Solilokui

Undang-undang Cipta Kerja; Jangan Lupakan Pentingnya Komunikasi Publik

Sehebat apa pun sebuah produk hukum negara mana pun di dunia ini, tanpa komunikasi yang baik dengan masyarakat, akan berdampak buruk bagi perkembangan demokrasi.

Oleh   : Kandi Sofia S. Dahlan, MBA, Ph.D*

JERNIH–Ada perkembangan menarik soal Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan Parlemen Indonesia, 5 Oktober lalu. Secara garis besar, UU Cipta Kerja ini memuat 11 bidang yang menyentuh hajat hidup masyarakat Indonesia,  kini dan mendatang.

Bidang-bidang tersebut dapat dipetakan sebagai berikut:  (1) Penyederhanaan izin usaha;  (2) Persyaratan urusan investasi; (3) Ketenagakerjaan; (4) Kemudahan dan perlindungan Usaha Mikro Kecil dan Menengah; (5) Kemudahan berusaha;  (6) Dukungan riset dan inovasi;  (7) Administrasi pemerintahan; (8) Pengenaan sanksi;  (9) Pengadaan lahan;  (10) Investasi dan proyek pemerintahan; dan (11) Kawasan ekonomi.

Namun sebelum RUU ini menjadi Undang-Undang, masih ada waktu 30 hari sebelum ditandatangani Presiden Joko Widodo. Dapatlah dimengerti, jika sudah terjadi perdebatan panjang di antara pemerintah dengan masyarakat, terutama sekali kalangan pekerja berikut keluarga besar mereka, dan dunia usaha di dalam negeri.

Kandi Sofia S. Dahlan

Dari perspektif Komunikasi Publik, sebagaimana teramati dari berbagai wawancara dengan anggota masyarakat, dapat diketahui jika banyak anggota masyarakat yang belum memahami inti dari undang-undang tersebut, dan terlanjur terbawa arus untuk mengritisi pemerintah dalam berbagai aksi unjuk rasa.

Pada saat yang sama, para pejabat pemerintah terkesan tidak seragam dalam memberikan informasi ke publik. Para pejabat negara cenderung memandang dari perspektif bidang tugas mereka semata, dan sulit menjelaskan secara bulat hakekat RUU itu sendiri, yang memiliki keterhubungan lintas bidang satu sama lain, serta menyangkut hajat hidup masyarakat kini dan mendatang.

Karena itu, terbuka ruang bagi masyarakat untuk terlebih dahulu secara sistematis mengidentifikasi seluruh permasalahan yang ada dalam dokumen yang sangat tebal tersebut. Selanjutnya, berbagi peran untuk membawanya ke Mahkamah Konstitusi, yang akan mengadili secara adil, demi kebaikan Indonesia sebagai sebuah bangsa.

Dengan demikian,  dengan mengedepankan nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang sudah dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia, maka pemerintah perlu memperbanyak dialog dengan masyarakat pada empat masalah besar berikut ini, yang langsung menyangkut hajat hidup masyarakat Indonesia.

Pertama,   perihal investasi, dimana pemerintah perlu menjelaskan secara mendalam, betapa banyaknya prosedur perijinan dan persyaratan yang ada selama ini, smulai dari tingkat pusat hingga daerah, yang seringkali sulit dimengerti oleh kalangan birokrasi itu sendiri.  Sering terdengar banyaknya perusahaan asing pindah ke Vietnam, Kamboja, dan Laos, karena menganggap iklim berusaha di wilayah tersebut lebih berdaya saing. Pindahnya beberapa perusahaan asing tersebut otomatis membawa juga sistem manajemen, teknologi canggih, jaringan bisnis, dan sumber daya manusia (SDM), sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara diatas.

Kedua, perihal pertanian, dimana dikuatirkan pemerintah akan  tunduk pada aturan World Trade Organization (WTO), sehingga melonggarkan masuknya produk asing ke pasar di dalam negeri. Masyarakat cenderung kuatir jika perkembangan ini mematikan daya juang dan kreativitas para petani di dalam negerinya sendiri. Dalam konteks ini, pemerintah perlu mempertegas kemampuannya menyeimbangkan keadaan, dalam kerangka swasembada pangan,  disertai pemanfaatan lahan-lahan tidur yang diproses sesuai hukum nasional dan aturan-aturan lingkungan hidup di tingkat dunia yang telah ditandatangani.

Ketiga, pada aspek tenaga kerja asing, di mana masyarakat sering mempertanyakan tingkat keahlian mereka, dan mudahnya mereka datang saat pekerja asal Indonesia sulit bekerja di Tanah Air mereka sendiri. Dalam hal ini, pemerintah perlu untuk kesekian kalinya menjelaskan sudah banyaknya perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah yang lebih tegas dan akurat, serta sudah dipraktikkan secara benar. 

Intinya, hanya mereka  yang terbukti berkualitas sajalah yang diizinkan bekerja di Indonesia.  Pemerintah perlu juga menjelaskan sudah berjalannya mekanisme pendampingan,  antara tenaga kerja asing dengan pekerja lokal, demi terwujudnya alih pengalaman dan alih teknologi.  Tenaga kerja asing itu sendiri akan pulang ke kampung halaman mereka, saat kontrak mereka berakhir.   

Keempat, perihal kemudahan dan perlindungan Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Dalam hal ini Pemerintah perlu terus menerus menjelaskan pentingnya UMKM mempersiapkan diri untuk menjadi petarung di dalam dan luar negeri, disertai peningkatan kualitas manajemen dan teknologi informasi, berikut sistem pelaporan keuangannya.

Dapat disarikan, sehebat apa pun sebuah produk hukum negara mana pun di dunia ini, tanpa komunikasi yang baik dengan masyarakat, akan berdampak buruk bagi perkembangan demokrasi. Pada saat yang sama, masyarakat  juga hendaknya mampu berpikir kritis, disertai  referensi yang benar dan akurat, termasuk sudah membandingkan produk hukum tersebut dengan berbagai praktik terbaik di dalam dan luar negeri. Semoga Mahkamah Konstitusi berhasil menjawab semua harapan di atas. [ ]

*Pemerhati kebijakan publik

Back to top button