
Peta dunia seolah sedang digambar ulang. Di jantungnya, Asia Tenggara yang dulu mungkin dianggap ‘halaman belakang’ kini menjelma menjadi arena paling panas perebutan pengaruh global. Konflik perbatasan Thailand-Kamboja, ketegangan tak berujung di Laut China Selatan, hingga dampak gelombang “perang dagang” antara Amerika Serikat dan Tiongkok, semuanya berkumpul di kawasan ini.
JERNIH – Indonesia, dengan posisi geografisnya yang strategis dan populasi yang masif, tentu tak bisa berpangku tangan. Namun, akankah kita sekadar menjadi penonton yang menyaksikan drama geopolitik di sekitarnya, atau justru bangkit menjadi pemain utama yang menentukan arah masa depan Asia Tenggara (ASEAN) dan Indo-Pasifik? Ini pertanyaan krusial yang harus kita jawab.
Bagaimana potret keluarga Asia Tenggara saat ini? Kawasan ini penuh dinamika. Yang terbaru adalah berkobar kembalinya bara api lama antara Thailand dan Kamboja. Gesekan di perbatasan, terutama sekitar Candi Preah Vihear, kerap memicu ketegangan. Sempat terjadi pengerahan militer, jet tempur dan persenjataan berat lainnya.
Kawasan ASEAN juga bergejolak di Laut China Selatan (LCS). Seperti sebuah teka-teki rumit nan abadi antara China dan beberapa negara anggota ASEAN. Yang paling sering muncul adalah konflik teritorial antara Filipina dan China. Tarik-menarik pengaruh antara negara-negara ASEAN, Tiongkok yang agresif, serta kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia, membuat lautan ini menjadi “titik panas” yang tak pernah padam. Risiko konflik selalu mengintai di balik ombak.
Potret kawasan ini juga makin ramai setelah Perang Dagang AS–China sehingga dilema ekonomi yang menjepit. Jauh di sana, dua raksasa ekonomi dunia, AS dan Tiongkok, terus bersitegang dalam perang dagang. Dampaknya? Langsung terasa pada rantai pasok global dan ekonomi Asia Tenggara. Negara-negara di kawasan ini bak terjepit: ekonomi mereka sangat bergantung pada Tiongkok, sementara keamanan mereka membutuhkan jaminan dari Amerika Serikat. Ini posisi dilematis yang menguras pikiran.
Indonesia Bisa Menjadi Penentu Arah?
Indonesia bukanlah pemain baru di panggung diplomasi regional. Rekam jejak kita cukup membanggakan. Publik mungkin masih ingat di 2011, ketika konflik sempat memanas. Di sinilah peran Indonesia muncul sebagai mediator ulung, mampu meredakan bara api dan mendapat apresiasi dari seluruh ASEAN.
Sebuah bukti bahwa diplomasi kita punya ‘sentuhan ajaib’. Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan mantan Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa ketika itu menjadi dua sosok penting di balik mediator tersebut. Peran Indonesia dalam mediasi konflik Thailand–Kamboja adalah bukti nyata kemampuan kita, bukan memihak, tapi menjembatani.
Indonesia juga aktif mendorong Code of Conduct di Laut China Selatan, berusaha membawa ketertiban di tengah ketidakpastian. Sementara keketuaan Indonesia di ASEAN pada 2023 dengan konsep “Epicentrum of Growth” (Episentrum Pertumbuhan) menunjukkan ambisi untuk menjadikan kawasan ini pusat pertumbuhan ekonomi global, bukan sekadar wilayah yang diombang-ambingkan.
Indonesia sebenarnya memiliki beberapa keunggulan diplomasi. Salah satunya adalah prinsip politik bebas aktif. Ini adalah “senjata rahasia”, bisa menjembatani, berbicara dengan semua pihak, tanpa harus memihak. Ini modal kepercayaan yang mahal harganya.
Keunggulan lainnya adalah menjadi poros maritim. Posisi geografis kita yang menghubungkan dua samudra (Pasifik dan Hindia) menjadikan poros maritim alami. Ini kekuatan geopolitik yang luar biasa. Sementara posisi sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara memberi kekuatan moral dan pengaruh yang tak bisa diremehkan.
Namun, bukan berarti tanpa tantangan. Diplomasi Indonesia sering dihadapkan pada fragmentasi kepentingan di dalam ASEAN itu sendiri. Belum lagi tekanan tanpa henti dari kekuatan besar seperti AS dan China, serta terkadang keterbatasan sumber daya diplomatik dibandingkan besarnya isu yang harus dihadapi.
Indo-Pasifik: Arena Baru, Risiko dan Peluang Baru
Dinamika yang muncul di kawasan ASEAN tidak terlepas dengan apa yang terjadi di Indo-Pasifik. Situasi geopolitik di kawasan Indo-Pasifik ini ditandai dengan persaingan kekuatan besar, terutama antara Amerika Serikat dan China, serta munculnya isu-isu keamanan maritim dan ekonomi yang kompleks.
