Ini Duduk Perkara ‘Serangan’ Kepada Doni Monardo
Sementara, tidak sedikit masyarakat yang cenderung membaca berita hanya dengan membaca judul. Paling banter sampai lead. Tidak sampai selesai, apalagi sampai harus membandingkan dengan informasi sejenis di media lain.
Oleh : Roso Daras*
Kepala Gugus Tugas Covid-19, Letjen TNI Doni Monardo termasuk pejabat negara yang “cool”. Statemen-statemennya cenderung kalem tapi tegas. Untuk ukuran seorang pejabat publik, ia termasuk pejabat yang relatif sepi dari pemberitaan miring. Pernyataan dan kebijakannya, juga tidak pernah menimbulkan kontroversi dan berdampak “serangan balik”.
Apa boleh buat, pernyataan Doni Monardo yang terkenal baru-baru ini, “kelompok usia di bawah 45 tahun atau anak muda akan dibebaskan beraktivitas di tengah pandemi Covid-19”, mendapat reaksi beragam.
Banyak netizen spontan memberi komentar miring, cenderung menghujat, dengan berbagai argumen emosionalnya di berbagai media online. Ada juga yang bertanya langsung, atau bertanya lewat orang-orang dekatnya. Mengklarifikasi statemen tersebut.
Saya termasuk yang kenal Doni Monardo, dan lebih memilih mengklarifikasi lewat Tenaga Ahli BNPB Bidang Media, yang juga anggota Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Egy Massadiah.
Lewat tengah malam, Egy baru bisa saya hubungi. “Wah… kok kebetulan sekali. Saya baru saja ngomongin itu sama pak Doni,” kata Egy di ujung telepon sana.
Sekadar informasi, Egy termasuk salah satu anggota Gugus Tugas Covid-19 yang ikut tidur di kantor bersama Doni Monardo dan yang lain. Sejak Doni ditugaskan menjadi Kepala Gugus Tugas, ia tidak lagi pulang. Sehari-hari tidur di kantor.
Hampir 20 jam dalam sehari waktu, pikiran, dan tenaga mereka dedikasikan untuk tugas penanganan wabah Covid-19. Satu lagi: Tidak ada angka merah dalam kalender kerjanya. Sabtu-Minggu dan Hari Besar tetap bekerja.
Setelah mendapat penjelasan, ditambah sorongan data (termasuk data paparan Doni Monardo saat Rapat Terbatas melalui video conference bersama Presiden Joko Widodo), menjadi lumayan terang benderang.
Lantas, apa hubungannya dengan statemen Doni Monardo yang dinilai kontroversial itu? Tidak ada yang kontroversial. Ini persoalan psikologis masyarakat yang sedang dalam kondisi tertekan akibat wabah corona. Di sisi lain, informasi yang berkembang, menjadi bias. Nah alasan bias ini ada dua kategori. Yang pertama, bias karena masyarakat tidak membaca konteks berita secara utuh. Yang kedua, media –biasanya online—tidak memuat keterangan substansi Kepala Gugus Tugas secara tuntas. Cenderung mengejar klik bite. Di sinilah letak salah satu sumber masalah: pemberitaannya menjadi negatif.
Dalam ilmu psikologi, perasaan tertekan akibat wabah covid, atau stres, berpengaruh terhadap diri seseorang. Secara fisik, menjadi rentan. Secara emosional, menjadi labil. “Cenderung ‘sumbu pendek’. Belum jelas duduk soal sudah langsung nyolot.
Sementara, tidak sedikit masyarakat yang cenderung membaca berita hanya dengan membaca judul. Paling banter sampai lead. Tidak sampai selesai, apalagi sampai harus membandingkan dengan informasi sejenis di media lain. Itu di sisi pembaca media.
Sementara dari sisi jurnalis, tak disangkal banyak wartawan enggan menggali informasi lebih dalam, dan menuliskan sesuatu yang penting secara komprehensif. Bahkan, tidak sedikit yang masih memakai kacamata bad news is a good news.
Padahal, statemen Doni Monardo itu ternyata sangat sederhana, dan tidak semestinya menimbulkan mispersepsi. Bahwa statemen kelompok usia 45 tahun ke bawah dipersilakan bekerja itu benar, tetapi –ini yang penting– tetap dalam konteks PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Hal-ihwal PSBB sudah ada juklak dan juknisnya. Sudah banyak materi informasi seputar PSBB. Termasuk, bidang kegiatan apa saja yang boleh dan dilarang. Contoh gampang. Seseorang berusia di bawah 45 tahun, bekerja di bioskop. Apa iya dia akan bekerja, sementara bioskop termasuk kegiatan yang dilarang selama PSBB.
Persis seperti kontroversi keputusan Menteri Perhubungan yang melonggarkan operasional transportasi umum. Tidak sedikit masyarakat yang langsung bereaksi negatif. Padahal, ada syarat-syarat tertentu, jenis penumpang seperti apa yang diperbolehkan bepergian menggunakan transportasi umum.
Artinya, kelompok usia di bawah 45 tahun, yang bekerja di sektor logistik, teknisi, transportasi, perlistrikan, kesehatan, dan bidang-bidang lain yang diatur dalam PSBB, memang diberi kelonggaran untuk bekerja. Artinya, tetap dalam konteks PSBB dan mematuhi ketentuan-ketentuan paling mendasar seperti rajin cuci tangan, tetap jaga jarak, dan melaksanakan prosedur sepulang dari bepergian atau bekerja.
