Dana Haji Penambal APBN?
Menggunakan dana haji untuk kepentingan lain, betul-betul bersifat “gambling”. Untung-untungan. Tak mustahil akan menjadi ”rugi-rugian”. Rugi nama baik pemerintah, bangsa dan negara. Plus dosa kepada calon jamaah haji yang uangnya terpakai sia-sia.
Oleh : Usep Romli HM
Pemerintah meniadakan keberangkatan jamaah haji Indonesia th.2020. Tapi dana haji yang sudah terkumpul sebesar Rp 8,7 triliun, akan tetap digunakan. Dipijam-pakai untuk kebutuhan lain. Menteri Agama Fahrurozi, kepada Liputan 6 SCTV menyatakan, dana haji itu akan dipinjam untuk biaya penanggulangan Covid 19. Sedangkan Plt Badan Pengelola Dana Haji, menyatakan, dana haji Rp 8,7 Trilyun akan dipinjampakai untuk menutupi defisit APBN.
Jauh sebelum menjadi Wapres, KH Maruf Amin sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyutujui penggunaan dana haji untuk infrastruktur. “Fatwa soal itu, saya yang tandatangan, “kata KH Maruf Amin ke-pada media.
Banyak yang tak setuju atas tindakan ketua umum MUI itu. Terutama dari kalangan masyakarat calon jamaah haji. Mereka berpendapat, menggunakan dana haji untuk membangun infrastruktur (yang biasanya menggunakan dana investor atau pinjaman), lalu pengembaliannya meleset, sama saja dengan menyerahkan leher bangsa dan negara ini, untuk hancur lebur ditimpa azab Alloh SWT. Padahal azab itu masih dapat dinetralisasi oleh do’a jamaah haji di Arafah.
Maka, sebaiknya, peminjaman dana haji untuk infrastuktur, atau untuk apapun di luar urusan haji, sebaiknya jangan dilakukan. Walaupun yang meminjamnya pemerintah sendiri.
Dana haji bukan uang “ngangin” alias tak berguna. Melainkan sangat sangat berguna sekali untuk pembiayaan para calon jamaah haji menunaikan rukun Islam kelima.
Apalagi jika melihat latar belakang para calon jamaah. Dengan penuh pengorbanan fisik dan mental, para calon jamaah haji, bersusah-payah mengum-pulkan dana awal sekitar Rp 30 juta,pada saat pendaftaran. Uang sebesar itu, mungkin berasal dari tabungan hari demi hari, bulan demi bulan,dan tahun demi tahun. Atau dengan menjual harta kekayaan yang ada.
Setelah disetorkan ke bank, mereka masih harus menunggu bertahun-tahun, dari 5 hingga 20 tahun, sebelum mendapatkan porsi keberangkatan. Kuota 200 ribu jamaah haji Indonesia dari pemerintah Saudi, masih terlalu kecil dibanding minat calon jamaah. Sehingga terjadi “waiting list” (daftar tunggu) sangat panjang.
Untuk kawasan Jawa Barat, daftar tunggu terendah rata-rata 5 tahun, dan tertinggi 15 tahun. Artinya, seorang calon jamaah yang mendaftar tahun 2017, baru akan mendapat porsi keberangkatan antara tahun 2022-2032. Dapat dibayangkan, jika yang mendaftar itu sudah berusia uzur 60 tahunan ke atas, dan kondisi kesehatan memprihatinkan. Tentu mereka harap-harap cemas, apakah akan sampai pada pembuktian dan pelaksanaan niat menyempurnakan rukun Islam kelima, atau terlebih dahulu menghembuskan nafas.
Tak sedikit terjadi, para calon jamaah haji sudah kembali ke hadirat Ilahi sebelum mendapat porsi untuk dapat berangkat ke Tanah Suci.
Dengan mempertimbangkan latar belakang sosilogis dan psikologis semacam itu, sebaiknya pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama, jangan bertindak terlalu gampangan. Mengalihkan Dana Haji untuk membiayai hal-hal lain, yang berisiko amat tinggi.
Bagaimana jikla pengembaliannya tidak tepat waktu? Sehingga warga masyarakat pemilik mutlak dana tersebut batal menunaikan ibadah haji? Atau harus menunggu bertahun-tahun lagi sebelum dana haji yang dipinjam pemerintah dikembalikan penuh?
Menggunakan dana haji untuk kepentingan lain, betul-betul bersifat “gambling”. Untung-untungan. Tak mustahil akan menjadi ”rugi-rugian”. Rugi nama baik pemerintah, bangsa dan negara. Plus dosa kepada calon jamaah haji yang uangnya terpakai sia-sia.
Jika hal itu terjadi, tak mustahil calon jamaah haji tak dapat berangkat. Bahkan kemungkinan satu atau dua periode musim haji, tak ada jamaah asal Indonesia yang datang ke Tanah Suci. Hanya karena hambatan dana dipakai keperluan lain dan tak mampu dikembalikan tepat waktu.
Dari sisi fisik dan material, hubungan bilateral kedua negara akan ikut terganggu. Indonesia yang tak pernah absen mengirim jamaah haji sejak abad 15 (Heri Chambert Loir “Jamaah Haji Indonesia, abad 15-20”, Gramedia, 2013),akan terputus. Dan pasti mengecewakan kedua belah pihak,serta mungkin saja mengganggu keharmonisan hubungan diplomatik antara Indonesia, dengan Saudi Arabia.
Dari sisi spiritual, malah lebih parah lagi. Tak akan ada lagi jamaah haji Indonesia Wukuf di Arofah. Tak ada lagi yang melantunkan munajat, agar Tanah Air Indonesia, mendapat limpahan keberkahan, aman tenteram, subur makmur, rejeki yang datang dari berbagai arah :
“ALLOHUMAJ’AL BALDATANA INDONESIA. BALADAN AMINAN MUTMA’INNATAN YA’TIHA RIZQUHA ROGODAM MIN KULLI MAKAN”.
Hari Arafah, yaitu waktu wukuf di Padang Arafah, tgl.9 Dzulhijjah, merupakan waktu dan tempat mustajab untuk berdo’a. Maka do’a para jamaah haji Indonesia, selama wukuf di Arofah, Insya Alloh, makbul. Dan menjadi salah satu faktor penyelamat bangsa dan negara Indonesia dari kehancuran, yang tanda-tandanya sudah nampak jelas.Terutama pilih kasih dalam menegakkan hukum, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, dalam hadis sahih riwayat Imam Bukhari : “Innana ahlakallahul ladzina min qablikum, innahu idza saraqa fihimusy syarifu tarakuhu wa idza saraqa fihimudl dlaifu aqamu alaihil haddu”. (Kehancuran umat sebelum kalian, disebabkan karena jika kaum elit, melanggar hukum dibiarkan, tapi jika kaum alit melanggar hukum maka hukum ditegakkan sebenar-benarnya).
Maka sebaiknya, meminjamkan dana haji untuk keperluan lain, jangan dilakukan. Walaupun yang meminjam pemerintah sendiri. [ ]