Interfaith dan Islamophobia [5]
Dengan interaksi langsung antaragama ini, non-Muslim akan melihat dengan mata mereka sendiri perbedaan antara Islam yang nyata dalam perilaku dan karakter pemeluknya dan narasi tentang Islam yang dikembangkan oleh media dan mereka yang memang punya sentimen anti-Islam. Saya biasa menyebutnya dengan “challenging Islamophobia by action”.
Oleh : Imam Shamsi Ali*
JERNIH–Semua kegiatan interfaith saya selama ini, baik pada tataran lokal New York dan AS maupun di tingkat global, tidak bisa dilepaskan dari eksposur yang terjadi pasca 9/11 di tahun 2001. Itulah sebabnya biasanya saya selalu mengatakan bahwa dengan segala pahitnya 9/11 itu juga membawa banyak “blessings in disguise” (keberkahan tersembunyi).
Satu di antara keberkahan itu adalah kesadaran komunitas Muslim bahwa kesalahpahaman dan phobia yang ada di benak sebagian bangsa Amerika harus dikoreksi. Selain tentu dengan ragam kegiatan dakwah secara konvensional yang dikenal selama ini, program “outreach” menjadi sangat mendesak. Satu di antara bentuk outreach itu adalah melakukan pendekatan (approach) kepada Komunitas agama lain, yang lebih populer dengan interfaith.
Dan karenanya interfaith sesungguhnya tidak terpisahkan dari konteks dakwah, khususnya ketika dakwah itu dijalankan di tengah-tengah mayoritas non-Muslim yang sangat salah paham, takut–bahkan pada tataran tertentu benci–dengan agama ini. Sekali lagi saya mengistilahkannya secara sederhana dengan “pembersihan lahan”.
Lalu apa saja manfaat atau tepatnya hasil yang ingin dicapai dari interfaith ini?
Pada tulisan ini saya akan sampaikan hanya beberapa hal saja. Sebab jika saya sampaikan keseluruhan manfaat dari interfaith yang saya pahami, minimal berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya pribadi, kemungkinan akan sangat panjang.
Di antara manfaat, tujuan dan juga hasil yang telah dan akan didapatkan dari interfaith, antara lain sebagai berikut:
Satu, interfaith adalah salah satu bentuk implementasi nyata dari ajaran Islam yang rahmatan lil-alamin. Bahwa Islam itu bukan ajaran yang menutup diri. Justeru bersifat inklusif dan membangun komunikasi dan relasi dengan semua manusia. Ini sekaligus menepis tanggapan sebagai orang jika Islam adalah agama yang ekslusif dan tidak bersahabat.
Dua, dengan interaksi langsung antar agama ini, non-Muslim akan melihat dengan mata mereka sendiri perbedaan antara Islam yang nyata dalam perilaku dan karakter pemeluknya dan narasi tentang Islam yang dikembangkan oleh media dan mereka yang memang punya sentimen anti-Islam. Saya biasa menyebutnya dengan “challenging Islamophobia by action“.
Tiga, bagi umat Islam sendiri melalui kegiatan interfaith bisa belajar untuk terbiasa membuka wawasan dan pandangan. Termasuk di dalamnya wawasan dan pandangan keagamaan yang mungkin saja selama ini bagaikan “katak di bawah tempurung” itu. Merasa menguasai dunia tapi pergerakannya justru dibatasi oleh dinding-dinding ruangan dzikirnya.
Empat, sebagaimana disebutkan terdahulu bahwa dunia kita ini telah menjadi kampung global (global village) yang dari masa ke masa mengalami penyempitan. Oleh karenanya, sesungguhnya kita dalam saat ini bagaikan hidup dalam satu rumah yang sama. Dan akal sehat pasti mengajarkan kita bertanggung jawab bersama (collectively responsible) untuk menjaga rumah bersama (shared home) kita. Dialog antaragama adalah salah satu bentuk usaha menjaga rumah bersama atau dunia itu.
Lima, realitasnya memang Islam (Al-Quran) banyak bersentuhan dengan agama/keyakinan orang lain. Al-Quran berbicara tentang Bani Israil atau Yahudi. Juga berbicara tentang Nashara atau Kristiani. Bahkan Al-Quran berbicara banyak tentang Kitab Suci mereka (Taurat dan Injil). Interfaith adalah salah satu cara praktis untuk mendapatkan penjelasan dari ayat-ayat terkait.
Karenanya, tantangan yang kemudian kita hadapi adalah bagaimana memahami dalil-dalil agama, baik di Al-Quran maupun di hadits-hadits Rasulullah yang kita dapati cukup kritis kepada dua komunitas, khususnya, yaitu Yahudi dan Kristen.
Kenyataan bahwa kritikan tajam Al-Quran itu pada galibnya ke dua komunitas itu menunjukkan jika Al-Quran itu sangat menekankan konteks. Karena konteksnya memang komunitas Muslim pertama di Madinah secara langsung berinteraksi dengan Kedua komunitas itu. Wajar saja kalau kritikan-kritikan Al-Quran bukan ke komunitas Hindu, Buddha. Walau kenyataannya kedua komunitas itu telah eksis jauh sebelum Rasulullah diutus.
