Hanya Amir Murtono ketua umum Golkar yang mengemban dua kali masa jabatan. Itu artinya, pada 2024 nanti, Airlangga tak akan melabrak konvensi alamiah itu dengan mencalonkan dirinya kembali. Sebaik-baiknya, tentu penggantinya nanti janganlah kader yang memiliki usia sama, atau bahkan jauh lebih tua. Jangan lupa, bila Airlangga lahir pada 1962, seharusnya penggantinya adalah kader yang setidaknya lahir tahun itu pula. Itu pun sebenarnya tidak ideal karena berpola pikir sejenis dari generasi yang sama. Golkar jangan terperosok gerontokrasi alias kepemimpinan para uzur.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Jika watak Airlangga Hartarto cenderung seorang politikus yang mencintai kursi dan kedudukan lebih dari apa pun, sebulan terakhir adalah waktu-waktu yang bisa membuatnya insomnia, resah, gundah dan gelisah. Pokoknya, bisa bikin botak kepala politisi hamba kursi.
Betapa tidak, bukan hanya tuntutan Munaslub yang sengaja diamplifikasi sekeras mungkin dan dibuat bersipongang di media massa selama mungkin. Persoalan kian runcing saat rekannya di Kabinet dan partai, Luhut Binsar Pandjaitan, terang-terangan berambisi mengambil-alih kursi yang kini ia duduki.
Namun memang, sekali lagi, Airlangga adalah tokoh politik yang tak sepenuhnya politisi–dengan segala watak culas yang dianggap publik tersimpan pada profesi itu. Ia, seperti kita lihat di layar tv, tampaknya “woles” saja ketika badai itu dicoba ditiup-tiupkan kalangan internal Partai Beringin. Airlangga hanya tampak tegang usai pemeriksaan 12 jam di Kejagung. Tetapi leher dan wajah siapa yang tak akan kaku setelah diberondong pertanyaan dan jebakan seharian penuh? Anak SMP yang menghadapi ujian berjam-jam tanpa kemungkinan masuk penjara bila jawabannya ngaco semua pun, setelahnya mungkin perlu mendatangi terapis dan minta dipijit. Apalagi Airlangga, yang menghadapi pemeriksaan Kejagung itu di kala partai dan kursinya, ibaratnya, terancam sekawanan lanun.
Lawan-lawannya dalam partai menuding Airlangga gagal menakhodai Golkar. Untungnya, Airlangga bukan kusir yang senang berdebat dan menuntut penjelasan, kriteria, apalagi definisi kegagalannya. Selain juga tampaknya pihak lawan pun tak sepenuhnya mempersiapkan “hujjah” itu. Alhasil, tudingan itu pun layu sebelum berkembang menjadi urusan yang lebih rumit. Belakangan, DPD-DPD—kekuatan Golkar di wilayah provinsi–bahkan bisa berkumpul, mengambil sikap untuk melupakan Munaslub, dan siap menggelar Munas pasca-Pemilu 2024 nanti. Di situlah siapa pun kader Golkar yang punya ambisi dan penuh hasrat, bisa turun gelanggang berkompetisi.
Airlangga gagal?
Benarkah Airlangga gagal menakhodai Partai Golkar? Saya tak tahu apakah ada evaluasi internal yang transparans soal itu, atau tidak. Apalagi, menurut saya, evaluasi paling kredibel untuk itu adalah hasil Pileg 2024, dan–bila Airlangga berhasil menjadi salah satu calon baik capres atau pun cawapres—, tentu saja juga hasil Pilpres mendatang. Jika kader Golkar yang masuk Senayan lebih sedikit, baik secara jumlah maupun proporsi, dibanding hasil Pemilu 2019, artinya jelas Airlangga gagal. Pada Pileg 2019, Partai Golkar menjadi parpol pemenang kedua setelah PDIP, dengan 85 kursi dan jumlah suara: 17.229.789 (12,31 persen). PDIP berada di atasnya dengan 128 kursi dan 27.503.961 (19,33 persen) suara.
