SolilokuiVeritas

Intervensi Ala Menkes BGS; Ancaman Kemerdekaan Hakim MK dan Reputasi DPR

Di tengah upaya bangsa menjaga demokrasi konstitusional, BGS justru menghadirkan cara pandang yang salah, berkarat, memalukan, kekanakan, dan dapat menyeret Indonesia ke arah negara kekuasaan. Ucapan BGS tersebut memperlihatkan seakan-akan hakim MK bisa “dilobi”, “diminta tolong”, atau “digerakkan” dari faksi tertentu.  Padahal begitu diangkat, hakim MK berhenti menjadi wakil institusi pengusulnya. Mereka bukan “orang DPR”, bukan “titipan Presiden”, dan bukan pula “delegasi Mahkamah Agung”. Mereka adalah penjaga supremasi konstitusi.

Oleh     :  Muhammad Joni*

JERNIH– Lagi dan lagi, Menteri Kesehatan terus melakukan blunder, ngasal dan kini bertendensi mengintervensi Mahkamah Konstitusi. Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, Kamis (13/11/2025),  Menkes membuat kesalahan yang tak bisa ditoleransi. Dia bersikap absurd: meminta DPR mengintervensi Hakim MK.

BGS mengatakan UU Kesehatan itu berulang kali digugat ke MK. BGS meminta hakim MK yang berasal dari DPR untuk membantu Kemenkes.   “Jadi DPR ada wakil di MK, tiga (orang), tolong diimbau, niat kita tuh bukannya mau nyaingin, bukannya mau apa…,” begitu  kata-kata Menkes seperti dikutip  detiknews pada berita berjudul “Menkes Curhat UU Kesehatan Digugat Terus”.

Pernyataan Menkes BGS yang meminta agar “hakim MK dari DPR” membantu menolak gugatan terhadap UU Kesehatan itu pelanggaran sangat serius. Pantang-larang pejabat berucap tak sehat dalam bernegara dan berkonstitusi.  Sikap  kacau yang “mengkuyo-kuyo” Konstitusi ini sungguh mengejutkan, viral, dan seperti biasa ujaran BGS, meresahkan.

Kalimat Menkes itu bukan sekadar keliru, bahkan  serangan telanjang terhadap prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang dijamin UUD 1945.

Di tengah upaya bangsa menjaga demokrasi konstitusional, BGS justru menghadirkan cara pandang yang salah, berkarat, memalukan, kekanakan, dan dapat menyeret Indonesia ke arah negara kekuasaan. Ucapan BGS tersebut memperlihatkan seakan-akan hakim MK bisa “dilobi”, “diminta tolong”, atau “digerakkan” dari faksi tertentu.

Padahal begitu diangkat, hakim MK berhenti menjadi wakil institusi pengusulnya. Mereka bukan “orang DPR”, bukan “titipan Presiden”, dan bukan pula “delegasi Mahkamah Agung”. Mereka adalah penjaga supremasi konstitusi.

Mengucapkan harapan agar hakim MK dari jalur tertentu dapat diarahkan agar jangan sampai pemerintah kalah, aha…; itu  bukan saja salah tempat, tetapi menyinggung marwah MK sebagai lembaga yudikatif yang independen.

Sikap kekanakan Menkes bentuk intervensi verbal yang membahayakan. Suatu ungkapan yang semestinya tidak keluar dari seorang pejabat publik, apalagi menteri yang mengelola sektor kesehatan nasional.

Lebih jauh, keluhan BGS bahwa UU Kesehatan sering digugat ke MK adalah bentuk salah paham yang lebih mendasar lagi. Menkes tak belajar untuk  paham tata krama bernegara dan kepatuhan berkonstitusi. Permintaan BGS justru jebakan yang membahayakan eksistensi DPR.

Dalam negara hukum, gugatan terhadap undang-undang adalah mekanisme yang sah dijamin konstitusi. Itu bukan hambatan, itu pengawasan; bukan ancaman, tetapi koreksi untuk memastikan bahwa setiap kebijakan, betapapun mulianya, tidak melanggar hak konstitusional warga negara.

Pemerataan dokter spesialis memang tujuan strategis nasional. Tetapi tujuan besar tidak dapat menjadi dalih untuk membenarkan tekanan terhadap lembaga peradilan. Terlebih MK sebagai guardian constitution and democracy, pun juga penafsir akhir konstitusi. Titahnya wajib diikuti. Presiden saja kudu mematuhi, lantas mengapa tega Menkes mengacaukan garis konstitusional Presiden.

UU Kesehatan buatan BGS yang digugat berulang kali bukan pertanda pembangkangan publik, tetapi pertanda bahwa proses legislasi dan substansi perlu total diperbaiki. Bahkan diubah dan diganti.

Alih-alih menyalahkan terus menerus uji materi UU Kesehatan, dan malah intervensi yang meminta DPR intervensi hakim MK untuk mengamankan UU Kesehatan yang terus-menerus diuji.

Justru,Menkes semestinya memperkuat dialog, bukan monolog. Ia harus merapikan norma, bukan merusak asas. Memperjelas desain kebijakan, bukan membiasakan ngasal dan kesewenangan. Membangun regulasi yang konstitusional, bukan abused of power meminta DPR  turun tangan. Ketahuilah, itu membahayakan etika Senayan.

BGS dengan demikian keliru dua kali. Pertama, karena menganggap hakim MK bisa diarahkan DPR. Kedua, karena menganggap judicial review  yang konstitusional sebagai ancaman terhadap kebijakannya.

Dua kekeliruan ini cukup untuk menimbulkan kegelisahan publik. Sebab jika menteri saja percaya hakim bisa dipengaruhi, apa lagi yang akan terjadi pada putusan-putusan penting lain di masa depan?

Kita harus mengingatkan: Mahkamah Konstitusi tidak boleh disentuh oleh kekuasaan politik. Setiap upaya, bahkan dalam bentuk kalimat yang seolah-olah ringan, adalah langkah mundur bagi negara hukum. Kita tidak boleh membiarkan preseden seperti ini berdiri, apalagi dinormalisasi.

Pemerataan dokter spesialis adalah keperluan bangsa. Tetapi menjaga konstitusi adalah kebutuhan seluruh generasi.

Menteri boleh salah memahami naskah undang-undang, tetapi tidak boleh salah memahami batas kekuasaan. Ombak persoalan kesehatan jangan dijadikan alasan untuk merusak integritas peradilan konstitusi.

Presiden, DPR, dan publik harus waspada. Independensi MK bukan milik para hakim, melainkan milik seluruh rakyat. Jika Menkes merasa programnya terganggu oleh gugatan, itu bukan urusan hakim; itu urusan kualitas undang-undangnya. Jangan sekali-kali menarik lembaga yudikatif ke dalam tarikan politik kekuasaan.

Negara hukum berdiri tegak karena tiga cabang kekuasaan berdiri pada proporsinya. Ketika salah satunya mencoba meraih yang bukan wewenangnya, negara tergelincir dari relnya.

Maka saya tegaskan: Menteri boleh mengelola kebijakan kesehatan, tetapi urusan konstitusi adalah domain MK. Jangan disentuh. Jaga jarak. Jangan diarahkan. Jangan diintervensi. Itu meremehkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan independen.

Dengan tegaknya indepedensi MK, tegak pula republik ini. Demi supremasi konstitusi, Menkes BGS kudu berhenti. Berhenti menganiaya konstitusi. [ ]

*Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)

Back to top button