Inner Child
Aku di-bully sejak kecil, kata yang satu. Aku mendapat pelecehan seksual, kata yang lain. Aku diabaikan ibuku, kata yang lain lagi. Ada pula yang sudah tidak bertegur sapa lagi dengan ayahnya. Semua itu berjejak. Dan tampak dalam sikap dan keputusan yang diambil setiap orang saat ini.
Oleh : Zaenal Muttaqin*
JERNIH– Seorang teman kuliah mengalami gangguan pendengaran sejak lama. Makin hari kondisinya makin buruk hingga memaksanya menemui dokter telinga, hidung dan tenggorokan (THT). Walhasil dokter menemukan kotoran menyumbat telinganya, dan pendengarannya kembali normal.
“Ternyata dunia itu ramai, ya,” selorohnya ketika telinganya sudah normal.
Tapi pernahkan terpikirkan bahwa sebetulnya kita semua mengalami sumbatan yang sama dalam mencerap dunia? Bahwa cara pandang kita terhadap dunia dipengaruhi oleh warna masa lalu kita, oleh didikan orang tua, oleh luka dan bencana, oleh kesan yang paling menggores dalam hati kita?
Di sisi lain, tidak ada satu pun anak yang tumbuh dewasa tanpa luka dan derita, mulus sampai mati. Itu mustahil. Manusia dibentuk dengan cara itu. A wounded inner child.
Tapi bagaimana kita menyadari bahwa ada debu kosmik mental di mata kita dalam memandang dunia? Itu PR besarnya. Perlu refleksi yang dalam dan keberanian untuk menjelajahi luka demi luka masa lalu. Dan menyembuhkannya. Atau memahaminya, atau memaafkannya, atau memakluminya, atau berdamai dengannya.
Aku di-bully sejak kecil, kata yang satu. Aku mendapat pelecehan seksual, kata yang lain. Aku diabaikan ibuku, kata yang lain lagi. Ada pula yang sudah tidak bertegur sapa lagi dengan ayahnya. Semua itu berjejak. Dan tampak dalam sikap dan keputusan yang diambil setiap orang saat ini.
Termasuk saya. Sering jatuh dalam kesalahan yang sama karena belum menemukan di mana letak masalahnya.
Tapi memang butuh lebih dari sekadar keberanian untuk melihat diri sendiri. Ada yang berhasil, ada yang masih berproses, ada yang sama sekali tidak peduli.
Saya melihat beberapa orang yang berhasil menerobos hijab masa lalunya, lahir sebagai orang yang baru. Dengan kacamata baru. Dengan kesadaran baru. Seolah terlahir kembali. Ajaib.
Sebagaimana kisah seorang anak perempuan yang diabaikan ibunya, lantas berusaha mencari sosok ibu dalam sepanjang kehidupannya. Tanpa disadarinya. Hingga ketika dia bertemu seorang laki-laki yang telaten memperhatikannya, dia tergila-gila padanya. Padahal tidak.
Ini semacam “interference” dalam istilah psikologi. Atau, mungkin ada istilah yang lebih tepat lagi.
Singkat cerita. Setelah sekian tahun berlalu anak perempuan tadi berhasil berdamai dengan ibunya, hingga taraf bisa berkomunikasi dengan intense dan pribadi. Ibunyalah yang dia cari selama ini.
“Kalau sekarang aku membayangkan laki-laki itu, ternyata yang tergambar di benakku adalah bayangan ibuku,”ujarnya, mengungkap. “Aku baru sadar bahwa aku sama sekali tidak mencintainya.” Phew, I never expected such story.
Lalu saya ceritakan kisah teman kuliah yang telinganya tersumbat kotoran itu. Aha, analogi yang cukup mengena.
Welcome to the new world! Dunia itu warna-warni, tidak monokrom seperti yang kau anggap selama ini.
Kita semua pernah menjadi anak kecil, yang mana anak kecil itu masih ada dalam diri kita: inner child. Ada bukan secara nyata, tapi sebagai kiasan.
Dalam term psikologi Jungian: inner child adalah sebuah complex, atau pola-pola emosi, harapan, ingatan, serta persepsi di alam bawah sadar yang jalin-menjalin menjadi semacam sarang laba-laba yang melilit true self. Dia merupakan aktor subpersonal yang dapat mempengaruhi emosi dan cara pandang kita terhadap dunia. Tapi kebanyakan orang dewasa tidak menyadari bahwa cara pandangnya terhadap dunia diwariskan dari masa kecilnya: dipengaruhi “perasaan” inner child.
Hal yang khas dari tokoh inner child adalah memang berbau “perasaan”. Jung punya istilah yang singkat: feeling-toned complex. Tapi kata ini agak susah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kalau mau dijabarkan: keputusan dikendalikan oleh perasaan, ada pun alasan logis dicari-cari kemudian. Kita menyangka keputusan yang kita ambil sudah logis dan masuk akal. Padahal belum tentu. Mungkin sejatinya kita masih kekanak-kanakan dan emosional—selama belum menyadari masa lalu kita. [ ]
*Pecinta buku, seni, dan kopi; penggiat pendidikan dan literasi. Silakan membuka akun penulis di media social medium