Sebelum itu, hujjah valid mana yang bisa menyatakan Airlangga gagal? Jangan lupa, Airlangga terpilih menjadi ketua umum Partai Golkar pada 4 Desember 2019, menggantikan Setya Novanto. Ia belum menjadi ketua umum pada saat dan sebelum Pileg-Pilpres 17 April 2019. Dengan kasus kriminal yang melilit Setya Novanto saat itu, bisa dikatakan persiapan Golkar menghadapi Pemilu 2019 sejatinya jauh dari optimal. Toh, mereka meraih kursi kedua terbanyak. Artinya jelas, di internal Golkar telah berjalan mekanisme yang baik dalam urusan persiapan Pemilu. Sistem yang bisa dirunut ke pengalaman berpuluh tahun sebagai partai hegemonic di masa Orde Baru itu menunjukkan kepada kita, mesin partai bisa menghidupkan, memanaskan dan menjalankan fungsinya sendiri tanpa banyak tergantung siapa yang tengah menjadi pimpinan tertinggi.
Di sisi lain, alhasil yang menjadi dasar argumen untuk mendongkel Airlangga sejatinya hanya prediksi. Entah itu datang sebgaia ‘nubuat’ lembaga survey atau jangan-jangan via mimpi. Sekian banyak hasil survey memang selalu memberikan nilai “jeprut” buat Airlangga. “Tak sekali pun pernah ada di lima besar,”kata elit Golkar yang kritis kepadanya. Padahal, untuk masuk lima besar versi lembaga survey, mungkin bisa saja Airlangga menggunakan lembaga “sure pay”. Setidaknya menurut info versi “konon kabarnya” yang sering kita dengar. Tapi setahu publik, tidak sebagaimana partai lain, bahkan yang lebih gurem, Golkar belum terdengar menggandeng lembaga survey atau konsultan Pemilu mana pun selama tiga tahun terakhir ini.
Punya gudang prestasi
Sejatinya gegabah bila mereka yang saat ini tengah berhadapan kepentingan dengan Airlangga mengatakannya tak punya prestasi. Sukses Indonesia keluar dari pandemic COVID-19 dengan prestasi ekonomi yang tak kurang bling-bling kemilau, dalam pandangan manusia yang serba papa, agak mustahil tidak melibatkan namanya.
Airlangga berperan besar dalam dua prestasi spektakuler yang ditorehkan Indonesia sepanjang pandemi COVID-19 hingga saat ini. Keduanya itu adalah suksesnya Indonesia melewati masa kritis pandemi, serta kemampuan untuk mempertahankan kinerja ekonomi yang kinclong di tengah segala kesulitan dan bayangan resesi di masa depan yang dekat (immediate future).
Lain dengan pendekatan “Zero-COVID Cina yang terbukti mendapatkan penentangan warga, kebijakan “rem dan gas” Menko Ekonomi, berhasil menurunkan kasus COVID-19 secara signifikan, sementara perekonomian yang sempat terkontraksi dan mencatatkan angka minus, kemudian bangkit. “Indonesia diakui sebagai salah satu dari lima negara teratas di dunia dengan tingkat vaksinasi tertinggi. Kita telah memberikan vaksinasi lebih dari 430 juta dosis,” ujar Airlangga, Oktober 2021 lalu.
Dengan membaiknya kondisi pandemi, roda perekonomian pun kembali berputar. Pelan tapi pasti, ekonomi negara berangsur pulih. “Pertumbuhan kita tinggi, menunjukkan pemulihan ekonomi yang lebih baik dari negara lain. Bahkan, jauh lebih baik jika dibandingkan dengan beberapa negara maju di G20,” kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam konferensi “APBN Kita”, November 2022. Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi Indonesia empat kuartal berturut-turut selalu di atas lima persen, alias sudah 6,6 persen di atas level pra-pandemi. Angka 6,6 persen yang dimaksud Sri Mulyani itu merupakan level PDB Riil secara kumulatif, sejak kuartal I hingga kuartal III tahun 2022. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 2022 memang pada Kuartal I-2022 tumbuh 5 persen (year on year/yoy), meningkat menjadi 5,4 persen (yoy) pada Kuartal II-2022, dan naik lagi menjadi 5,7 persen (yoy) pada Kuartal III.
