Solilokui

FOBO: Lumpuh dalam Limpahan Pilihan

Barry Schwarz, penulis buku “The Paradox of Choice”, menyebutkan ada dua efek negatif yang muncul di tengah kelimpahan pilihan ini.  Efek pertama, secara paradoks, kelimpahan itu menyebabkan kelumpuhan daripada kebebasan.

Oleh  : Yuliani Liputo*

JERNIH– Hari-hari ini saya sedang berusaha mencari hadiah ulang tahun untuk anak sulung saya yang bulan depan berusia dua puluh. Dalam keterbatasan pergerakan saat ini, andalan saya adalah toko online. Saya berharap dengan mengetikkan kata kunci tumbler atau headset di kotak pencarian Shopee atau Lazada, urusan bisa selesai dengan cepat.

Tapi rupanya tak semudah itu. Shopee menampilkan 100 halaman hasil pencarian dengan masing-masing halaman berisi 50 jenis tumbler. Lazada menyebutkan ada 1.688.191 barang ditemukan untuk “headset“. Oh, baiklah.

Ada ribuan bahkan jutaan pilihan yang muncul untuk setiap barang yang saya cari, dengan beragam variasi warna, bentuk, harga, ukuran, fungsi, lokasi penjual. Untuk headset ada pula pilihan gaming, bluetooth, full bass dan macam-macam lagi. Belum lagi berhadapan dengan aneka ragam merek dan rekomendasi dari para reviewer.

Terlalu banyak variasi, terlalu banyak pilihan, perlu lebih banyak waktu untuk menentukan mau pilih yang mana. Jadi, saya tunda dulu keputusan pembelian. Mungkin besok, atau besoknya lagi, lusa atau besok yang tak pernah datang. Sementara tanggal ulang tahun makin mendekat.

Setiap hari kita berhadapan dengan banyak sekali pilihan. Apalagi dengan kemudahan akses seperti sekarang ini, bahkan untuk keputusan yang dulunya sederhana seperti menentukan mau makan apa di mana atau belanja kebutuhan sehari-hari, kita kerepotan menghadapi kemungkinan pilihan yang terlalu banyak.

Kita mengasosiasikan adanya banyak pilihan dengan kemajuan dan kebebasan. Dulu kita tidak punya pilihan sebanyak ini. Kita merasa tertinggal jika tidak tahu ke mana harus mencari untuk mendapatkan barang tertentu. Suatu barang jadi terkesan eksklusif, karena hanya bisa diperoleh orang tertentu yang punya koneksi. Tapi sekarang segala macam pilihan terbuka dengan mudah diakses siapa saja di mana saja.

Bukan hanya terkait dengan barang. Pilihan yang terlalu banyak juga terjadi dalam bidang kesehatan, hiburan, pendidikan, investasi dan lain-lain.

Banjir pilihan dalam hiburan dan investasi terjadi karena kemudahan akses lewat aplikasi, entah itu untuk streaming film seperti Netflix dan Viu, atau untuk beli reksadana seperti Bareksa dan Bibit.

Dalam bidang kesehatan, lihat, ada berapa jenis merek obat untuk menyembuhkan demam dan diare. Bedanya hanya sedikit-sedikit. Ada begitu banyak jenis jamu untuk masuk angin. Membiarkan keputusan diambil oleh pengguna dalam memilih obat, seperti pengalihan tanggung jawab kepada tangan orang yang tidak punya keahlian. Tapi itu hal lain yang perlu pembahasan sendiri.

Barry Schwarz, penulis buku “The Paradox of Choice”, menyebutkan ada dua efek negatif yang muncul di tengah kelimpahan pilihan ini.  Efek pertama, secara paradoks, kelimpahan itu menyebabkan kelumpuhan daripada kebebasan. Dengan begitu banyaknya pilihan, orang justru merasa sangat sulit untuk memilih. Kelumpuhan atau ketidakmampuan untuk memilih adalah konsekuensi dari memiliki terlalu banyak pilihan.

Efek kedua, bahkan jika kita berhasil mengatasi kelumpuhan itu dan mampu membuat pilihan, kita pada akhirnya akan kurang puas dengan apa yang kita pilih dibandingkan jika kita memiliki lebih sedikit pilihan.

Misalnya, dengan banyaknya jenis headset yang berbeda untuk dipilih di toko online, jika saya memilih salah satunya saya dengan mudah membayangkan bahwa barangkali pilihan yang lain adalah yang lebih baik. Lantas alternatif yang saya bayangkan ini membuat saya menyesali keputusan yang sudah saya buat.

Penyesalan ini mengurangi kepuasan atas keputusan saya, meskipun itu mungkin keputusan yang bagus. Semakin banyak pilihan, kata Barry Schwarz, semakin mudah kita menyesal dan kecewa dengan apa pun yang akhirnya kita pilih.

Tidak mengambil keputusan dalam hal yang sederhana, ketika semua pilihan dapat berterima, juga disebut “fear of better option” atau FOBO, sebuah istilah yang dilontarkan oleh Patrick McGinnis, yang sebelumnya menciptakan istilah FOMO, ”fear of missing out”.

Dalam FOMO, kita takut ketinggalan perkembangan tren di media sosial, sehingga kita terus-menerus lekat dengan ponsel dan scrolling linimasa berjam-jam. Dalam FOBO, kita tak mampu membuat pilihan karena takut akan selalu ada pilihan yang lebih baik daripada yang kita ambil.

Jadi saat memutuskan untuk menunda memilih dari ribuan dan jutaan tumbler dan headset tadi, saya sedang mengalami efek negatif dari kelimpahan pilihan, saya mengalami FOBO.

Tapi, pada akhirnya pilihan tetap harus dibuat.  Saya tahu cara terbaik untuk menentukan pilihan dalam kasus ini adalah dengan membiarkan anak saya yang memilih. Dia yang tahu warna kesukaannya, bentuk, merek dan fungsi yang paling sesuai dengan kebutuhannya.

Memang, ini bukanlah cara yang asyik. Ini jalan cari aman. Karena dengan cara ini, saya meletakkan tanggung jawab pengambilan keputusan ke tangan pengguna. Setidaknya ini bukan keputusan pada level yang berisiko tinggi, sebagaimana halnya keputusan dalam menentukan obat yang dipilih untuk mengobati penyakit, misalnya.

Namun, layak disesalkan bahwa jalan terbaik untuk mengurangi efek penyesalan dan FOBO ini justru dengan menghilangkan faktor kejutan yang menjadi sumber kesenangan ketika menerima hadiah ulang tahun. Baiklah, sepertinya saya harus cari cara lain untuk mendapatkan kegembiraan dalam merayakan milestone dua puluh tahun anak saya. [  ]

Pegiat dunia literasi, editor banyak sekali buku—jernih.co

Back to top button