan itu sendiri. Ia adalah wilayah “cinta platonik” dalam politik: gagasan besar yang tidak pernah sepenuhnya menyentuh realitas, tetapi terus memberi ilusi kedekatan dengan yang nyata.

Normalnya, politik platonik menemukan closure—titik penutupannya—di kotak suara atau di lembaga politik: parlemen, pengadilan, atau sidang-sidang resmi negara. Namun sejarah Indonesia berulang kali menunjukkan bahwa closure politik platonik lebih sering terjadi di jalanan. Jalanan menjadi arena koreksi ketika lembaga politik kehilangan fungsinya, ketika institusi negara tak lagi mampu menyelesaikan kontradiksi.

Di Indonesia, closure politik platonik sering berwujud amok: ledakan kolektif rakyat dan mahasiswa yang marah, frustrasi, dan kehilangan saluran representasi. Amok bukan sekadar unjuk rasa. Ia adalah koreksi yang brutal, penuh darah dan air mata, tapi sekaligus menjadi panggung perebutan elite.

 Amok dan Elite

Tahun 1966, 1974, 1978, 1998, adalah momen dalam sejarah politik Indonesia yang menunjukkan  closure politik platonik melalui amok.

1966: Mahasiswa bergerak dengan jargon “Tritura”—tiga tuntutan rakyat: bubarkan PKI, turunkan harga, dan rombak kabinet. Jalanan Jakarta menjadi pusat benturan. Tapi pada akhirnya, amok ini adalah panggung perebutan antara Soekarno dan Soeharto. Mahasiswa, intelektual, bahkan rakyat yang memenuhi jalan, hanyalah instrumen yang memberi legitimasi pada peralihan kekuasaan. Setelah Soeharto menang, aspirasi mahasiswa pun dilupakan.

1974: Malari (Malapetaka Lima Belas Januari). Mahasiswa mengusung isu kedaulatan ekonomi, menolak modal asing Jepang. Jalanan Jakarta kembali terbakar. Tetapi substansi Malari segera dipinggirkan, karena sesungguhnya amok ini adalah hasil benturan elite antara kelompok teknokrat Orde Baru yang pro-Jepang dan kelompok nasionalis-militer yang resisten. Setelah darah tumpah, Soeharto menertibkan politik dengan lebih keras.

1978: Mahasiswa kembali bergerak menolak Soeharto yang terus memperpanjang kekuasaan. Kampus dikepung tentara, mahasiswa digebuki. Tetapi lagi-lagi, amok ini bukanlah tentang mahasiswa semata: ia adalah refleksi pertarungan dalam tubuh militer dan elite politik tentang bagaimana mengelola stabilitas Orde Baru. Setelah mahasiswa dipukul mundur, Soeharto mengukuhkan hegemoninya.

1998: Reformasi. Mahasiswa turun ke jalan dengan tuntutan reformasi total: turunkan harga, bersihkan KKN, turunkan Soeharto. Puluhan mahasiswa mati, ratusan luka, ribuan rakyat menderita. Namun di balik itu semua, pertarungan elite berlangsung sengit: militer terbelah, pengusaha berupaya menyelamatkan diri, teknokrat mencari pijakan baru. Soeharto jatuh, Habibie naik, dan sistem politik berganti wajah. Tetapi setelah itu, demokrasi kita dengan cepat diserap oleh logika oligarki. Aspirasi mahasiswa yang berdarah-darah hanya sebagian kecil terwujud.

Amok 2025: Pertarungan Prabowo vs Jokowi?

Kini, tahun 2025, amok kembali hadir. Kerusuhan yang merebak sejak akhir Agustus adalah tanda bahwa closure politik platonik sedang berlangsung. Publik percaya bahwa hubungan Prabowo-Jokowi adalah hubungan platonik: penuh retorika kesetiaan, tapi terbelah oleh visi yang bertolak belakang.

Jokowi, dengan seluruh jejaring oligarkis dan kleptokratisnya, melambangkan kontinuitas dari rezim uang. Sementara Prabowo, meski penuh kontradiksi, masih membawa citra sebagai politisi yang tidak pernah berhenti berteriak tentang pemberantasan korupsi. Publik melihat jurang antara keduanya begitu dalam: seperti bumi dan langit. Maka muncul keyakinan bahwa cepat atau lambat, retakan itu akan pecah. Pertanyaan publik kini: apakah pecahnya retakan itu adalah momen hari ini, ketika rakyat dan mahasiswa bersatu menuntut perubahan?

Closure atau Ilusi?

Closure politik platonik 2025 bisa mengambil dua bentuk:

Pertama, closure yang hanya menguntungkan salah satu pihak elite. Jika Prabowo berhasil menjauh dari Jokowi dengan memanfaatkan amok, maka ia akan keluar sebagai pemenang. Tetapi sebagaimana pola historis, setelah ia menang, rakyat yang turun ke jalan akan dilupakan. Aspirasi mahasiswa yang menumpahkan darah hanya akan menjadi catatan kaki.

Kedua, closure yang menjadi momentum kebangkitan publik. Ini adalah skenario langka: di mana amok bukan hanya instrumen elite, tetapi benar-benar menghasilkan distribusi kekuasaan baru yang memberi ruang lebih besar bagi masyarakat sipil, mahasiswa, dan rakyat untuk mengontrol jalannya pemerintahan.

Apa yang Harus Dilakukan?

Agar Amok 2025 tidak sekadar menguntungkan satu pihak elite, perlu ada langkah-langkah strategis:

1. Institusionalisasi Aspirasi: Gerakan mahasiswa dan rakyat harus segera membangun kanal politik yang berkelanjutan. Tanpa itu, energi amok akan menguap begitu saja.

2. Membangun Narasi Publik: Jangan biarkan narasi dikuasai oleh elite. Aspirasi rakyat harus dijaga dalam wacana, ditulis, diingatkan, dipublikasikan, agar tidak bisa dihapus setelah kekuasaan berganti.

3. Aliansi Sosial yang Luas: Mahasiswa, buruh, petani, intelektual, dan masyarakat sipil harus bersatu. Bukan untuk menjadi instrumen elite, tetapi untuk menuntut reformasi institusional: penegakan hukum, pembatasan kekuasaan presiden, pemberantasan korupsi yang sistemik.

4. Kemandirian Gerakan: Gerakan rakyat harus berani mandiri, tidak menempel kepada satu figur elite. Hanya dengan begitu closure kali ini bisa berbeda dari sejarah sebelumnya.

Penutup: Antara Jalanan dan Lembaga

Closure politik platonik di Indonesia jarang terjadi di kotak suara atau di lembaga politik. Sejarah menegaskan: ia selalu diakhiri dengan amok berdarah di jalanan. 1966, 1974, 1978, 1998, semuanya mengulang pola yang sama.

Pertanyaan terbesar kini: apakah 2025 akan sekadar mengulang pola itu? Ataukah kali ini rakyat mampu memastikan bahwa darah dan air mata tidak hanya menjadi modal bagi kemenangan elite, melainkan juga pijakan untuk perubahan yang nyata?

Closure politik platonik bisa berakhir dengan siapa menang, tetapi bisa juga berakhir dengan siapa berdaulat. Jika sejarah hendak ditulis ulang, maka saat inilah waktunya. [ ]

Back to top button