Inflasi, Ketidakpastian Global, Sinergi Pusat-Daerah
Bumi yang gonjang-ganjing seperti itu membuat banyak negara melakukan antisipasi. Seperti India, misalnya. Sejak tahun lalu, India menghentikan ekspor gandum mereka demi memperkuat cadangan domestiknya. Sebulan lalu, negeri itu menutup pula keran ekspor beras, kecuali tipe basmati. Padahal, India merupakan eksportir beras kedua terbesar di dunia yang menyumbang lebih dari 40 persen perdagangan beras global.
Oleh : Hardy R. Hermawan*
JERNIH– Upaya Indonesia mengendalikan laju inflasi terlihat efektif. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, laju inflasi tahunan pada Juli 2023 tercatat hanya 3,08 persen. Angka itu lebih kecil ketimbang inflasi tahunan Juni 2023 yang mencatatkan angka 3,52 persen. Level inflasi Juli 2023 itu juga merupakan yang terendah dalam 15 bulan terakhir.
Pencapaian Indonesia ini juga terbilang lebih baik ketimbang beberapa negara lain. Pada Juli 2023, inflasi di Malaysia masih sebesar 3,3 persen. Negara lain seperti Singapura, Filipina, dan India, diperkirakan harus mengalami inflasi di atas level empat persen. Zona Euro tercatat mengalami inflasi 5,3 persen pada Juli 2023 dan inflasi di Australia bertengger di kisaran enam persen.
Tentu saja keberhasilan mengelola inflasi itu tak lepas dari sinergi antara Bank Indonesia dan Pemerintah (Pusat dan Daerah) melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). TPIP dan TPID lalu memperkuat Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah. Hasilnya, inflasi di sektor pangan menjadi sangat terjaga.
Pada Juli 2023, inflasi di kelompok volatile food bahkan menurun menjadi 0,17 persen (mtm/bulanan). Angka itu lebih rendah ketimbang inflasi bulanan kelompok volatile food di bulan Juni, yang tercatat 0,44 persen. Pada Juli 2023, terjadi penurunan harga komoditas bawang merah dan cabai rawit. Namun, harga komoditas lain seperti daging ayam ras, cabai merah, dan bawang putih mengalami sedikit kenaikan. Secara tahunan, kelompok volatile food bahkan mengalami deflasi 0,03 persen (yoy).
Kinerja yang baik dalam pengelolaan inflasi di sektor pangan itu membuat Indonesia layak optimistis mampu mengendalikan laju inflasi dalam kisaran 3,0 ±1 persen hingga akhir tahun 2023. Bahkan, sangat mungkin inflasi itu bisa ditekan lagi ke level 2,5±1 persen pada tahun 2024.
Namun, tantangan yang dihadapi juga tidak bisa dibilang enteng. Kondisi global hari-hari ini masih penuh ketidakpastian. Konflik Rusia dan Ukraina telah memasuki semester keempat dan masih menahan harga gas dunia di level tingi sehingga berpengaruh pada produk-produk turunannya, terutama pupuk. Belakangan, muncul revolusi di sejumlah negara Afrika seperti Mali, Burkina Faso, dan Niger yang berdampak pada pasokan berbagai komoditas ke negara-negara Eropa dan Amerika.
Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat juga kepayahan didera suku bunga tinggi demi mengendalikan inflasinya. Akibatnya, kegiatan ekonomi di sana menjadi terpangkas dan banyak pengusahanya yang hanya bersikap wait and see.
Bumi yang gonjang-ganjing seperti itu membuat banyak negara melakukan antisipasi. Seperti India, misalnya. Sejak tahun lalu, India menghentikan ekspor gandum mereka demi memperkuat cadangan domestiknya. Sebulan lalu, negeri itu menutup pula keran ekspor beras, kecuali tipe basmati. Padahal, India merupakan eksportir beras kedua terbesar di dunia yang menyumbang lebih dari 40 persen perdagangan beras global.
Fenomena restriksi ekspor semacam itu memang marak terjadi, bahkan oleh anggota G20. Pembatasan perdagangan luar negeri yang mencakup komoditas pangan, pupuk, dan bahan baku, tentu akan mengganggu rantai pasok global. Selain itu, hal itu juga bisa mengerek harga dan bahkan menyebabkan krisis pangan di sejumlah negara.
Belum lagi ada ancaman El Nino. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan, Indonesia harus bersiap menghadapi ancaman ini pada semester kedua 2023. Fenomena ini akan membuat musim kemarau lebih panjang dan lebih ekstrem. Tak ayal, perlu antisipasi yang lebih memadai untuk mengatasi dampak kekeringan akibat El Nino tersebut.
Itu sebabnya, Bank Indonesia (BI), pemerintah pusat, dan pemerintah daerah harus terus meningkatkan sinergi agar pengelolaan inflasi tetap menjadi prioritas penting. Langkah-langkah koordinatif dalam mengatasi inflasi harus terus dilanjutkan. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) perlu terus mendorong pemerintah daerah dalam mengawasi dan menjaga harga-harga barang dan jasa di wilayahnya. Dengan begitu, pemerintah daerah dapat memantau dan mencegah peningkatan harga tidak wajar yang dapat menyebabkan inflasi.
Kemendagri juga perlu melanjutkan dukungan kepada pemerintah daerah agar mampu memastikan tersedianya infrastruktur dan logistik yang baik untuk kegiatan distribusi. Hal ini demi mempermudah pergerakan barang dari produsen ke konsumen, sehingga dapat mencegah terjadinya lonjakan harga karena kesulitan dalam distribusi.
Pengelolaan anggaran juga tetap dijalankan dengan bijaksana dan diarahkan kepada upaya pengembangan sektor pertanian dan peningkatan produksi lokal. Selain itu, pemerintah daerah dapat berperan mengendalikan harga kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, atau gula melalui program subsidi agar barang-barang itu tetap terjangkau masyarakat.
Jika Kemendagri mampu memastikan langkah-langkah tersebut terintegrasi se-perti saat ini, maka upaya pengendalian inflasi bisa terjamin lebih efektif lagi. Selanjutnya, pengendalian inflasi yang baik ini akan mendukung stabilitas ekonomi, mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. [ ]
*Wartawan ekonomi