Yang membuat optimistis, kinerja perdagangan Indonesia, yang bisa dipantau dari neraca perdagangan pun sangat menggembirakan. Sri saat itu menunjukkan kinerja ekspor Indonesia yang selalu mencatatkan kenaikan double digit. Pada Oktober 2022 tumbuh 12,3 persen dan secara year to date (ytd) tumbuh 30,97 persen.
Pada saat yang sama impor naik 17,4 persen atau ytd tumbuh 27,7 persen. “Ini menimbulkan dinamika neraca perdagangan Indonesia. Sampai hari ini membukukan surplus 5,7 miliar dolar AS di Oktober. Konsisten surplus selama 30 bulan berturut-turut,” ujar Mbak Sri.
Untuk semua data yang menerbitkan optimisme itu Sri Mulyani tidak alpa menegaskan peran penting Airlangga. Pada sebuah posting di akun TikTok @cloudtech22, Sri Mulyani mencuit. “(Saat itu) saya tak pernah tahu (bagaimana) Pak Airlangga tidur, karena rapatnya itu terus, sambung-menyambung menjadi satu,” kata Sri Mulyani, berseloroh, mengambil satu lirik lagu wajib, “Dari Sabang Sampai Merauke”. “Itulah Menko Perekonomian!”
Wajar bila pada 2022 itu seorang akademisi Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menyatakan bahwa Airlangga layak menyandang julukan Bapak Ekonomi Kerakyatan. Semua terutama karena keberhasilannya memimpin negeri keluar dari krisis, terutama krisis COVID-19, sambil menguatkan ujung tombak pertumbuhan ekonomi nasional, yakni koperasi dan usaha mikro-kecil dan menengah (UMKM).
Hal itu dibenarkan para pemimpin rakyat di akar rumput. Misalnya, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, KH Samsul Ma’arif. Samsul menilai kinerja Airlangga di kementerian sangat dirasakan manfaatnya, terutama di sektor ekonomi umat. “Saya memandang positif, beliau (Airlangga) turun ke pesantren, menyebar banyak program ekonomi keumatan,”kata KH Samsul. Ia juga mengapresiasi kepedulian Airlangga terhadap ekonomi pesantren.
Apakah semua itu tak punya imbas pada wajah politik Golkar? Hasil survei LSI Denny JA yang disiarkan awal November 2022 menyatakan kenaikan signifikan elektabilitas Partai Golkar di mata publik. Rilis hasil survei itu mengatakan, ada tiga alasan yang membuat elektabilitas Golkar meningkat. Salah satunya dikaitkan dengan kepuasan publik terhadap penanganan COVID-19 yang ditangani Ketua KPC-PEN, Airlangga Hartarto, yang jelas juga ketua umum Partai Golkar. “Tingkat kepuasan masyarakat terhadap penanganan COVID-19 mencapai angka 76,5 persen,” tulis rilis LSI Denny JA yang saat itu beredar di media massa.
Kelemahan Airlangga, kalau menurut komunikolog Emrus Sihombing akhir tahun lalu, memang pada sisi komunikasinya dengan publik. Padahal, kata pengajar Universitas Pelita Harapan itu, dari sekian banyak tokoh yang disebut-sebut potensial sebagai calon presiden, hanya Airlangga yang menurutnya mengusung isu riil, yakni ekonomi bangsa. “Terus terang saya mengatakan, semua kandidat yang ada di Indonesia, kecuali Airlangga Hartarto, belum ada yang mengedepankan isu ekonomi,”kata dia, saat itu.
Emrus menduga, masih stagnannya elektabilitas Airlangga itu disebabkan sang tokoh terlalu sibuk bekerja, sehingga cenderung lupa berkomunikasi dengan publik. “Ada kelemahan beliau ini yaitu selalu bekerja. Padahal sekarang yang seharusnya (dilakukan) itu bekerja dan berkomunikasi, agar diketahui publik,”kata Emrus. Itulah, barangkali, yang meski tak sepenuhnya cocok, membuat Airlangga terkena dampak peribahasa “kerbau punya susu, sapi punya nama”.
