Sedikitnya ada tiga persamaan antara Indonesia dan Ukraina dalam menghadapi penjajahan; pertama pernah dijajah selama berabad-abad sebagaimana Indonesia dikangkangi Belanda; kedua pernah mengalami semacam cultuurstelsel yang membunuh sekian banyak orang dalam kelaparan massal; ketiga pernah mengalami agresi militer dari bekas penjajahnya.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH—Bila Anda pernah membaca atau memirsa di You Tube, beberapa pernyataan Dubes Ukraina untuk Indonesia, Dr Vasyl Hamianin, seiring invasi Rusia ke negaranya, memakai frase”Merdeka atau mati!” Itu bukan tanpa rujukan dan simpati. Dubes yang doktor sejarah tersebut sejak awal mengaku mengagumi keberanian bangsa Indonesia dalam perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda, dan dari situ pula ia menengarai kesamaan antara Indonesia dengan Tanah Air yang dicintainya.
Sebagaimana Indonesia, Ukraina juga merupakan tataran tanah subur yang sejak lama diperebutkan bangsa-bangsa. Dalam sebuah webinar yang digelar lembaga kajian strategis Retas Institute, mantan Duta Besar Indonesia untuk Ukraina, Armenia dan Georgia, Prof Yuddy Chrisnandi, menegaskan bahwa konflik Rusia-Ukraina memiliki akar sejarah panjang, termasuk terkait kemerdekaan Ukraina dari Uni Soviet pada 1991. Wilayah subur Ukraina, kata Yuddy, selama berabad-abad merupakan tempat awal ekspansi Slavia, yang pada akhirnya membentuk negara Rus Kiev sebagai bangsa yang berpengaruh pada abad pertengahan, namun bubar pada abad ke-12.
Berabad-abad lamanya kawasan yang kemudian disebut sebagai Ukraina itu dikuasai atau dibagi-bagi oleh bangsa-bangsa lain, dari zaman lama hingga memasuki era modern, antara lain oleh Lithuania, Polandia, Kesultanan Utsmaniyah, serta Austria-Hongaria. Tetapi yang terutama adalah penguasaan oleh Imperium Rusia. “Itu yang membuat Emperium Rusia senantiasa merasa mereka menjadi penguasa Ukraina, meski di internal Ukraina mereka dianggap sebagai penjajah,” kata Yuddy.
Pada 23 Juni 1917, Republik Rakyat Ukraina berdiri sebagai negara Ukraina modern. Republik ini, menurut Nicholas V. Riasanovsky dalam “A History of Russia” (1963), diakui dunia internasional. Republik Rakyat Ukraina ini tak bertahan lama dan jatuh seiring dideklarasikannya Negara Ukraina yang anti-sosialis pada 29 April 1918. Persoalan makin runyam manakala di Rusia terjadi Revolusi Bolshevik pada 1917, yang berimbas ke Ukraina. Pada Desember pemerintahan kembali diambil alih Republik Rakyat Ukraina, yang kini didominasi Soviet, dengan pusatnya di Kyiv.
Perjanjian Riga pada 18 Maret 1921 semakin memperumit urusan kekuasaan di Ukraina dengan kian banyaknya kepentingan yang ikut bermain. Terjadilah Perang Ukraina-Soviet yang berakhir dengan dimasukkannya wilayah Ukraina ke dalam Republik Sosialis Soviet Ukraina, sebagai bagian dari Uni Soviet yang jelas merupakan representasi Rusia.
Awalnya pemerintah Uni Soviet menetapkan bahasa Ukraina menjadi bahasa resmi di pemerintahan dan sekolah. Kebijakan tersebut berubah pada tahun 1930-an manakala Joseph Stalin melakukan rusifikasi alias pe-Rusia-an, dengan mewajibkan penggunaan bahasa Rusia.
