Solilokui

Ja’far Ash Shadiq, Paceklik dan Janda Beranak Tujuh

Belum habis Maktab merasakan bingung, Ja’far berkata lagi,”Dan mulai besok, kita beli jewawut saja. Bila rakyat kecil masih kuat beribadah hanya dengan makan jewawut, mengapa kita tidak bisa?”

JERNIH—Musim kemarau panjang melanda Timur Tengah, dan Madinah tak terkecuali. Akibatnya, kota itu dilanda paceklik. Harga barang pangan membubung naik.

Banyak hartawan, lantaran dihantui kelaparan, beramai-ramai menimbun gandum yang makin lama makin hilang dari pasar, karena menipisnya persediaan. Tidak demikian dengan rakyat kecil. Mereka hanya bisa berbelanja untuk mencukupi kebutuhannya hari itu, sehingga esok hari selalu masih menyisakan pertanyaan, apakah akan bisa makan kembali, atau tidak?

Ja’far Ash Sadiq, cucu Ali bin Abi Thalib, termasuk salah seorang warga Madinah yang hidup berkecukupan. Kepada Maktab, pengurus rumah tangganya, Ja’far bertanya,”Masih adakah persediaan pangan kita?”

Maktab menjawab,”Masih banyak sekali, Tuan. Gandum kelas satu yang paling lezat rasanya, dan di pasar sudah tak lagi ada, karena yang tersisa di tempat umum hanyalah jewawut.”

“Kalau begitu, semua gandum yang ada di gudang bawalah ke pasar, jual seluruhnya,” kata Ja’far memerintahkan.

“Madinah sedang dilanda kelaparan, Tuan,” sahut Maktab. “Kalau gandum itu kita jual seluruhnya, belum tentu kita bisa membelinya lagi untuk besok pagi.”

Ja’far berkeras. “Bawalah ke pasar dan jual seluruhnya. Kita harus berbelanja seperti rakyat kebanyakan. Kalau mereka berbelanja hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari, kita juga harus begitu. Kalau mereka tidak mendapatkan makanan, apakah layak kita kenyang sendirian?”

Maktab menggeleng-geleng, memikirkan sifat tuannya yang keras dalam soal keadilan. Belum habis bingungnya, Ja’far berkata lagi,”Dan mulai besok, kita beli jewawut saja. Bila rakyat kecil masih kuat beribadah hanya dengan makan jewawut, mengapa kita tidak bisa?”

Lain pula yang dilakukan seorang oetani hartawan di tempat berbeda. Biasanya, hasil ladangnya ia bagi tiga. Sepertiga untuk keperluannya sendiri, sepertiga untuk sedekah bagi fakir miskin dan anak-anak yatim, sementara sepertiganya lagi untuk bibit musim tanam berikutnya.

Tetapi pada musim paceklik itu hasil ladangnya jauh berkurang. Setelah dihitung-hitung, kalau dibagi tiga sebagaimana biasa, akan terjadi ketimpangan. Taruhlah, sepertiganya diberikan buat sedekah, yang sepertiga lagi buat bibit, maka sisanya tak akan cukup untuk menopang kebutuhan keluarganya sampai musim panen berikutnya.

Ia bingung, bagian mana yang harus dikurangi? Andaikan yang diambil adalah sepertiga bagian benih, jelas tidak mungkin karena keperluan untuk mencukupi benih sesuai luas tanahnya, ya sudah pas seperti itu. Kalau diambil dari bagian yang ia biasa sedekahkan, berarti ia merampok hak Allah yang disediakan untuk fakir miskin dan para yatim. Jika dikurangi dari bagian yang biasa ia simpan untuk keperluan makan setahun, berarti hanya tiga bulan saja ia dan keluarganya terjamin bisa makan. Sesudah itu tanda tanya besar menghantui nasib diri dan keluarganya.

Maka ia pun pergi menemui seorang ulama sufi yang tekun beribadah. Kepada ulama tersebut sang hartawan mengadu dan meminta saran.

Sang sufi menjawab,” Di ujung kampung ini ada seorang janda dengan tujuh anak yatim yang masih kecil-kecil. Datangilah rumahnya, dan berikanlah kepadanya sedekah yang biasa kau bagikan.”

Petani kaya itu menurut. Ia mengetuk pintu rumah reyot janda miskin tersebut selepas Isya, sambil membawa gandum yang akan ia sedekahkan. Setelah pintu terbuka dan janda itu keluar menemuinya, Sang Petani bertanya,” Betulkan Engkau seorang janda dengan tujuh anak yatim?”

Perempuan itu mengangguk. “Benar. Ada urusan apa?”

“Saya datang hendak menyerahkan bahan makanan untukmu dan anak-anakmu.”

“Alhamdulillah,” kata Si Janda. “Tetapi anak-anak saya semuanya sudah tertidur lelap.”

“Kalau begitu, engkau bisa memasaknya besok dan memberikannya kepada mereka,” kata Sang Petani.

“Terimakasih,” jawab Si Janda. “Tetapi apakah Tuan berani menjamin bahwa esok pagi mereka masih hidup?”

“Insya Allah,” kata Sang Petani,” mudah-mudahan esok pagi anak-anak masih hidup.” Ia keheranan atas ucapan Si Janda yang ganjil itu.

“Andaikata benar mereka masih hidup,Allah-lah yang punya kuasa memberi hidup kepada mereka, bukan Tuan. Sebab nyatanya Tuan tak bisa memastikannya. Dan karena Allah yang memberi hidup kepada mereka, saya yakin Allah pula yang akan memberi rezeki bagi mereka. Bukan Tuan. Maaf, saya tak hendak menerima sedekah dari Tuan.”

Petani kaya itu masih juga berkeras memaksa. “Begini maksud saya. Biarlah bahan pangan ini kau simpan untuk persediaan di hari-hari paceklik sebagaimana yang saat ini kita alami.”

“Astaghfirullah,” kata wanita itu dengan murung. “Alangkah beratnya dosa saya jika saya bersedia menerimanya. Tuan menyuruh saya menyimpan bahan pangan itu untuk persediaan di hari-hari mendatang, sementara di tempat lain masih banyak fakir miskin yang membutuhkannya untuk hari ini. Layakkah saya berbuat serendah itu?”

Petani itu pulang. Ia sudah memperoleh jawaban yang telak dari janda beranak tujuh itu. Dalam hatinya ia berpikir, perempuan janda yang anaknya tujuh saja tidak kuatir terhadap rahmat Allah yang senantiasa melimpahkan rezeki bagi hamba-hamba-Nya, mengapa dirinya harus takut menghadapi hari-hari yang akan datang, padahal ia jelas lebih kuat daripada janda itu?

Maka dibagi-bagikankah sepertiga hasil panen sebagaimana yang biasa dilakukannya untuk yang membutuhkan, dan disisihkannya pula sepertiga bagian untuk bibit tanaman di musim mendatang. Biarlah persediaan makanan keluarganya sendiri yang berkurang. Bukankah Allah Maha Pemurah dan Penyayang? [dsy]

Dari “Hikmah Ketulusan”, KH Abdurrahman Arroisi, Penerbit Remaja Rosadakarya, 1990             

Back to top button