SolilokuiVeritas

Jalan Pemasungan

Di Rusia, dengan keruntuhan komunisme, obsesi supremasi pemimpin baru, seperti Vladimir Putin, mendorongnya berpaling dari Lenin ke Ivan Ilyin (“nabi” fasisme). Di AS, ketiadaan kekuatan komunisme dan mendekatnya agenda liberalisme kiri (Demokrat) dan konservatif (Republik) serta meluasnya kesenjangan di lintasan sejarah panjang diskriminasi rasial di negara tersebut, memberi lahan subur bagi pertumbuhan populisme-fasistik.

Oleh     :  Yudi Latif

JERNIH–Saudaraku, berakhirnya perang dingin tak membuat sejarah ideologi berakhir. Dalam keserbahadiran teknologi digital dengan akses informasi tak terbatas, visi dan pilihan politik seakan serba terbatas.

Yudi Latif

Dalam buku “The Road to Unfreedom” (2018), Timothy Snyder menengarai kecenderungan komunitas politik terjebak dalam persepsi “ketiadaan alternatif” yang menghadirkan “politik ketakterhindaran” dengan logika sejarah yang linear. Kompleksitas persoalan tak dipecahkan dengan kekayaan pemikiran, tetapi dihadapi dengan melanggengkan satu jalur pemikiran yang disucikan. Jalur rel tunggal inilah yang mengarah ke ekstremisme: di satu sisi melahirkan neo-liberalisme (totalitarianisme pasar); di sisi lain, sebagai reaksi, mendorong kebang-kitan neo-fasisme (totalitarianisme identitas kultural).

Saat ini, gelombang pasang neo-fasis menerjang segala penjuru dunia. Di Eropa Barat, keberhasilan rezim negara kesejahteraan mengurangi daya tarik gerakan sosial lama berbasis kelas, beralih ke gerakan sosial baru berbasis identitas kultural. Respons atas tendensi kemandegan ekonomi bersamaan dengan arus masuk imigran di kawasan tersebut merangsang revivalisme neo-fasis.

Di Rusia, dengan keruntuhan komunisme, obsesi supremasi pemimpin baru, seperti Vladimir Putin, mendorongnya berpaling dari Lenin ke Ivan Ilyin (“nabi” fasisme). Di AS, ketiadaan kekuatan komunisme dan mendekatnya agenda liberalisme kiri (Demokrat) dan konservatif (Republik) serta meluasnya kesenjangan di lintasan sejarah panjang diskriminasi rasial di negara tersebut, memberi lahan subur bagi pertumbuhan populisme-fasistik.

Di India, tradisi segregasi sosial dan sejarah permusuhan antaragama, memberi antaran bagi kebangkitan Hindu fasistik. Di dunia Arab, kuatnya obsesi penyatuan agama dan politik serta identitas politik berbasis agama memberi lahan subur bagi semangat fasistik. Bahkan di Cina, tradisi imperium dengan obsesi supremasi Tiongkok sebagai pusat semesta tak menghalangi kemungkinan komunisme berselingkuh dengan fasisme.

Pertarungan ideologi tersengit akan terjadi di sebelah kanan jalan: neo-liberalisme versus neo-fasisme, dan antarvarian neo-fasisme. Namun, pihak mana pun pemenangnya, ujungnya sama: jalan pemasungan. [  ]

Back to top button