Tak hanya itu, laiknya penjajah Belanda melakukan cultuurstelsel di Indonesia, Stalin yang berdarah dingin juga merampas hasil-hasil bumi Ukraina. Alhasil, pada antara 1932-33 terjadilah jutaan kematian akibat kelaparan (orang Ukraina menyebutnya Holodomor). Beragam angka kematian, ada yang menyebut 5 juta, ada yang hingga 7 juta warga Ukraina mati kelaparan. Di Indonesia sendiri, akibat tanam paksa terjadi kelapaan di daerah-daerah seperti di Cirebon (1843), Demak (1849) dan di Grobogan pada tahun 1850. Sementara kematian terjadi di Indonesia, akibat tanam paksa yang diperintahkan Gubernur Jendral Johannes Graaf van den Bosch, kas kerajaan Belanda bisa mencapai 832 juta gulden.
Ukraina sempat menikmati sedikit ketenangan manakala Nikita Kruschev, asal Ukraina, menjadi pimpinan Partai Komunis di Ukraina, kemudian di Uni Sovyet. Pada Perang Dunia II Ukraina sempat diduduki Nazi Jerman dari 1941 sampai 1944. Selama Perang Dunia II ini, Tentara Pemberontak Ukraina yang berjuang untuk pembebasan Ukraina, melawan baik Jerman maupun Uni Soviet.
Pada tahun 1945, Soviet Ukraina menjadi salah satu negara pendiri Perserikatan Bangsa-Bangsa bersama Uni Soviet dan RSS Byelorusia. Semua ini adalah bagian dari kesepakatan dengan AS untuk memastikan keseimbangan di Majelis Umum PBB. Sebagai anggota PBB, Ukraina terpilih untuk duduk di Dewan Keamanan PBB 1948-1949 dan 1984-1985. Saat itulah Indonesia memiliki utang eksistensi kepada Ukraina.
Antara 1944-1952, RSS Ukraina menempatkan Dimitri Minuilsky sebagai ketua utusan di PBB. Pada 21 Januari 1946, Dmitry Manuilsky mengajukan masalah Indonesia ke Dewan Keamanan PBB. Dalam suratnya, Manuilsky menulis keadaan di Indonesia membahayakan perdamaian dan keamanan dunia. Empat hari setelah Manuilsky menulis surat itu, Sidang Umum PBB digelar. Manuilsky mengangkat masalah Indonesia dalam pidatonya, dan mendapat dukungan dari utusan AS Edward Stettinus dan utusan Mesir Hamid Badawy Pasha.
Baru pada 1 Agustus 1947, setelah Agresi Militer Belanda Pertama 21 Juli 1947, PBB mengeluarkan resolusi. Isinya menyeru kepada Indonesia dan Belanda untuk melakukan gencatan senjata, dan menyelesaikan masalah dengan komisi arbitrase atau cara lainnya. Dua pekan kemudian, tepatnya 14 Agutus 1947, perjuangan Manuilsky untuk Indonesia terwujud. DK PBB bersidang di Lake Success, New York, dengan agenda masalah Indonesia dan Belanda, serta Agresi Militer Belanda I. Sidang menghasilkan dua keputusan. Pertama, Indonesia diwajibkan membuat laporan sesungguhnya tentang keadaan di Indonesia. Kedua, pembentukan Komisi Tiga Negara (KTN) yang akan memberikan jasa-jasa baik untuk penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda.
Karena itu wajar bila Presiden Soekarno lalu menyampaikan terima kasih kepada Ukraina, dengan memobilisasi rakyat untuk berparade di jalanan. Pada 4 Februari 1946, rakyat Indonesia menggelar “Pawai Terima Kasih Ukraina, Terima Kasih Manuilsky”, di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya.
***
Hasrat warga Ukraina untuk merdeka dari penjajahan, terutama penjajahan Soviet-Rusia, tak pernah padam. Bagaimana pun, menjadi warga negara jajahan berarti selalu menjadi warga kelas dua, kalau pun tidak kelas kambing sebagaimana dialami pribumi Indonesia yang haknya berada di bawah bangsa Timur Asing.