Lalu bagaimana menyikapi kritikan-kritikan itu? Pertama, satu hal yang harus ditekankan bahwa kritikan Al-Quran bukan pada kelompok orang. Tapi pada perilaku orang yang dianggap salah. Kritikan kepada Bani Israel, misalnya, justru pada perilaku mereka yang keras hati dan membangkang rasul-rasul mereka sendiri. Bukan karena Yahudinya.
Kedua, perlu juga dipahami secara jeli bahwa seringkali kritikan Al-Quran itu dimaknai justru tantangan bagi umat ini di satu sisi. Tapi juga peringatan bagi mereka di sisi lain agar tidak terjatuh ke dalam lobang yang sama.
Saya hanya ingin mengambil dua ayat sebagai contoh. Yang pertama, Allah berfirman: “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah ridho kepadamu hingga kamu mengikuti millat (jalan hidup) mereka.” (Al-Baqarah:120).
Untuk memahami ayat tersebut tentu perlu perenungan sekaligus wawasan yang luas dan menyeluruh. Dan pastinya tidak tepat pemahaman itu jika didahului dengan opini yang memang penuh dengan bias dan prasangka. Karenanya, selain ilmu yang cukup juga perlu kesadaran untuk mengedepankan pikiran positif.
Berdasarkan kepada pandangan positif kepada semua umat itulah ayat tersebut harusnya dipahami secara imbang. Satu di antaranya adalah memahami bahwa kadang ayat Al-Quran itu merespons peristiwa tertentu (makna khusus) dari sebuah fenomena. Bukan sebagai keputusan atau penghakiman umum atau mutlak bahwa demikianlah Yahudi dan Kristen itu.
Apakah tidak ada lagi di kalangan mereka yang bersifat demikian? Pastinya ada. Hanya saja penahaman “umum” (generalisasi) itu berbahaya dan bisa menyesatkan, bahkan mengantar kepada kesalahpahaman yang dapat berujung kepada gesekan sosial yang tidak diinginkan.
Sebagaimana kita tidak ingin dicap terroris karena adanya segelintir yang melakukan terror, demikian pula orang lain punya hak untuk diperlukan sebagaimana kita ingin diperlukan. Kata orang: “Treat others as you want for yourselves” (perlakukan orang lain sebagaimana Anda menginginkan untuk diri sendiri).
Yang kedua, khusus bagi Komunitas Yahudi ada sebuah ayat Al-Quran yang mengatakan: “Engkau pasti akan dapati orang-orang yang paling benci kepada kepadaMu adalah Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan Engkau niscaya dapati orang yang mengasihi adalah mereka yang mengaku Nashrani.” (Al-Majdah: 82).
Ayat ini juga sangat penting untuk dipahami dengan pemahaman kontekstual. Sebab seringkali realita di lapangan tampak berbeda. Ayat ini pastinya benar. Tapi kebenaran ayat ini ditujukan pada konteks tertentu.
Beberapa tahun yang lalu saya ketemu dengan Syeikh Mustafa Ceric, mufti Bosnia yang sangat alim dan kharismatik. Beliau ketika itu hadir di acara UN Millennium Summit untuk menjadi pembicara pada sebuah side event khusus untuk tokoh-tokoh agama dunia.
Di sela-sela acara, kami bertemu dan bercakap-cakap dengan beberapa tokoh agama dari Indonesia. Salah satu hal yang saya tanyakan ke beliau adalah ayat di atas. “Menurut Syeikh apakah ayat ini relevan dengan umat Islam Bosnia yang justru dibantai oleh umat Kristiani?”
Jawaban beliau sangat cerdik dan jelas. “Ayat itu benar dan tidak diragukan. Karena itu Kalam Allah yang tiada keraguan di dalamnya. Tapi ayat itu konteksnya bukan untuk kami di Bosnia. Bagi kami justru sebaliknya, yang paling benci kepada kami adalah masyarakat Kristen”.
Beliau kemudian mencontohkan beberapa kebencian dan kekerasan kepada umat ini di berbagai belahan dunia. Palestina pastinya Yahudi sebagai pelaku. Tapi di Kashmir, kata beliau, justru umat Hindu. Belakangan di Myanmar, pelakunya adalah umat Buddha.
Semua kenyataan itu menunjukkan bahwa ayat Al-Quran maupun hadits Rasulullah tidak dapat dipahami secara literal tanpa merujuk kepada konteks ayat atau hadits itu sendiri. Bahkan lebih jauh saya sering berpikir, jangan-jangan ayat itu mengingatkan agar umat ini perlu melakukan langkah-langkah untuk “mengurangi” permusuhan dan kebencian mereka. Dan jika benar maka inilah salah satu makna terpenting interfaith itu. [Bersambung]* Presiden Nusantara Foundation