Secara keseluruhan, kekuatan China di Asia Tenggara terletak pada hubungan diplomatik dan ekonominya, sedangkan AS lebih baik dalam jaringan pertahanan dan pengaruh budaya. Sementara kekuatan ekonomi China jauh di depan, hubungan ekonomi AS lebih lemah dibandingkan dengan China di setiap negara di Asia Tenggara. Apalagi dengan tarif baru yang diberlakukan Presiden Donald Trump yang memberatkan banyak negara termasuk di ASEAN.
AS berupaya memperkuat aliansi dan kemitraan dengan negara-negara di kawasan untuk mengimbangi pengaruh China yang juga terus meningkatkan kekuatan militernya dan ekspansi pengaruhnya. Persaingan ini menciptakan ketegangan dan ketidakpastian di kawasan, serta menuntut negara-negara lain termasuk Indonesia mengambil sikap dan menyesuaikan strateginya.
Dr. Indra Kusuma Wardhana, akademisi dari Universitas Pertamina mengungkapkan, dimensi mutakhir perang dagang AS–Tiongkok adalah bab baru dari dominasi lama. “Kita harus bisa navigasi. Kalau tidak, kita akan jadi Vietnam yang dikapitalisasi, atau Myanmar yang didikte,” ujarnya saat berbicara pada sebuah pertemuan intelektual, Great Lecture, di Great Institute, Jakarta Selatan, Mei lalu.
Rivalitas makin panas seiring munculnya ‘geng baru’. Kehadiran kelompok seperti Quad (AS, Jepang, India, Australia) dan AUKUS (Australia, Inggris, AS) menunjukkan adanya konsolidasi kekuatan besar. Strategi Indo-Pasifik versi AS tentu berbeda dengan versi ASEAN, menciptakan ketegangan dan peningkatan militerisasi yang signifikan di kawasan.
Dampaknya bagi Asia Tenggara tentu akan terancam terjebak dalam “proxy war” ekonomi dan militer, yang bisa menguras energi dan sumber daya. Namun, ada juga pintu peluang emas untuk integrasi ekonomi baru, investasi, dan penguatan rantai pasok. Di sisi lain, risiko keamanan maritim juga otomatis makin tinggi, mengingat Laut China Selatan adalah bagian dari Indo-Pasifik.
Sikap Indonesia, Aktif atau Penonton Bisu?
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di jantung kawasan ini, memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas dan keamanan regional. Pilihannya ada dua, menjadi pihak yang aktif di kawasan atau menjadi penonton bisu menyaksikan dinamika geopolitik ini.
Tentunya ada beberapa strategi dan diplomasi yang bisa dimainkan untuk menjawab tantangan ini. Misalnya memperkuat ASEAN Centrality: Ini adalah kunci. Indonesia harus memastikan ASEAN bukan sekadar penonton pasif, tapi pengendali ritme kawasan. ASEAN unity bisa didorong dalam menghadapi konflik Laut China Selatan agar suara lebih bulat.
Indonesia juga bisa membangun aliansi maritim yang kokoh di Asia Tenggara untuk menghadapi ancaman di lautan. Selain itu, memperkuat kerja sama ekonomi intra-ASEAN agar tidak terlalu bergantung pada AS atau Tiongkok. Ekonomi yang kuat dari dalam akan membuat negara manapun tak gampang terombang-ambing.
Jangan lupakan bahwa Indonesia memiliki Smart Power yakni soft power (budaya, nilai-nilai demokrasi, diplomasi) dan hard power (militer maritim yang kuat, pertahanan siber yang tangguh). Ini tentu kombinasi maut.
Indonesia juga harus memiliki visi jangka panjang, menyiapkan grand strategy untuk 2045. Ini yang sebaiknya menjadi pemikiran utama bagi lembaga seperti Great Institute. Indonesia harus memposisikan diri sebagai “honest broker”—penjaga netralitas dan “mata air kejujuran” di Indo-Pasifik. Dengan begitu, bisa menjadi middle power yang menentukan arus geopolitik regional, bukan sekadar mengikuti.
Posisi Indonesia di Asia Tenggara bukan sekadar geografis, tapi geopolitik. Indonesia adalah jembatan antara kekuatan-kekuatan besar. Tantangan besar menanti di depan: konflik perbatasan, Laut China Selatan yang terus memanas, perang dagang global, dan dinamika Indo-Pasifik yang kian kompleks.
Masih mengutip Dr Indra, Indonesia harus cermat memainkan peran di tengah perang dagang Amerika dan Tiongkok. Indonesia tidak boleh hanya jadi pion tetapi harus menjadi aktor, harus bisa menavigasi semua tekanan dengan sikap berdiri di atas kaki sendiri. Yang jelas, “Indonesia harus memilih: mau jadi panggung atau sutradara?,” tandasnya.
Kuncinya? Diplomasi Indonesia harus lincah, adaptif, dan berpandangan jauh ke depan. Jika kita lengah, Indonesia hanya akan jadi penonton bisu yang melihat gelombang besar geopolitik melindas kita. Namun, jika kita berhasil merajut strategi yang tepat, Indonesia bisa menjadi penentu arah, arsitek regional, yang membawa stabilitas dan kemakmuran di jantung Indo-Pasifik. Masa depan kawasan, dan juga bangsa kita, kini ada di tangan diplomasi Indonesia.