Tetapi, dari sisi husnudzan atawa berbaik sangka, mungkin memang di situlah passion Airlangga: berkiprah tak pernah setengah-setengah buat kebaikan bangsa. Dan bila ia tak banyak bicara soal dirinya, itu pun sekaligus menegaskan sikapnya yang tampak cenderung menjauh pencitraan diri. Ia bergerak, bekerja buat bangsa, bukan untuk pamrih lain di satu titik di depan.
Jauhi gerontokrasi
Seingat saya, selama sejarahnya hanya ada seorang ketua umum Partai Golkar yang dua kali menyandang masa jabatan. Orang itu adalah (Mayjen) Amir Murtono, yang menjadi ketua umum Golkar dari 1973 sampai 1983. Selain itu, bahkan nama-nama kuat yang menjadi ikon Beringin, seperti Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla pun, hanya memegang satu periode jabatan.
Itu artinya, pada 2024 nanti, Airlangga tak akan melabrak konvensi alamiah itu dengan mencalonkan dirinya kembali. Tetapi ya, sebaik-baiknya, tentu penggantinya nanti janganlah kader yang memiliki usia sama, atau bahkan jauh lebih tua. Jangan lupa, bila Airlangga lahir pada 1962, seharusnya penggantinya adalah kader yang setidaknya lahir tahun itu pula. Itu pun sebenarnya tidak ideal karena berpola pikir sejenis dari generasi yang sama.
Pasalnya, meski tidak haram, sebaiknya kita memang menghindari gerontokrasi atau –menurut KBBI—pemerintahan atau kekuasaan yang dikendalikan oleh orang-orang tua. Pasalnya, sebagaimana awal mulanya yang diperkenalkan di Prancis pada abad 19, para politisi yang sudah tua umumnya lekat dengan perilaku politik patronizing. Ciri umum lain yang melekat pada kepemimpinan model gerontokrasi adalah konservatif, lambat, dan kaku. Bila perlu bukti, buka saja laman-laman media mass akita akhir-akhir ini, manakala seorang tokoh politik tua bilang dirinya –kira-kira—anti-perubahan.
Dalam praktiknya, umumnya gerontokrasi membatasi akses untuk orang-orang yang masih muda pada kekuasaan; bahkan tak jarang ditutup. Di dalam gerontokrasi, orang tua mengambil posisi sebagai subjek, sementara kaum muda seringkali sebatas objek.
Pola seperti ini umumnya terjadi di lembaga-lembaga agama, semisal pesantren dan College of Cardinals. Sejumlah pesantren di Indonesia menjalankan model gerontokrasi ini, dengan model pengendalian di tangan para kyai yang sudah berumur. Sementara di College of Cardinals, para kardinal yang pada umumnya juga sudah sangat senior. Tapi dalam dunia kerohanian, yang menuntut kedewasaan dan kebijaksanaan pola pikir, sikap, dan tindak tanduk, model seperti itu memang masih bisa ditoleransi.
Bahkan menurut Polybius–lahir sekitar 203 SM atau 198 SM di megalopolis Arcadia, Yunani kuno–gerontokrasi akan melahirkan oligarki partai, yakni terbangunnya kekuasaan partai yang proses dan hasilnya dikendalikan oleh segelintir kecil elite partai. Pos-pos politik paling strategis tetap hampir sepenuhnya dikuasai generasi tua. Bila jeli, di Indonesia, tampaknya ini juga yang tengah terjadi.
Pokoknya, karena gerontokrasi sejatinya melawan kodrat alam, ia sebaiknya dihindari. Bukankah kebijakan lama yang diutarakan Heraclitos saat mengatakan,”Panta rei. Semua mengalir, segala berubah,” benar adanya? Belum lagi dalam budaya Islam—hadits—Nabi SAW pernah menegaskan keharusan untuk selalu berupaya lebuh baik dari hari ke hari. “Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, (dan) barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan bahkan, barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka.” (HR Al Hakim). Jelas, ini kaizen (inovasi berkelanjutan) versi Nabi yang beliau terapkan sejak 1.500 tahun lalu. Dengan begitu jelas pula bahwa perubahan adalah kata kunci keberhasilan. [dsy–INILAH.COM]