Ihwal bentang usia, Doni juga bicara berdasar statistik. Data Gugus Tugas Covid-19 menyebutkan, risiko kematian pasien usia 60 tahun ke atas mencapai 45 persen. Angka ini diikuti kelompok usia 46-59 tahun yang risiko kematiannya 40 persen.
Kelompok usia yang rentan karena memiliki penyakit penyerta atau komorbit, antara lain hipertensi, diabetes, jantung, serta penyakit paru obstrasi kronis (PPOK) akibat merokok. Adapun kelompok muda berusia di bawah 45 tahun, lebih kuat menghadapi virus corona.
Pengkritik yang skeptis ada yang mempertanyakan, “Bukankah kelompok usia itu juga memiliki keluarga di rumah. Bahkan mungkin masih tinggal bersama orang tua, yang berusia di atas 45 tahun? Apakah justru tidak mendatangkan ancaman penularan kepada anggota keluarganya?”
Sekilas pertanyaan itu logis. Meski kalau dicantelkan ke dalam konteks statemen Doni Monardo, justru menjadi mentah. Sebab, selama PSBB, sudah ada aturan-aturan yang harus ditaati. Lebih dari segalanya, prosedur cuci tangan, mengenakan masker, bahkan prosedur apa yang harus dilakukan sepulang kerja, harus tetap dilaksanakan. Sebab, sekali lagi, konteks kalimat Doni Monardo adalah tetap dalam konteks PSBB.
Ada pula netizen yang menyanggah dengan menyajikan data, bahwa angka korban yang terserang Covid-19 terbesar justru di kisaran usia 45 tahun. Sanggahan itu sekilas menjadi kontradiksi dengan statemen “kelompok usia di bawah 45 tahun diberi kelonggaran beraktivitas”.
Akan tetapi, setelah meneliti data Gugus Tugas Covid-19, tidak seperti itu cara membacanya. Benar, bahwa angka yang terpapar di usia produktif tadi adalah yang terbesar. Akan tetapi, data valid menyebutkan jumlah korban meninggal yang terbesar adalah di atas usia 45 tahun. Seperti yang disebutkan Doni di atas.
Sangat panjang jika harus menuang seluruh data Gugus Tugas Covid-19. Sebab, data itu memang sangat rinci. Bahkan termasuk, persentase terbesar yang meninggal, urutan pertama adalah karena sakit bawaan berupa ginjal. Urutan kedua, jantung. Dan seterusnya. Sekali lagi, persentase terbesar adalah usia di atas 45 tahun.
Sedangkan usia produktif (45 tahun ke bawah), sangat sedikit yang meninggal. Artinya, mereka kemudian menjadi sembuh. Bahkan, tanpa disadari, tidak sedikit kelompok usia muda yang terpapar, tetapi kemudian sembuh dengan sendirinya. Artinya, tidak melewati fase perawatan di rumah sakit.
Last but not least, ada hal substansial lain yang melatarbelakangi pernyataan Doni Monardo yang disampaikan seusai rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo. Hal substansial tadi adalah persoalan terkapar akibat PHK.
Betapa pun, faktor kesehatan masyarakat tetap menjadi prioritas. Akan tetapi, bukan berarti prioritas itu menafikan kebutuhan untuk tetap menggerakkan sektor ekonomi.
Dalam banyak kesempatan, saya acap mendengar Doni Monardo menyitir ungkapan hungry man becomes angry man. Ini kebutuhan yang sangat mendasar.
Dalam bingkai besar, apa yang disampaikan Doni Monardo sebagai Kepala Gugus Tugas Covid-19, saya membacanya justru sebagai sebuah langkah positif, yang harus disyukuri bangsa ini. Sebab, sesuai materi paparan, “kelonggaran” tadi adalah satu langkah kecil memasuki tahap rehabilitasi.
Fase rehabilitas pun, Doni Monardo mencanangkan jargon yang luar biasa positif. Bunyinya, “Tidak terpapar virus corona dan tidak terkapar virus PHK”.
Keseluruhan rencana rehabilitasi dituang dalam program PASE, kependekan dari Pemulihan Aktivitas Sosial Ekonomi.
Untuk diketahui, PASE ini adalah fase ketiga dari lima tahapan penanganan Covid-19. Dua yang pertama adalah “Mengendalikan Covid-19” dan “Meningkatkan Ketahanan”. Setelah itu baru PASE.
PASE pun ada tahapan-tahapannya. Mulai dari menentukan sektor, kemudian menciptakan protokol kesehatan masyarakat setiap sektor guna meminimalisir penyebaran virus, dan pemulihan sektor kuat yang terdampak.
Dua fase pasca PASE ini nanti adalah fase “Implementasi ‘The Next Normal’”dan “Transformasi”.
Begitu rigid Gugus Tugas Covid-19 membuat perencanaan tempur melawan corona. Tidak semestinya kita, under estimated dan mendadak jadi yang paling paham situasi, paling tahu statistik, dan paling ksatria di medan pertempuran melawan corona. [ ]*Penulis adalah wartawan senior