Solilokui

Fitnah Keji Wartawati Tv Nasional Terhadap Saya dan Farid Gaban*

Keterangan Irine juga mendiskreditkan kawan-kawan GeoTimes yang lain, seolah-olah mereka tidak peduli ada kejahatan di kantor kami. Apalagi menurutnya upaya pelecehan yang saya lakukan ini terjadi berulangkali. Artinya, karyawan GeoTimes sering mendengarkan teriakan dari lantai atas. Dan sesering itu pula karyawan GeoTimes dianggap tidak peduli dan membiarkan terjadinya kejahatan. 

Oleh  : Zahari**

JERNIH– Tiga bulan lalu (tepatnya 2 Februari 2022) muncul isu yang menimpa saya dan Farid Gaban. Irine Wardhanie, yang kini bekerja sebagai wartawan CNN Indonesia, menuduh kami berdua melakukan kejahatan seksual. Itu fitnah besar terhadap kami.

Irine menuduh saya melakukan percobaan perkosaan terhadap dirinya yang terjadi enam tahun lalu, ketika saya dan Irine bekerja di Majalah GeoTimes

Irine juga menuduh Farid Gaban, pemimpin redaksi majalah, tidak hanya melindungi diri saya, tapi juga mengancam Irine, yang mengaku diri sebagai korban.  Irine menulis tuduhan terbuka melalui akun twitter (@irenzzz) yang dibaca banyak orang dan skrinsutnya masih saya simpan. 

Saya menyatakan bahwa tuduhan itu tidak benar. Itu fitnah keji kepada saya, yang merusak nama baik saya dan keluarga, serta punya dampak besar pada istri dan putri-putri saya. 

Saya mendengar tuduhan ini pertama kali dari putri saya. Dia membaca medsos, dia menangis mendengar tuduhan Irine di medsos itu. Saya juga menerima pertanyaan dari banyak pihak, dari teman-teman yang mengontak saya langsung karena selama ini saya tidak punya akun medsos.

Saat ini saya menetap di Kebumen, Jawa Tengah. Sehari-hari saya membantu istri berjualan kue kering di pasar dan beternak kambing.

Jika sekarang saya muncul di medsos, pertama-tama karena saya ingin menjelaskan duduk perkara, menunjukkan kebohongan Irine serta menuntut permintaan maaf darinya.

Di bawah ini kesaksian saya menjawab detil tuduhan Irine di Twitter pada 2 Februari 2022.

Irine :

2015 saya menjadi reporter di GeoTimes, pelecehan verbal dilakukan oleh Zahari, manager distribusi. Saya masih mampu menegur secara keras kelakuannya.

Zahari :

Pelecehan verbal tidak pernah saya lakukan. Saya tidak pernah berbicara intens dengan Irine dan tidak memiliki hubungan kerja secara langsung karena saya bekerja di bagian sirkulasi majalah, sementara Irine bekerja di bagian redaksi sebagai reporter. Di perusahaan media, sirkulasi dan redaksi merupakan bagian terpisah. 

Irine :

Tiga bulan saya dikirim untuk ikut ekspedisi TNI AL. Sekembalinya saya ke kantor pelecehan makin menjadi. List kata-kata pelecehan yang saya terima dari pelaku: Jalanmu kayak lonte, sudah berapa kontol yang masuk ke memekmu di kapal? Tidur yuk! Kita sama-sama single khan? Kamu pasti udah nggak perawan.

Zahari :

Saya tidak pernah mengatakan yang seperti itu baik kepada Irine maupun kepada karyawati lain. Saya berani bersumpah atas nama Al-Quran.

Dua urutan tweet Irine (di atas) langsung menggambarkan saya sebagai orang yang jahat kepada dia. Dia menggambarkan cukup detail, tetapi Irine bahkan tidak mencantumkan latar belakang kenapa tiba-tiba saya dituduh melontarkan banyak pelecehan verbal. 

