
Bukan hanya kritik terhadap presiden, Fedi juga menulis surat terbuka untuk Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Dia mempertanyakan konsistensi ketua umum Partai Demokrat itu yang sebelumnya gencar mengkritisi program food estate Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di era Presiden Joko Widodo, namun kritik mendadak hilang ketika diangkat sebagai menteri agraria dan tata ruang pada tahun terakhir masa pemerintahan Jokowi.
Oleh : Akmal Nasery Basral*
JERNIH– 1/
Ada sosok yang terus bermetamorfosis di jagat artis Indonesia: Fedrian Nuril a.k.a. Fedi Nuril namanya. Seorang model, aktor, musisi, juga aktivis kemanusiaan pro-Palestina. Dia pernah diinterogasi Tentara Israel saat memasuki Masjid Al Aqsha untuk membuat program acara Ramadan (2014).
Fedi punya julukan yang bisa membuat mak-emak merengut, namun pak-bapak kepincut: “Duta Poligami.” Predikat kocak itu muncul karena dalam beragam film yang dibintanginya–seperti “Ayat-Ayat Cinta” dan “Surga yang Tak Dirindukan”– Fedi selalu ketiban peran sebagai suami yang punya lebih dari satu istri.

Untungnya, belum pernah terdengar kabar ada perempuan yang memaki Fedi jika kebetulan bertemu dengannya di jalan. Dalam kehidupan nyata Fedi seorang lelaki ramah, kalem–kecuali jika di panggung sebagai gitaris-kibordis grup alternative rock Garasi yang hingar menggelegar. Dan terutama pada fakta, Fedi suami setia Vanny Widyasasti yang sudah memberinya tiga anak lelaki. Kehidupan pribadi dan keluarganya nyaris tak pernah terekspos ke media massa dalam bingkai ‘bad news is good news’ yang digemari sebagian artis pengungkap aib pribadi.
Namun belakangan ini, Fedi menjadi seorang pencuit yang vokal. Bukan ihwal modeling, akting, atau musik yang dijalaninya, melainkan praktik kekuasaan politik. Siapa pun presiden yang sedang memegang kendali—entah Prabowo atau Jokowi—Fedi tak sungkan mengkritisi.
Bukan hanya kritik terhadap presiden, Fedi juga menulis surat terbuka untuk Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Dia mempertanyakan konsistensi ketua umum Partai Demokrat itu yang sebelumnya gencar mengkritisi program food estate Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di era Presiden Joko Widodo, namun kritik mendadak hilang ketika diangkat sebagai menteri agraria dan tata ruang pada tahun terakhir masa pemerintahan Jokowi.
Beragam kritik itu berbuah serangan balik dari para pendukung, simpatisan, hingga pendengung (buzzer). Fedi dibuli dan dihujat habis-habisan, namun dia bergeming. Bukan saja kolom komentar Twitter-nya tak dikunci, Fedi pun menanggapi semua komentar dengan kobaran nyali seorang ronin yang bertempur melawan sekumpulan legiun tentara Shogun.
Saya tak ingin mencuplik twit war antara Fedi dengan lawan-lawannya pada tulisan ini. Pembaca yang tertarik mengetahui bisa membaca langsung pada akun Twitter @realfedinuril untuk mendapatkan gambaran aroma perang argumen yang terjadi di sana.
Saya lebih tertarik melihat fenomena kritik Fedi Nuril sebagai wujud artikulasi dan partipasi publik dalam menjaga potensi penyalahgunaan dan penyelewengan kekuasaan, seperti dipostulasikan Lord Acton dalam perkataannya yang masyhur “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.”
2/
Dari mana Fedi Nuril mendapatkan energi dalam menyuarakan kritiknya yang berapi-api kepada para petinggi negeri? Setidaknya ada 4 (empat) faktor yang jalin berkelindan dalam pengamatan saya.
Pertama, keberanian patriotik dalam darah Fedi mengalir dari ayahnya, Nuril Rachman, seorang kolonel yang wafat kala Fedi masih kelas 5 SD. Dalam interaksi yang tak terlalu lama itu, “Ayah saya pernah diajari cara mengupas jeruk sunkist oleh Bung Karno,” ungkap Fedi dalam satu cuitannya.
Bisa diduga, sang ayah juga mengisahkan banyak sisi lain tentang sikap patriotisme dan bakti kepada Tanah Air yang mengendap di relung-relung bawah sadar Fedi kecil. Maka, nasionalisme yang terbentuk dalam jiwa Fedi seiring pertambahan usia dan kematangan jiwa adalah loyalitas kepada bangsa, bukan kepada rezim yang berkuasa, apalagi sosok individual yang sedang berjaya.
