Falsafah Keadilan
Kata Gandhi, Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua. Namun, takkan cukup untuk memuaskan segelintir orang serakah. Adil jika dari Bumi, orang-orang hanyalah mengambil seperlunya. Untuk bekal hidupnya, barangkali untuk puluhan tahun. Sebab, sesudah meninggal, dia tidak memerlukannya lagi. Kalau untuk anak, cucu, dan seterusnya, bukankah mereka juga bisa melakukan tindakan-tindakan ekonomi sendiri?
Oleh : Mi’raj Dodi Kurniawan
JERNIH– Menempatkan sesuatu pada tempatnya. Demikian makna umum dan lazim, manakala orang-orang menjelaskan pengertian adil. Selanjutnya, muncul pertanyaan: apa saja makna yang tercakup dalam istilah sesuatu? Apakah istilah tempatnya, selalu dalam pengertian konkret?
Sesuatu, bisa apa saja, dari yang bersifat materil (konkret) sampai yang bersifat spiritual (abstrak). Demikian pula tempatnya, bisa saja tempat dalam pengertian konkret, dan bisa pula dalam pengertian abstrak.
Dalam pengertian konkret, adil jika – dalam kondisi normal – meletakkan sepatu di rak sepatu, dan tidak adil (zalim) bila meletakkannya di wajan. Dalam pengertian abstrak, adalah adil bila menilai kebenaran sebagai kebenaran, dan tak adil (zalim) apabila menilai kebenaran sebagai kesalahan.
Akan tetapi, lantaran menempatkan sesuatu pada tempatnya adalah tindakan yang standard penilaiannya dipengaruhi atau ditentukan pandangan dunia, maka perbedaan pandangan dunia, melahirkan kriteria spesifik yang berbeda pula perihal yang disebut adil dan yang disebut tak adil.
Kendati demikian, manakala bersandar pada dan menggunakan prinsip universal (berlaku di mana pun), maka di antara perbedaan itu, akan ada titik temu. Bahwa di antara pandangan dunia yang berbeda-beda itu, niscaya terdapat titik temu berkenaan makna dan kriteria utama adil dan yang tak adil.
Tentu bukan yang berkenaan hal-hal partikular (khusus dan dalam konteks budaya tertentu). Melainkan, titik temu ini–sebagaimana yang diutarakan tadi–berkenaan dengan hal-hal universal (berlaku dimana pun, karena itu ia nilai-nilai umum).
Dan, dalam konteks ini, adil yang dimaknai sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya, merupakan hal universal. Pengertian ini, bukan saja disetujui oleh pandangan dunia agama samawi dan agama ardhi, tetapi juga disepakati berbagai ideologi.
Misalnya, prinsip universal untuk menilai bahwa sesuatu telah ditempatkan pada tempatnya yang sesuai (adil), antara lain—adalah–prinsip manfaat, fungsi, keamanan, kesehatan, kebersihan, kecukupan, ketenangan, kesejahteraan, dan lain-lain.
Dalam biologi, dengan prinsip fungsi dan kesehatan, maka keadilan bagi penis adalah dijadikan tempat keluarnya air seni (kotoran). Dalam berhubungan seks, keadilan bagi penis ialah dimasukkan ke dalam vagina. Tidak adil (zalim) penis dimasukkan ke dalam anus (tempat keluarnya kotoran).
Dalam politik, keadilan bagi pejabat adalah menduduki jabatan yang dia kuasai (tahu, mampu, dan mau mengerjakan tugas dan fungsi jabatan ini). Sebab jika tak memiliki sebagian atau seluruh syarat penguasaan tadi, dia akan tersiksa dan hasil kerjanya kurang baik. Dan itu zalim.
Bukan karena diberi uang, melainkan pemilih (voters) yang adil, akan memilih orang yang tahu, mampu, dan mau menjalankan tugas dan fungsi suatu jabatan. Sebab, memberi uang, bukan kriteria dan jaminan bahwa orang itu akan menunaikan tugas dan fungsi jabatan dengan baik.
Dalam ekonomi, adil apabila perekonomian hanya dilakukan dalam hal-hal yang bersifat atau bernilai ekonomi. Cahaya matahari, misalnya, tidaklah bernilai ekonomi, sehingga tak bisa diperjualbelikan.
Adil bagi para pelaku ekonomi, untuk mendapatkan keuntungan ekonomi atas tindakan ekonomi yang telah dilakukannya. Adil untuk barang dan jasa yang kurang baik, dihargai dengan kurang baik. Adil untuk barang dan jasa yang baik, dihargai dengan baik. Di sinilah, kompetisi menjadi baik.
Kata Gandhi, Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua. Namun, takkan cukup untuk memuaskan segelintir orang serakah. Adil jika dari Bumi, orang-orang hanyalah mengambil seperlunya. Untuk bekal hidupnya, barangkali untuk puluhan tahun. Sebab, sesudah meninggal, dia tidak memerlukannya lagi.
Kalau untuk anak, cucu, dan seterusnya, bukankah mereka juga bisa melakukan tindakan-tindakan ekonomi sendiri? Oleh karena itu, jika mewariskan harta, tidak perlu juga dalam besaran yang amat melimpah. Secukupnya saja.
Maka, dibanding menumpuk harta, adil bagi yang cukup, untuk membayar zakat, berinfak, bersedekah, bahkan mewakafkan hartanya untuk kebaikan publik. Selain menentramkan dirinya, hal itu juga menentramkan orang lain. Akibatnya, terwujud ketenteraman kolektif (visi universal).
Dalam sosial, adil bagi orang-orang, untuk saling mengenal dan berhubungan baik. Adil bagi orang-orang, untuk saling menolong dan saling membantu dalam kebaikan. Sebab, kebaikan sosial, ialah visi bersama (universal).
Dalam kebudayaan, adil bagi orang-orang, untuk berilmu pengetahuan, mengolah pikiran dan perasaan, berdialog, berimajinasi, dan mewujudkan imajinasi yang baik. Dengan itu, lahir nilai-nilai, sistem gagasan, sistem tingkah laku, dan benda.
Dalam hukum, adil bagi orang-orang, tanpa kecuali, untuk dihargai bahkan dipuji lantaran tindakan baik dan prestasinya. Adil pula bagi orang-orang, tanpa kecuali, untuk dicela bahkan disiksa atas tindakan buruk dan nistanya.
Dan, adil apabila orang-orang di muka Bumi, mewujudkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan universal. Seperti, mewujudkan kebahagiaan, kemerdekaan, perdamaian, persatuan, keadilan, kemakmuran, kebenaran alih-alih kesalahan, kebaikan alih-alih kejelekan, dan keindahan alih-alih keburukan.
Terakhir, meski bukan berarti kurang penting, adil jika kita bersikap memperjuangkan persatuan, sebab bukan saja berasal dari Dzat Yang Maha Esa, tapi juga alam semesta ini, adalah wujud yang satu. Kita – sesungguhnya – kaya, lantaran berasal dari Dia Yang Maha Kaya.
Kita pengasih, karena berasal dari Dzat Yang Maha Pengasih. Kita penyayang, karena berasal dari Dzat Yang Maha Penyayang. Dan, hakikatnya, kita juga adil. Sebab, bukan berasal dari Dzat Yang Maha Zalim (Maha Tak Adil), melainkan berasal dari Dzat Yang Maha Adil. Astaghfirullaahal adziim. Wallahu a’lam. [ ]
*Penulis buku “Kekuatan Penggerak Sejarah”