Saya tidak pernah punya masalah pribadi yang buruk dengan Irine, sehingga tidak ada alasan bagi saya untuk menghina dan merendahkan martabatnya. Kali ini, sebaliknya saya justru akan menjelaskan bahwa Irine-lah yang melakukan kekerasan terhadap saya. 

Hubungan pertemanan saya dan Irine tidak terlalu akrab jika dibandingkan hubungan saya dengan teman-teman perempuan lain di kantor. Teman-teman perempuan lain sering meminta saya mengantar mereka naik sepeda motor ke stasiun, dan bahkan ke rumah, jika mereka pulang larut malam. Irine tidak pernah meminta saya mengantar.

Mungkin banyak yang bertanya: mengapa saya yang disebut Irine sebagai manager distribusi majalah, justru seperti tukang antar jemput karyawan? Saya akan jelaskan posisi saya sebagai bagian sirkulasi dan saudari Irine sebagai jurnalis di GeoTimes

Pertama, dalam struktur resmi GeoTimes, jabatan saya memang disebut manager distribusi. Saat itu, GeoTimes adalah media baru dan kecil, namun perusahaan perlu penanggung jawab bagian sirkulasi. Meski jabatan saya disebut manager, saya tak punya anak buah.

Dengan kata lain, bagian sirkulasi majalah (antar-jemput cetakan) adalah saya sendiri. Tapi, seperti halnya di banyak perusahaan lain jabatan manager dicantumkan di majalah sebagai kelaziman bagi image perusahaan dan citra bisnis. 

Sehari-hari, posisi dan tanggung jawab saya setingkat di atas kawan-kawan office boy dan sekuriti. Dalam berbagai kesempatan saat banyak tamu dan office boy kewalahan, saya membantu membersihkan kantor dan peralatan dapur. Juga bertugas membeli makanan untuk tamu tertentu. 

Irine :

Tidak hanya itu, pelaku juga beberapa kali masuk ke ruang kerja saya dan mengunci pintu dan memaksa saya untuk having sex dengan dia, lampu dia matikan dan dia bilang mumpung sepi. Yang bisa saya lakukan hanya teriak tapi tidak ada yang nolong. Padahal banyak orang di lantai bawah.

Zahari :

Irene tidak punya ruang kerja pribadi. Dia bekerja di ruang redaksi yang terbuka tanpa sekat bersama reporter-reporter lain. Saya tidak bisa membayangkan orang bisa bersenggama (having sex) di ruang terbuka seperti itu. Apalagi dengan memaksa.

Kantor kami dua lantai. Jika membaca pengakuan Irine, saya asumsikan kejadiannya di lantai atas, pada siang hari dan di jam kerja, karena dia menyebut masih banyak orang di lantai bawah. Jika demikian, maka di lantai atas pun di jam kerja itu hampir mustahil sama sekali tidak ada orang. Karena dalam kondisi normal, di lantai atas terdapat setidaknya lebih dari 10 orang. 

Keterangan Irine juga mendiskreditkan kawan-kawan GeoTimes yang lain, seolah-olah mereka tidak peduli ada kejahatan di kantor kami.

Apalagi menurutnya upaya pelecehan yang saya lakukan ini terjadi berulangkali. Artinya, karyawan GeoTimes sering mendengarkan teriakan dari lantai atas. Dan sesering itu pula karyawan GeoTimes dianggap tidak peduli dan membiarkan terjadinya kejahatan. 

Irine :

Pelaku juga mulai berani megang badan saya. Dia suka meremas pantat saya. Karena saya tidak tahan, saya cerita kelakuannya ke salah satu fotografer Geotimes. Fotografer tersebut menegur pelaku dan minta saya untuk menghindari pelaku.

Zahari:

Tidak ada. Saya bersumpah tidak pernah melakukannya. Dan tidak pernah ada fotografer GeoTimes yang pernah menegur saya soal itu. 

Fotografer GeoTimes saat itu hanya ada dua orang, yaitu Andrey Gromico dan Felix Jody Kirnawan, jadi mustahil saya tidak ingat jika salah satunya pernah menegur saya terkait pelecehan seksual. 

