Demokrasi Majemuk
Sejauh ini, belum pernah ada demokrasi yang berhasil menangani masyarakat majemuk secara setara, dengan memperlakukan segala golongan secara fair. Masyarakat heterogen telah lama menderita akibat dominasi kelompok mayoritas atau minoritas, dan anarki permusuhan antarkelompok karena lemahnya otoritas pemerintahan. Banyak orang pesimistis bahwa masyarakat heterogen bisa hidup berdampingan dalam harmoni, lalu tergoda seruan fasistik.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH–Saudaraku, gelombang pasang politik identitas destruktif di berbagai belahan bumi menunjukkan gejala ketergagapan demokrasi dalam menangani kecenderungan pluralisasi etno-kultural. Hal itu tersimpul dalam buku “The Great Experiment: Why Diverse Democracies Fall Apart and How They Can Endure”, karya Yascha Mounk (2022).
Perkembangan demokrasi sejak awal pertumbuhannya seperti di Athena hingga demokrasi modern di AS terbiasa menangani masyarakat homogen, atau masyarakat plural dengan suatu identitas dominan mensubordinasikan yang lain.
Kerajaan atau kekaisaran lebih efektif dalam menangani masyarakat heterogen. Alasannya, di dalam kerajaan (kekaisaran), rakyat tak terlalu berpengaruh dalam menentukan hukum dan kebijakan. Dalam demokrasi, peran rakyat sangat menentukan, oleh karena itu setiap kelompok bersaing untuk mempengaruhinya.
Sejauh ini, belum pernah ada demokrasi yang berhasil menangani masyarakat majemuk secara setara, dengan memperlakukan segala golongan secara fair. Masyarakat heterogen telah lama menderita akibat dominasi kelompok mayoritas atau minoritas, dan anarki permusuhan antarkelompok karena lemahnya otoritas pemerintahan. Banyak orang pesimistis bahwa masyarakat heterogen bisa hidup berdampingan dalam harmoni, lalu tergoda seruan fasistik.
Untuk menjawabnya, demokrasi harus menjalani proses eksperimentasi baru. Demokrasi kian perlu mengembangkan budaya kewargaan multikultural dengan menghormati perbedaan secara setara seraya mengupayakan kerangka titik temu. Tidak dalam bentuk “melting-pot” ala AS yang memaksa golongan minoritas berasimilasi pada kelompok dominan. Tidak dalam bentuk “salad bowl” ala Libanon, yang memberi kapling-kapling terpisah bagi setiap golongan tanpa ruang peleburan. Bentuk idealnya sejenis “public park“, yang memberi ruang riungan bagi masing-masing identitas seraya menyediakan arena permainan bersama, ajang berbagai kelompok bisa terlibat dan melebur.
Demokrasi juga memerlukan tata kelola politik inklusif yang menjamin kesetaraan politik dan kesempatan; tak hanya mengamodasi suara mayoritas, tapi juga melindungi golongan minoritas-marjinal dan asal-usul teritorial, dengan kemampuan tata sejahtera yang berkeadilan dan berkemakmuran. [ ]