Hatim dan Delapan Pelajaran yang Diperolehnya Selama 30 Tahun
“Aku melihat orang berebutan dan menghinakan diri dalam mencari rezeki. Tak jarang pula tak merasa malu memasuki dan melakukan cara-cara tidak halal. Aku perhatikan firman Allah,”Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi ini, melainkan Allah yang menanggung rezekinya.” (Surat Hud (11): 6).
JERNIH— Salah seorang tokoh sufi yang diceritakan Abu Nuaim adalah Abu Abdurrahman Hatim, Si Tuli. Gelar ‘Si Tuli’ diperolehnya karena pernah sekian tahun berpura-pura tuli demi menjaga rasa malu seorang wanita. Wanita itu, maaf, telah mengeluarkan kentut yang keras di hadapannya. Hatim selalu menjaga ‘ketuliannya’ itu hingga si wanita meninggal.
Hatim berguru kepada Syaqiq Al-Balkhi, juga seorang maestro dunia tasawuf. Pada suatu hari gurunya itu bertanya,”Berapa lama engkau tekah berguru kepadaku?”
“Tiga puluh tahun, Guru,” jawab Hatim.
“Selama itu, apa saja yang telah engkau pelajari dariku?” tanya Syaqiq.
“Delapan hal saja,” Hatim menjawab.
“Ah, sia-sia umurku bersamamu. Selama ini kau hanya belajar delapan hal saja,” kata Syaqiq, gusar.
“Tuan Guru,” kata Hatim,”Aku memang tidak mendapatkan sesuatu selain itu, dan aku tak ingin berdusta.”
“Baiklah, jelaskan yang delapan hal itu,” kata Syaqiq. “Aku ingin mendengarnya.”
Hatim pun berusaha menjelaskan delapan hal yang ia pelajari selama 30 tahun berguru kepada Syaqiq Al-Balkhi tersebut.
“Saya memperhatikan manusia, dan saya lihat masing-masing mereka memiliki kekasih yang sangat masing-masing mereka cintai. Padahal manakala sampai ke kubur, berpisahlah dia dengan kekasihnya itu. Aku pun memilih amal salih sebagai kekasih. Karena apabila saya meninggal dan masuk ke liang kubur pun, dia akan ikut bersama saya.
“Pintar kamu, Hatim,” kata Syaqiq. “Sekarang apa yang kedua?”
“Aku memperhatikan firman Allah Ta’ala,”Dan adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (Surat an-Nazi’at (79): 40-41). “Allah benar. Aku memilih surga. Aku berjuang mengendalikan hawa nafsuku.”
“Engkau benar, apa yang ketiga?”
“Setiap orang memiliki kekayaan, dan mereka menjaga serta menghargainya dengan sepenuh hati agar tidak hilang. Kemudian aku membaca firman Allah Ta’ala,”Apa yang ada di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah kekal“ (Surat an-Nahl (16): 96). “Dari situ, kapan saja aku memperoleh kekayaan, segera saja kuserahkan, kuamanatkan kepada Allah, agar milikku terjaga bersama-Nya, tidak hilang.”
“Bagus, Hatim, yang keempat?”
“Aku melihat semua orang memiliki nilai yang dikejarnya. Mereka mengejar dan bangga saat memperoleh harta, pangkat, kemuliaan, keturunan. Semuanya bagiku tidak bernilai. Aku memperhatikan firman Allah,”Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (Surat al-Hujurat (49): 13). “Aku ingin menjadi orang yang paling mulia, karena itu aku memilih takwa.”
“Aku perhatikan orang saling menusuk, saling mengutuk, mencela dan mencaci. Semuanya karena dengki. Padahal Allah telah berfirman,”Kami telah menentukan pembagian nafkah hidup di antara mereka dalam kehidupan dunia.” (Surat Az-Zukhruf (43): 32). “Aku jauhi sifat iri dengki. Aku jauhi pertikaian di antara banyak orang.”
“Semua orang mempunyai musuh yang mereka perangi. Firman Allah mengatakan,”Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, jadikanlah dia musuh.” (Surat Al-Fatir (35): 6), “Maka aku jadikan setan benar-benar musuhku dan kulepaskan permusuhanku dengan makhluk lain apa pun itu.”
“Hm, apa yang ketujuh?”
“Aku melihat orang berebutan dan menghinakan diri dalam mencari rezeki. Tak jarang pula tak merasa malu memasuki dan melakukan cara-cara tidak halal. Aku perhatikan firman Allah,”Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi ini, melainkan Allah yang menanggung rezekinya.” (Surat Hud (11): 6). “Aku adalah salah satu uang merangkak di bumi. Aku kerjakan kewajibanku kepada Allah, meninggalkan apa-apa yang tidak dibagikan kepadaku. Aku tidak hiraukan kewajiban Allah bagiku.”
“Yang terakhir, berkaitan erat dengan yang ketujuh. Setiap orang bersandar pada makhluk untuk mencari rezekinya. Allah berfirman,”Siapa yang menyandarkan diri kepada Allah, Allah akan mencukupkan rezekinya” (Surat al-Thalaq (65): 3). Maka aku pun bersandar kepada Allah saja, karena Dia akan mencukupi segala keperluanku.”
Alangkah bangganya hati Syaqiq memiliki murid secerdas Hatim. [dsy, dari banyak sumber, di antaranya “Kitab Ayyuhal Walad”, hlm. 11-13]