Lagi-lagi saudari Irine menggambarkan saya demikian leluasa yang disebutnya menggunakan berbagai kesempatan untuk melampiaskan kejahatan di tempat kerja. Dan seolah-olah tindakan saya ini tak bisa dihentikan oleh siapa pun. Padahal, menimbang posisi saya dalam struktur, mestinya saya bisa dengan mudah dipecat atau bahkan dilaporkan ke polisi kapan saja. 

Irine :

Sampai ada satu momen saya harus menyerahkan sendiri kuitansi rumah sakit untuk di-reimburse. Awalnya saya nitip ke teman, tapi pelaku minta saya untuk menyerahkan sendiri.

Zahari:

Saya ingat Irine datang ke meja saya menyerahkan kuitansi klaim kesehatan (reimburse), pada November 2015. Beberapa hari kemudian dia datang lagi menanyakan tentang klaim itu, kenapa belum diproses. Saya jawab klaim itu belum bisa diproses tanpa tanda tangan Pemimpin Redaksi Farid Gaban yang sedang berada di luar kota. Irine marah dengan cara melempar kertas kuitansi klaim ke muka saya.

Mengumpulkan klaim bukan tugas saya. Tapi, karena sekeretaris redaksi berhalangan saya diminta sementara melakukan tugas sambil menunggu pemimpin redaksi datang dari luar kota untuk pencairan klaim. 

Penjelasan sesederhana ini tidak diterima saudari Irine. Padahal, bersamaan dengan klaim saudari Irene, juga ada dua klaim lain yang juga menunggu kedatangan pemimpin redaksi. 

Peristiwa pada November 2015 inilah yang bagi saya justru pertama kali saya memiliki masalah dan konflik dengan Irine. Dan dalam kejadian ini justru Irine-lah yang melakukan kekerasan fisik dengan melempar kertas klaim ke wajah saya. 

Ini sekali lagi menunjukkan bahwa saya dianggap tidak lebih tinggi dari Irine sebagai pelaku kekerasan. 

Irine :

Saat saya datang ke ruangannya suasana kantor sedang ramai. Di ruangannya ada ada 1 orang tapi orang itu pergi. Lalu saya ditarik dan dia mencoba melakukan perkosaan di ruangannya siang hari.

Zahari:

Saya tidak punya ruang kerja pribadi. Ruang kerja saya adalah garasi terbuka tempat karyawan karyawan GeoTimes lalu-lalang, keluar-masuk kantor.

Jadi tidak mungkin saya menarik dia ke ruangan pribadi saya, karena saya tidak punya ruang kerja pribadi. Apalagi di siang hari ketika banyak orang sangat mungkin lewat depan meja saya.

Kalaupun Irine kerap ke ruangan saya yang terbuka, biasanya untuk urusan menukar uang receh untuk ongkos ojek atau meminjam sepeda motor untuk liputan. (Kendaraan dinas saya adalah sepeda motor).  

Irine :

Saya berhasil lari dan minta tolong ke teman-teman yang ada di ruang redaksi dan pelaku berhasil mengejar saya dan dia menjambak rambut saya dan kepala saya dibenturkan ke besi rangka ruang kaca. Banyak saksi yang melihat karena sekali lagi kejadian ini siang hari.

Zahari:

Setelah melempar kuitansi ke muka saya, Irine pergi ke ruang redaksi. Saya mengejar dia untuk menjelaskan sekali lagi bahwa kuitansi reimburse itu tak bisa diproses sebelum ada tanda tangan pemimpin redaksi.

Sangat tidak mungkin saya menjambak dan membenturkan kepalanya di depan orang banyak tanpa ada satu pun dari mereka yang bereaksi. 

Apalagi terkait percobaan perkosaan. Jika mengacu keterangan Irine, artinya ini usaha saya yang kesekian kalinya melakukan kekerasan seksual di kantor dan di jam kerja di depan banyak saksi dan tidak ada satu pun yang bereaksi untuk mencegah atau menolong. 

