Solilokui

Kapitalisme Lama Versus Kapitalisme Baru

Agar efisien dan tetap memberi keuntungan kepada pemangku kepentingan, maka mau tidak mau gaji pekerja ditekan. Biaya operasional dan yang mendukung pencitraan perusahaan dibatasi.  Maka pemilik lama tidak bisa lagi berkelakuan seperti nenek moyangnya sebagai seorang dermawan yang peduli terhadap kesehatan, pendidikan dan membiayai riset-riset yang penting bagi kemanusiaan.

Oleh  : Marlin Dinamikanto

JERNIH– Kapitalisme Lama masih lebih “manusiawi” ketimbang Kapitalisme Baru. Pada Kapitalisme Lama pemilik menangani langsung perusahaannya, sehingga dia tahu berapa real profit yang dia dapat (bukan pendapatan di atas kertas).

Tidak mengherankan bila setiap menjelang Natal mereka bagi-bagi sebagian keuntungannya kepada pekerjanya. Maka lahirlah tradisi Boxing Day di Inggris, ketika uang beredar di masyarakat begitu melimpah karena kaum pekerja baru mendapatkan hadiah dari majikannya.

Marlin Dinamikanto

Citra perusahaan akan berkibar kalau kesejahteraan pekerjanya meningkat. Para pemilik perusahaan seperti Henry Ford, John Davison Rockefeller, Keluarga Rothschild, beroleh nama baik karena membiayai yayasan-yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, kesehatan dan riset-riset ilmiah. Tidak jarang pula keluarga kaya ini menyekolahkan anak-anak pekerjanya hingga level perguruan tinggi.

Namun pertumbuhan akumulasi modal (Kapitalisme) sebagaimana diramalkan Karl Marx mengalami titik jenuh. Dimulai adanya malaise di tahun 1930-an kemudian muncul Perang Dunia II yang menyelamatkan Kapitalisme karena adanya proyek infrastruktur dan persenjataan dalam skala besar.

Setelah itu pertumbuhan tidak bisa lagi mengandalkan seberapa besar jumlah barang atau jasa yang diproduksi. Mereka butuh cara baru agar pertumbuhan terus bisa bertahan. Maka lahirlah pasar saham yang sebelumnya memang sudah ada di Buttonwood (sekarang Wall Street) sejak abad ke-16.

Namun Kapitalisme baru lebih mengoptimalkan pasar saham dengan semangat “demokratisasi kepemilikan”. Siapa pun, pekerja kantoran, buruh pabrik, ibu-ibu rumah tangga, dan lainnya boleh memiliki saham perusahaan yang sudah menyatakan go public.

Laba bukan hanya dihitung harga jual dikurangi biaya operasional termasuk di dalamnya upah pekerja. Melainkan juga dari hasil penjualan saham yang sebetulnya hanya kertas dengan nilai nominal yang harganya tergantung hukum penawaran dan permintaan.

Dari pemilik-pemilik saham minoritas yang jumlahnya berserak itu lahirlah komisaris-komisaris independen yang bertugas menyuarakan kepentingannya. Untuk menjaga kepentingan pihak yang diwakilinya, komisaris independen berwenang melihat pembukuan perusahaan.

Agar efisien dan tetap memberi keuntungan kepada pemangku kepentingan, maka mau tidak mau gaji pekerja ditekan. Biaya operasional dan yang mendukung pencitraan perusahaan dibatasi.

Maka pemilik lama tidak bisa lagi berkelakuan seperti nenek moyangnya sebagai seorang dermawan yang peduli terhadap kesehatan, pendidikan dan membiayai riset-riset yang penting bagi kemanusiaan.

Di pihak lain, perusahaan tidak lagi ditangani langsung oleh pemilik. Perusahaan dikelola oleh para profesional yang dibayar mahal dengan target efisiensi yang menjadi kunci agar perusahaan yang sudah jenuh pertumbuhan itu tetap bisa berkembang.

Ada kalanya persaingan yang keras dengan perusahaan-perusahaan sejenis itu memaksa perusahaan melakukan praktik-praktik kecurangan, misal dengan menyembunyikan pajak melalui perusahan-perusahaan penampung dana di negara-negara yang bebas pajak, atau bahkan melakukan kolusi dengan pemerintahan di seberang lautan agar mendapatkan konsesi sumber daya alam yang berujung terjadinya konflik agraria di berbagai belahan dunia.

Ide pasar bebas, deregulasi, dan privatisasi sudah pasti lahir dari Kapitalisme Baru yang mewujudkan gagasan neo-liberalisme yang oleh  Presiden Ronald Reagen dan PM Inggris Margaret Thatcher dirumuskan dalam Kesepakatan Washington.

Faktanya, meskipun Fukuyama menggaris-bawahi bahwa Kapitalisme menjadi pemenang tunggal peradaban, namun bayang-bayang krisis kini kembali membayangi negara-negara yang selama ini dianggap sebagai kiblat pusat pertumbuhan dunia.

Amerika Serikat bermasalah dengan penyediaan lapangan kerja yang membuat Donald Trump memenangkan konvensi Partai Republik, menantang Hillary Clinton untuk menjadi penguasa Gedung Putih.

Begitu juga dengan Inggris yang semula bergabung dengan Uni Eropa tapi merasa keberadaannya hanya dijadikan sapi perah maka mereka memutuskan untuk berpisah.

Krisis Ekonomi membayangi dunia. Kaum pekerja pun mendapatkan getah dari kelumpuhan ini.

Kalau dua dekade lalu, anak-anak dari kelas pekerja masih mendapatkan tunjangan pendidikan dari perusahaan tempat ayahnya bekerja, kini sekadar menjadi nostalgia lama yang tidak bisa diulang.

Dengan kata lain, kapitalisme lama dengan segala kelemahannya masih lebih baik dengan kapitalisme pasar saham yang terbukti menggerogoti kelas pekerja.

Begitulah, sekilas percik permenungan saya setelah lebih dari satu jam berbincang-bincang dengan Hariman Siregar, seorang dokter sekaligus aktivis yang selalu mengakses informasi dari e-Book terbaru di gadgetnya. [ ]

*Dari diskusi informal berdua dengan Bang Hariman Siregar di Jl. Rambutan, Kalibata Indah, 5 Agustus 2016.

Back to top button