Coronavirus Versus Omnibus
Indonesia dikenal sebagai negeri yang paling sedikit melakukan test, apalagi di kota kecil dan pedesaan. Artinya, jumlah sebenarnya kasus positif Corona jauh lebih tinggi dari yang kita ketahui, dengan potensi penyebaran yang eksponensial.
Oleh : Farid Gaban*
JERNIH– Maut akibat wabah Covid-19 semakin dekat.
Tadi malam saya kehilangan seorang sepupu yang meninggal karena virus. Satu sepupu lainnya, kakak almarhum, kini sedang dirawat intensif. Dan seorang paman kini sakit dengan gejala serupa.
Almarhum berusia relatif muda, 40-an tahun, dan memang anak bungsu dari sebuah keluarga besar. Badannya atletis dan jarang sakit. Dua pekan lalu, dia datang ke rumah untuk berkonsultasi pada istri saya, seorang dokter, dengan keluhan ringan di perut (asam lambung).
Obat biasa tidak membantu. Dua hari kemudian kondisinya terus merosot dan harus dibawa ke rumah sakit tingkat kabupaten di Wonosobo sini. Satu pekan kemudian paru-parunya mulai berair sehingga dia dirujuk ke rumah sakit rujukan Covid di Solo yang punya peralatan lengkap termasuk ventilator.
Rumah sakit di Solo ternyata penuh dan harus menunggu. Belum jadi berangkat, tadi malam dia meninggal. Hasil positif Corona keluar kemarin pagi, satu pekan setelah ditest swab.
Ini sepertinya menggambarkan trend yang lebih luas. Kasus positif Corona terus meningkat bahkan di kota-kota kecil. Penularan antar-anggota dalam keluarga makin luas.
Kemarin, Kabupaten Wonosobo mencatat penambahan terbesar kasus positif corona: 80 orang dalam satu hari, membuat seluruh kasus menjadi lebih dari 1.800-an orang. Peningkatan kasus positif memang disebabkan oleh meningkatnya jumlah test. (Kalau orang tidak ditest mungkin angkanya tidak naik). Tapi, itu justru yang lebih mengerikan.
Indonesia dikenal sebagai negeri yang paling sedikit melakukan test, apalagi di kota kecil dan pedesaan. Artinya, jumlah sebenarnya kasus positif Corona jauh lebih tinggi dari yang kita ketahui, dengan potensi penyebaran yang eksponensial.
Di sisi lain, kita melihat layanan rumah sakit (baik rumah sakit biasa maupun rujukan) kian kewalahan. Tak hanya deteksi test swab yang terlalu lama, tapi juga peralatan seperti ventilator.
Istri saya mengatakan, bahkan kalangan dokter serta perawat kini menurun semangatnya. Mereka sudah berbulan-bulan lelah dan stress bekerja dengan ancaman maut setiap saat. Pandemi Corona belum akan meninggalkan kita.
Ancamannya justru makin serius nampaknya. Tapi, kita kini perhatian kita terpecah menghadapi pemerintah (presiden dan DPR) yang makin dzalim. Pengesahan UU kontroversial Omnibus Law di kala pandemi adalah keputusan paling jahat yang bisa dilakukan sebuah pemerintahan.
Demonstrasi luas menentang Omnibus Law mudah diperkirakan. Demo sejenis sudah marak sebelum pandemi. Tapi, berkerumun dalam jumlah besar, para demonstran kini harus menghadapi potensi terkena Covid lebih tinggi. Ini memang persis yang diharapkan pemerintah, agar demonstrasi terhambat dan Omnibus Law bisa melenggang.
Ketika demonstrasi damai makin sulit dilakukan, satu-satunya cara yang tersisa kini untuk melawan Omnibus adalah melakukan PSBB: Pembangkangan Sipil Berskala Besar!
Pembangkangan sipil merupakan cara damai untuk memprotes pemerintah. Orang sengaja melanggar hukum/aturan negara dan menolak mematuhi perintah: seperti kampanye menolak membayar pajak; mogok massal para buruh sampai tuntutan dipenuhi.
Cara yang lebih ringan: mengganggu jalannya pemerintahan (kecuali layanan esensial seperti rumah sakit dan dinas pemadam); menggembosi ban-ban kendaraan dinas; membuang sampah dan telur busuk ke kantor-kantor pemerintahan; meluapkan protes dengan mencorat-coret (grafiti) di gedung pemerintahan.
Semua itu punya konsekuensi ancaman penjara. Para pembangkang sipil tidak melawan dan menolak ketika ditangkap polisi. Tujuan pembangkangan sipil memang agar dipenjara.
Jika dilakukan cukup luas, pemerintah akan dihadapkan pada pilihan untuk memenjarakan sebanyak mungkin orang atau memenuhi tuntutan mencabut Omnibus Law. [ ]
Mantan wartawan Majalah TEMPO dan pendiri Majalah Geo Times