Solilokui

Dari Permukiman ke Permakaman

Agama tertentu–semacam Islam–sebenarnya menolak konsep Tuhan sebagai pencipta. Bagi Islam, Sang Maha dari segala Maha adalah Alloh Aja Wa Jalla. Tuhan adalah konsep yang dangkal dan beberapa orang memang sering mempertukarplesetkan dengan hantu.

Oleh  : Acep Iwan Saidi*

JERNIH– Bahasa Indonesia, kata para ahli, tergolong ke dalam bahasa aglutinasi. Bahasa aglutinasi adalah bahasa yang terdiri atas tempelan-tempelan.

Maksudnya, kosa kata bahasa Indonesia dibentuk oleh satuan-satuan tertentu, yakni oleh morfem bebas (kata dasar) dan morfem terikat (imbuhan). Itulah sebabnya bahasa yang kita cintai ini mengenal ilmu tata bentukan (morfologi).

Acep Iwan Saidi

Dari ilmu morfem tersebut kemudian sering muncul persoalan. Salah satu contohnya saat orang datang ke sebuah lokasi perumahan. Orang sering menyebut kumpulan rumah tersebut sebagai pemukiman. Padahal, ujar pakar, yang benar adalah permukiman. Pemukiman itu proses dari memukimkan, sedangkan permukiman dari bermukim (hal bermukim). Walhasil, untuk menunjukkan tempat, permukimanlah yang betul. Demikian halnya dengan pemakaman dan permakaman: pemakaman merupakan proses, permakaman menunjukkan tempat.

Lebih dari sekedar persoalan proses dan tempat, sebenarnya ada yang jauh lebih menarik berkait permukiman dan permakaman. Secara semantik, lihatlah, dua kata itu punya makna sama, yakni menunjukkan  tempat tinggal. Bedanya, permukiman tempat tinggal orang yang masih tinggal (hidup), sedangkan permakaman tempat tinggal orang yang sudah meninggal (mati).  Jadi, betapa tipis beda orang hidup dan mati itu. Hanya diantarai oleh tiga fonem yang berbeda: u, i (mukim), dan a (makam). Dengan bunyi u dan i kita hidup, tapi kita mati kalau beranjak ke bunyi a.

Kata-kata dalam bahasa Indonesia memang sering unik. Pada kasus permukiman dan permakaman di atas bisalah kiranya kita sebut bahwa dua kata itu mengandung seloka: tentang dekatnya jarak antara hidup dan mati. Pergilah ke luar rumah, jika ajal sudah menjemput, Anda bisa saja mati hanya karena tersandung sebutir kerikil.

Dalam kasus lain, kemiripan bunyi dua kata dalam kosa kata bahasa Indonesia juga mengejutkan. Perhatikan kata perkasa dan perkosa. Perkasa adalah kata yang menunjuk pada sesuatu yang kuat atau tangguh, bisa juga gagah-berani (biasanya manusia), sedangkan perkosa adalah kata yang mengandung makna leksikal paksa atau hal yang berhubungan dengan kekerasan dan perampasan hak-hak seseorang.

Nah, pihak yang memperkosa pastilah yang perkasa. Tidak mungkin si lemah berani dan mampu memaksa, menekan, dan memperkosa. Mirip dengan hal ini, hanya yang gagah yang bisa menggagahi.

Contoh lain lagi adalah tuhan, hantu, dan hutan. Lima fonem yang posisinya saling bertukar itu memiliki konsep yang berlainan, tentu. Tapi, hantu sebenarnya identik dengan hutan. Artinya, hantu kemungkinan besar lebih senang tinggal di hutan daripada di tempat lain.

Di pohon-pohon besar itu, kata nenek moyang, sering bergentayangan roh halus, baik yang jahat maupun baik. Roh jahat yang halus pastilah salah satunya hantu. Lantas bagaimana dengan Tuhan? Bukankah Tuhan itu Sang Pencipta, bukan hantu, juga tidak tinggal di hutan? Agama tertentu semacam Islam sebenarnya menolak konsep Tuhan sebagai pencipta. Bagi Islam, Sang Maha dari segala Maha adalah Alloh Aja Wa Jalla. Tuhan adalah konsep yang dangkal dan beberapa orang memang sering mempertukarplesetkan dengan hantu.

Di samping itu, Tuhan juga nyaris sebunyi dengan Tuan. Itulah sebabnya pada 1980 Sapardi Djoko Damono mencipta sajak “Tuan” yang bunyinya sebagai berikut.

                   Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,

                   saya sedang keluar

Begitulah bahasa Indonesia, bahasa yang hanya bisa berarti jika ditempel atau terdiri atas tempelan-tempelan. Persis seperti negaranya sendiri, kalau kagak ditempel yang ngasih utang, nggak idup!””[ ]

* Pembelajar Semiotika-Dosen di Sekolah Pascasarjana FSRD ITB

Back to top button