Beberapa hari kemudian soal ini dilaporkan kepada atasan Irine di bidang redaksi, yaitu Ibrahim Ali Fauzi (Redaktur Pelaksana GeoTimes), yang kemudian memanggil saya, satpam (sebagai saksi), Irine sendiri, Arman Dhani (sebagai pendamping Irine) dan ada beberapa orang yang saya lupa. 

Di situ, Irine melontarkan dua tuduhan kepada saya: pertama, saya disebut memukul dia;  kedua, saya disebut melakukan percobaan perkosaan.

Dalam forum itu, saya menolak tuduhan. Bantahan saya diperkuat oleh kesaksian sekuriti Achmad Prabudi (Budi) yang mengatakan bahwa tidak ada pemukulan. Saat itu saudara Budi berada di ruangan di mana menurut Irine kepalanya saya benturkan ke rangka besi ruang kaca. 

Budi berada di ruangan tersebut karena mengikuti saya yang berusaha mengejar Irine setelah ia melempar kertas ke wajah saya. Sebagai sekuriti, saudara Budi ingin memastikan saya tidak membalas kekerasan dan memang tidak saya lakukan. Karena saya mengejar Irine untuk memberi penjelasan dan menyesalkan kekerasan yang ia lakukan. 

Dalam forum itu saya mengatakan, “Kalau saya dianggap salah, saya minta maaf.” Saya melakukan ini semata-mata bukan karena saya memukul, tapi agar masalah ini tidak berkepanjangan meski bagi saya justru saudari Irine-lah yang melakukan kekerasan fisik dengan melemparkan kuitansi klaim ke wajah saya. 

Namun yang bersangkutan tidak merasa bersalah. Dia bahkan dengan arogan menyatakan memaafkan saya atas kasus pemukulan yang tidak pernah ada. Tapi yang bersangkutan menyatakan tidak memaafkan saya atas kasus (tuduhan) percobaan pemerkosaan. 

Jika ada pihak yang ingin melakukan rekonstruksi di lokasi yang disebut Irine, saya bersedia menggambarkan lebih detail desain ruangan dan posisi kami masing-masing saat itu. 

Beberapa hari kemudian, setelah datang dari luar kota, Pemimpin Redaksi Farid Gaban memanggil saya. Dia memberi tahu saya bahwa soal tuduhan percobaan perkosaan akan dikaji oleh Yayasan Pulih, lembaga independen yang dipilih oleh para pendamping Irine sendiri.

Farid Gaban mengatakan dia akan menerima rekomendasi dari Yayasan Pulih, apa pun hasilnya. Jika Yayasan Pulih mengkonfirmasi tuduhan Irine, Farid Gaban mengatakan akan memecat saya dan mendukung Irine melapor kasus ini ke pihak yang berwenang.

Setelah kejadian ini, saya menunggu dan bekerja seperti biasa. Dan saya masih berhubungan baik dengan kawan-kawan karyawan perempuan yang masih meminta saya mengantar jika pulang larut malam. Tidak ada satu pun yang berubah sikap, mengucilkan saya atau menganggap saya sebagai penjahat seksual. 

Bahkan saudari Irine sendiri masih menukarkan uang untuk membayar ojek dan meminjam motor saya untuk liputan. Saya mengingat ini karena di GeoTimes hanya ada dua orang yang suka meminjam motor saya, yaitu saudara Arman Dhani (reporter) dan saudari Irene sendiri. Motor saya adalah Honda Supra X tahun 2015. 

Bagi saya tidak masuk akal korban kekerasan seksual yang biasanya trauma berhubungan dengan pelaku justru masih berhubungan dengan saya untuk hal-hal pribadi, sampai kemudian dia keluar dari GeoTimes. Karena itu saya sangat terkejut ketika mendapati tweet saudari Irine enam tahun kemudian. 

