SolilokuiVeritas

Generasi Muda, Ekologi, dan Peradaban: Tantangan dan Peluang

Akar dari semua ini adalah hilangnya etika, moral, dan nurani dalam mengejar “kemajuan”. Revolusi industri yang terus diikuti dengan pertumbuhan memang melahirkan kemajuan luar biasa di satu sisi. Tetapi di sisi lain, juga terbentuk manusia modern yang sering kali abai, serakah, dan lupa jati dirinya sebagai bagian dari alam. Kita berlari cepat dalam berbagai bidang teknologi, namun tertinggal jauh dalam kebijaksanaan.

Oleh     : Swary Utami Dewi

JERNIH– Generasi muda, ekologi, dan peradaban. Isu inilah yang saya usung saat memberikan kuliah umum di Universitas Paramadina pada 16 Oktober 2025. Acara tersebut dihadiri oleh sekitar seratus mahasiswa dan dilaksanakan secara interaktif dan reflektif.

Dalam suasana yang hangat dan terbuka, banyak mahasiswa berbagi pandangan mereka tentang situasi dunia yang mereka hadapi. Ternyata, banyak yang merasa berada di persimpangan — di satu sisi dikepung oleh krisis ekologis, krisis ekonomi, dan sosial yang mengkhawatirkan, sementara di sisi lain mereka melihat munculnya berbagai peluang dan harapan baru untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Dunia hari ini memang tengah berada dalam pusaran krisis yang dalam. Krisis ekologis global bukan lagi ancaman yang jauh di depan mata, melainkan kenyataan sehari-hari. Perubahan iklim yang kian ekstrem telah berubah menjadi krisis iklim, yang berlanjut pada krisis pangan, air, dan energi, serta rusaknya keseimbangan alam. Ini adalah tanda bahwa bumi sedang memberi peringatan keras terhadap arah peradaban manusia. Di Indonesia, peringatan itu misalnya tampak dalam bentuk banjir, longsor, dan ketidakteraturan musim, yang makin sering terjadi.

Akar dari semua ini adalah hilangnya etika, moral, dan nurani dalam mengejar “kemajuan”. Revolusi industri yang terus diikuti dengan pertumbuhan memang melahirkan kemajuan luar biasa di satu sisi. Tetapi di sisi lain, juga terbentuk manusia modern yang sering kali abai, serakah, dan lupa jati dirinya sebagai bagian dari alam. Kita berlari cepat dalam berbagai bidang teknologi, namun tertinggal jauh dalam kebijaksanaan. Pertumbuhan tanpa etika, moral, dan nurani ini menjadikan alam sekadar objek eksploitasi — tanpa penghormatan, tanpa rasa syukur, tanpa kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari kehidupan itu sendiri.

Dampak dari pertumbuhan yang abai ini menyentuh seluruh aspek kehidupan. Iklim ekstrem mengancam ketersediaan pangan, air bersih, dan energi. Namun yang paling terdampak justru mereka yang paling lemah: masyarakat adat, perempuan, dan kelompok miskin. Ketimpangan sosial dan ekonomi pun semakin menganga, dan jika tidak diatasi, generasi mendatang akan mewarisi bumi yang rapuh dan penuh ketidakadilan.

Di tengah kenyataan ini, generasi muda berada di titik krusial sejarah. Mereka bukan sekadar pewaris masa kini, tetapi juga pembentuk masa depan. Tantangan yang mereka hadapi berat: sistem ekonomi-politik global yang belum berkeadilan ekologis, budaya konsumtif yang terus menggerus kesadaran ekologis, kesenjangan dalam berbagai aspek, dan sebagainya. Namun peluang mereka juga besar. Generasi muda bisa memanfaatkan teknologi untuk solusi hijau, membangun solidaritas lintas batas, dan menumbuhkan gaya hidup berkelanjutan yang memberi makna baru bagi kemajuan.

Peluang ini terbuka lebar karena generasi muda sekarang memang memiliki banyak keunggulan. Mereka kritis dan kreatif dalam membaca perubahan, serta melek digital, dan mampu mengubah teknologi menjadi solusi. Mereka juga berpikir global namun tetap bertindak lokal, serta memiliki empati dan sensitivitas terhadap isu politik, sosial, dan tentu saja, ekologi. Semua itu adalah energi positif yang mampu menjadi bahan bakar bagi lahirnya peradaban baru — peradaban yang tidak lagi bertumpu pada dominasi, tetapi pada keseimbangan dan kepedulian.

Kini dunia menunggu arah baru. Sudah saatnya kita bergerak menuju peradaban ekologis — peradaban yang berakar pada etika bumi dan kesadaran bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa alam. Generasi muda memiliki peluang besar untuk menjadi jembatan perubahan itu dalam rangka memulihkan hubungan manusia dan alam, serta memadukan kemajuan ilmu dan teknologi dengan etika, moral, dan nurani. Hanya dengan cara itulah masa depan yang lebih manusiawi, berkeadilan, dan lestari bisa terwujud.

Ingatlah. Bumi tidak menunggu kita sempurna untuk bergerak — bumi hanya menunggu kita peduli.[ ]

Back to top button