SolilokuiVeritas

Harapan Kemurungan

Menyalakan harapan di tengah bangsa yang murung bukanlah tentang keajaiban besar. Ia dimulai dari hal-hal sederhana—dari keberanian untuk bermimpi di saat yang lain ragu, dari doa-doa kecil yang dipanjatkan dengan suara gemetar, dari keteguhan untuk tetap berjalan meski langkah terasa berat. Harapan tumbuh seperti akar yang perlahan menembus tanah kering, mencari jalan untuk hidup.

Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, mendung yang mengepung langit kita bukan hanya tentang gumpalan gemuruh awan, tetapi juga tentang jiwa bangsa yang berkabut.

Di langit jiwa yang mendung, kehidupan dirasuki desah panjang kelelahan. Wajah-wajah menunduk, suwung senyum, menyimpan beban tak terucapkan. Ada luka tak kasat, tapi terasa, mengendap di setiap sudut percakapan. Langit pun kelabu, seperti enggan mendekapkan pelukan hangatnya.

Di tengah bangsa yang murung, langit terasa berat, seakan menggantungkan awan gelap di atas kepala. Jalanan penuh bisik tentang ketidakpastian dan mimpi nan padam dalam deru waktu. Wajah-wajah lelah menyembunyikan tangis yang tak berani tumpah, sementara suara optimisme perlahan pudar, tenggelam dalam riuh keluhan.

Namun, di tengah kelam itu, ada percik api yang tetap menyala. Ia adalah harapan yang mungkin tersembunyi di sudut-sudut hati yang hampir menyerah, namun tetap menolak padam.

Harapan berbisik pelan dalam keheningan. Ia bersembunyi di balik tatapan anak-anak yang masih berlari riang, di antara tangan-tangan yang tetap bekerja meski dunia terasa berat. Harapan adalah sisa cahaya yang berbisik, “Kita bisa lebih baik dari ini.”

Menyalakan harapan di tengah bangsa yang murung bukanlah tentang keajaiban besar. Ia dimulai dari hal-hal sederhana—dari keberanian untuk bermimpi di saat yang lain ragu, dari doa-doa kecil yang dipanjatkan dengan suara gemetar, dari keteguhan untuk tetap berjalan meski langkah terasa berat. Harapan tumbuh seperti akar yang perlahan menembus tanah kering, mencari jalan untuk hidup.

Kita adalah penjaga nyala itu. Dalam setiap tindakan kecil, dalam setiap kata yang menguatkan, kita memberi ruang bagi harapan untuk tumbuh. Saat satu orang menyalakan harapan, ia menjadi lentera. Dan lentera-lentera itu, saat menyatu, mampu mengusir gelap yang paling pekat.

Bangsa ini mungkin murung, tapi tidak mati. Harapan adalah denyut nadi yang terus berdetak, meski pelan, meski nyaris tak terasa. Kita hanya perlu mengingatkan diri bahwa cahaya selalu lahir dari gelap, dan setiap malam pasti bertemu fajar. Selama ada keyakinan, ada yang berani bermimpi dengan berkeringat, bangsa ini akan menemukan jalannya menuju terang. [ ]
*Supported by ChatGpt

Back to top button