Kedua, baik ayah maupun ibu Fedi, Tuty Nuril, sama-sama perantau Minangkabau yang mengadu nasib di Jakarta. Sudah lazim menjadi pengetahuan publik bahwa etnis Minang memiliki standar egaliter yang tinggi, bahkan terhadap para pemimpin. Orang Minang tak terbiasa membungkuk, apalagi menyembah sujud, kepada pimpinan dan atasan. Dalam filsafat kekuasaan Minang, para pemimpin hanya dalam posisi “lebih tinggi sebenang”. Tetap dimuliakan, tetapi tidak ditempatkan sebagai dewa di awang-awang.
Ketiga, Fedi Nuril adalah lulusan D3 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia, kampus yang sejak 1966 mendapat julukan “Kampus Perjuangan”. Kendati seiring perjalanan waktu tak sedikit alumni UI yang menjadi partisan, menjadi bagian dan pendukung rezim pemerintahan yang terus berganti, namun kritisisme sebagai ciri khas sivitas akademika UI menjadi sumber energi yang lain bagi Fedi.
Keempat, kemandirian finansial yang memadai. Memilih sikap menjadi oposisi kekuasaan sama sekali tak mudah tanpa kemampuan finansial yang kokoh. Pada konteks ini Fedi meski tak pernah dikenal sebagai artis yang gemar flexing (pamer) kekayaan seperti para influencer. Tetapi, dia juga bukan artis yang hidupnya terengah-engah Senin-Kamis.
Simaklah data MyBookShow Indonesia, cabang dari MyBookShow—platform pemesanan tiket film, musik, dan pertandingan olahraga secara daring terbesar di Asia—yang dikutip Investor Daily berikut ini.
Dari film Ayat-Ayat Cinta (2008) saja Fedi meraup pendapatan kotor Rp107 milyar. Dari film 5 cm (2012) sebesar Rp72 milyar, dari Surga yang Tak Dirindukan (2016) sebesar Rp45,7 milyar; dari Get Married (2011) sebanyak Rp23,8 miliar; dari Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh (2014), mendulang Rp15 milyar.
Itu belum termasuk dari film-film terakhirnya seperti Bila Ibu Besok Tiada yang sudah dipirsa 3,7 juta penonton sampai akhir Desember 2024. Dan belum termasuk juga dari penjualan musik band Garasi yang sudah menelurkan tiga album dan terus mendapatkan royalty, meski tidak setinggi pendapatan dari film-filmnya.
Kombinasi empat faktor di atas membuat keberanian Fedi Nuril dalam menyuarakan kritik dan koreksi kepada para petinggi negeri menjadi bisa lebih dipahami konteksnya.
3/
Di tengah gencarnya Fedi Nuril melancarkan kritik kepada kekuasaan, ternyata dia juga seorang humoris. Pada akhir Januari 2025, seorang fans K-Pop asal Malaysia mencuit kepada fans K-Pop Indonesia agar bersedia membarter Nicholas Saputra dengan Upin-Ipin.
Usul nyeleneh itu ditanggapi seorang netizen Indonesia yang menyatakan “tak rela jika Nicsap (Nicholas Saputra) dibarter sepasang budak (anak) botak”. Seorang netizen Indonesia lainnya menyarankan bagaimana jika barter Upin-Ipin dengan Fedi Nuril saja? Fans K-Pop asal Malaysia merespon tak terduga. “Duta poligami itu? Suami orang!” cuitnya menegaskan penolakan.
Rupanya, komentar itu dibaca Fedi Nuril yang menanggapi tak kalah jenaka. “Oh my god! Gelar itu bahkan sudah sampai di Malaysia?” tulisnya di X pada 24 Januari 2025.
(Untuk lengkapnya, baca berita Tempo.co “Momen Lucu Fedi Nuril dan Nicholas Saputra Tanggapi Netizen Malaysia” pada tautan https://www.tempo.co/hiburan/momen-lucu-fedi-nuril-dan-nicholas-saputra-tanggapi-netizen-malaysia-1198875)
4/
Salah satu parameter kematangan demokrasi sebuah negara terlihat pada bagaimana pusat kekuasaan merespon kritik yang datang dari publik. Apapun latar belakang profesi mereka, entah akademisi atau aktor dan musisi, karena kebebasan berpendapat dijamin konstitusi.
Fenomena kritisisme Fedi Nuril selayaknya ditempatkan dalam konteks itu. Tak perlu ada pengerahan para pendengung ( buzzer) untuk membungkam pendapat yang berbeda seperti praktik yang lazim terjadi di pemerintahan lalu. Layaknya keindahan sebuah taman yang muncul dari beragam keindahan bunga yang berbeda, pun begitu halnya dengan keindahan taman demokrasi yang bermartabat.
Maka, public enemy bukanlah sosok vokal seperti Fedi Nuril yang tak pernah mengandalkan hidup dari gaji dan anggaran negara yang dihimpun dari pajak rakyat. Public enemy sebenarnya adalah para koruptor berbaju jabatan dan berselimut kekuasaan yang tamak memperkaya diri dan keluarga di tengah kehidupan masyarakat yang semakin berat. []
*Penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Seniman/Budayawan Nasional