Pada saat Uni Soviet kian letoy, seperti ditulis Orest Subtelny dalam “Ukraine: A History” (2000), untuk menunjukkan tekad merdeka itu, 21 Januari 1990, lebih dari 300 ribu warga Ukraina membentuk “rantai manusia untuk kemerdekaan Ukraina” antara Kyiv dan Lviv. Berikutnya, pada 24 Agustus 1991, Dewan Agung Ukraina menyatakan bahwa hukum Uni Soviet tidak berlaku lagi di Ukraina. Dengan kata lain, Ukraina mendeklarasikan kemerdekaannya dari Uni Soviet meskipun belum secara de jure.
Hingga akhirnya, pada 1 Desember 1991, digelar referendum oleh rakyat Ukraina untuk menentukan pilihan: tetap bersama Uni Soviet atau merdeka sebagai negara sendiri. Hasil referendum menyebutkan bahwa lebih dari 90 persen warga Ukraina memilih merdeka dengan suara bulat di setiap daerah. Di hari yang sama, BBC News melansir laporan bertajuk “Ukraine Country Profile”, warga Ukraina memilih presiden mereka untuk pertama kalinya, Leonid Kravchuk. Setelah itu, Anda bisa cari dan baca sendiri bagaimana warga Ukraina terusberusaha mewujudkan impian mereka bernegara.
Harapan ke arah kemerdekaan itu kian terbuka manakala pejuang kemerdekaan Ukraina, Leonid Kravchuk dan Presiden Rusia, Boris Yeltsin menandatangani Piagam Belavezha, untuk membubarkan Uni Soviet, 8 Desember 1991. Akhirnya Ukraina pun mendeklarasikan kemerdekaan, memperkenalkan bendera pada 28 Januari 1992, berdasarkan bendera yang digunakan pada Perang Kemerdekaan Ukraina di tahun 1917-18.
Yang jelas, Ukraina telah merdeka secara de jure dan diakui oleh komunitas internasional. Bila ada orang Indonesia bertempik sorak terhadap pihak aggressor—dalam kasus ini Rusia—mungkin ada saatnya memeriksakan kesehatan mereka senyampang pandemi pun mulai tenang ini.
Tak ada alasan masuk akal manakala Presiden Rusia, Vladimir Putin, memutuskan melakukan invasi militer yang disebutnya operasi militer ke Ukraina. “Saya telah membuat keputusan operasi militer,” ucap Putin seperti diwartakan AFP, di hari invasi itu ia gerakkan. Persis sama manakala penjajah Belanda menyebut agresi militernya sebagai ‘aksi polisionil’ pada 21 Juli sampai 5 Agustus 1947, dan kedua kalinya dari 19 Desember 1948 sampai 5 Januari 1949. Hanya para komprador penjajah yang tentunya mau berhore-hore untuk petualangan militer yang pasti menghilangkan sekian banyak jiwa dan korban ini.
Apalagi yang bisa dilakukan pihak Ukraina atas invasi itu? Sebagaimana para pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia di masa lalu, pihak Ukraina tentu saja tak patut segera angkat tangan dan bilang,”Monggo!”
Melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Oleg Nikolenko, Ukraina menegaskan akan memberikan perlawanan dan mempertahankan kemerdekaan Tanah Air mereka. “Ini merupakan tindakan perang, suatu serangan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah Ukraina, sebuah pelanggaran menjijikkan terhadap Statuta PBB, norma, juga prinsip hukum internasional,”ujar Nikolenko, sebagaimana dilansir CNN, Kamis (24/2) alias hari pertama perang.
Alhasil, sederhananya Indonesia dan Ukraina memiliki sedikitnya tiga persamaan sejarah. Pertama, kedua bangsa pernah dijajah selama berabad-abad, sebagaimana Indonesia dikangkangi Belanda. Kedua pernah mengalami semacam cultuurstelsel yang membunuh sekian banyak orang dalam kelaparan massal; serta ketiga pernah mengalami agresi militer dari bekas penjajahnya. [dsy]