Saya paham bahwa dalam kasus kekerasan seksual, secara umum orang lebih percaya pada mereka yang mengaku korban. Apalagi, jika pelakunya memiliki kedudukan lebih tinggi atau lebih berkuasa terhadap korban. Hal lain, para pelaku kekerasan seksual juga cenderung memiliki rekam jejak terkait kasus kekerasan atau pelecehan seksual di tempat lain sebelumnya. 

Dalam kasus saya jelas saya tidak memiliki kekuasaan kedudukan lebih tinggi dari Irine. Bahkan saya bukan atasan yang bersangkutan. Dan saya tidak memiliki rekam jejak melakukan kekerasan seksual. 

Karena itu saya terbuka bagi siapa saja yang ingin memeriksa latar belakang saya di tempat kerja sebelumnya. Misalnya saya pernah tiga tahun (2003–2005) bekerja di perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia, yang bertanggung jawab di lokasi pelatihan dan penampungan calon buruh migran ke Timur Tengah yang seluruhnya adalah perempuan. 

Dengan kemunculan saya di media sosial ini, dan jika penjelasan ini dibaca oleh kawan-kawan perempuan buruh migran yang pernah berhubungan dengan saya, terbuka kesempatan memberikan kesaksian apakah saya punya catatan melakukan kekerasan seksual. 

Saya juga pernah bekerja di perusahaan media lain, yaitu Prioritas (2009), di mana orang-orang yang pernah bekerja di media tersebut juga dapat muncul dan memberikan kesaksian terkait saya. 

Sebagian besar kronologi dan detil versi saya di atas sudah saya sampaikan ke lembaga pendamping dan kuasa hukum Irine, yaitu LBH Pers dan AJI Jakarta, serta tembusan ke Komnas Perempuan pada bulan Maret 2022, atau satu bulan setelah Irine melontarkan fitnah di media sosial. Tapi hingga saat ini (Mei 2022) saya tidak pernah dihubungi, dipanggil, dikonfirmasi, dikonfrontasi, atau diproses lebih lanjut oleh pihak mana pun. 

Kronologi di atas juga kali ini saya tembuskan kepada kantor media di mana tempat saudari Irene saat ini bekerja (CNN Indonesia). 

Saya khawatir, inilah yang terjadi dalam kasus fitnah ini selama enam tahun terakhir. Dan akan berlanjut menjadi fitnah di tahun-tahun mendatang. Karena itu saat ini saya muncul dan membuat akun di media sosial. Karena tuduhan dan fitnah ini telah mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi saya beserta keluarga. Termasuk anak-anak perempuan saya. 

Secara terbuka kini saya menuntut saudari Irine untuk mencabut dan meminta maaf atas segala fitnah yang telah ia lontarkan ke publik pada 2 Februari 2022 melalui akun twitter @irenzzz.

Saya juga mengimbau secara moral, bagi siapa saja yang telah menyebarluaskan tweet Irine, mohon berkenan juga ikut menyebarkan penjelasan versi saya ini. 

Apakah publik lebih percaya pada saudari Irine atau saya, saya menyerahkan sepenuhnya pada penilaian masing-masing. Saya hanya memohon diberikan kesempatan yang sama melalui para netizen semuanya untuk memberikan penjelasan terkait kasus ini. 

Saya siap bekerja sama dan memenuhi undangan atau panggilan pihak mana pun, yang ingin serius memeriksa kasus ini. Bahkan jika ada kawan-kawan eks GeoTimes yang pernah mendengar teriakan, melihat kekerasan yang saya lakukan pada saudari Irine, saya terbuka mendengar kesaksian mereka. 

Dengan pengakuan Irine bahwa kekerasan seksual yang saya lakukan terjadi di jam kerja di mata banyak saksi, mestinya yang bersangkutan tak kesulitan mendapatkan saksi yang mendukung semua ceritanya, sehingga kasus ini mestinya lebih mudah diproses tanpa menunggu 6 tahun. [  ]

*Versi ‘korban’ tercakup dalam tulisan ini.

**Zahari, pemilik akun Twitter @ZahariZahari13

Back to top button