Kaus Lusuh, Kebanggaan, dan Kebahagiaan
Baju bisa menjadi simbol perlawanan atau gerakan. Ada pengajian yang sangat menekankan agar jemaahnya mengenakan baju terbaik ketika shalat. Pakai kaus bisa dibilang tabu buat menghadap Tuhan.
Oleh : Anwar Holid
Kemarin aku ke supermarket yang terkenal banyak menyajikan barang impor. Para ekspatriat berseliweran di situ. Di sebuah lorong aku lihat ada pria mengenakan kaus yang di bagian leher, bahu, dan pundaknya bolong-bolong.
Bahkan di beberapa bagian lain pun sudah berlubang. Begitu lirik, aku heran. Kok dia pakai kaus kayak gitu sih ke supermarket mewah? Dia percaya diri mengenakannya. Kaus itu tidak terlihat sangat lusuh. Warnanya memang sudah agak pudar, tapi secara keseluruhan masih mulus.
Aku membatin: kaus itu memang modenya begitu atau dia percaya diri banget dengan pakaiannya? Bisa jadi kaus itu harganya jutaan rupiah. Mungkin dia sengaja pakai kaus itu buat kejutan budaya. Entah cuma aku yang kepo atas penampilannya.
Kaus bolong-bolong tidak membuat pria itu kelihatan seperti pembantu yang sedang disuruh belanja. Badannya terawat. Dia mengenakan face shield plus masker. Kulitnya bersih. Isi keranjangnya menggunung. Dia santai mengambil berbagai merek yang aku pikir cuma bakal dibeli oleh kalangan menengah atas.
Pasti dia favorit banget sama kausnya. Kalau tidak, masa iya dia kelihatan percaya diri mengenakannya. Dia tidak rela membuang kaus bolong-bolongnya. Kalau dia beristri atau punya pacar, pasangan macam apa yang membiarkannya memakai kaus yang tampak jelek ke tempat mewah? Apa dia pernah dimarahi gara-gara pakai kaus itu?
Pakai baju terkadang dilematis. Ada kala selera atau rujukan seseorang harus selaras dengan saran orang terdekat dan norma sosial. Kalau berbeda banget bisa bermasalah. Ada kantor yang pada hari tertentu wajib pakai seragam, dilarang pakai t-shirt, pada kesempatan tertentu mengenakan baju tematik. Tapi selalu ada orang yang enggan bahkan bila cuma diminta pakai baju tertentu pada waktu khusus.
Baju bisa menjadi simbol perlawanan atau gerakan. Ada pengajian yang sangat menekankan agar jemaahnya mengenakan baju terbaik ketika shalat. Pakai kaus bisa dibilang tabu buat menghadap Tuhan.
Dulu aku punya kaus band Pearl Jam impor. Oh alangkah bangga tiap kali mengenakannya. Tapi seiring waktu kaus itu lusuh juga. Lama-lama keluargaku bilang kaus itu terlalu jelek untuk dipakai. Akhirnya dengan sedih aku melepas kaus favorit itu jadi kain pel. Aku tidak percaya bahwa kaus band makin lama makin keren kalau makin sering dipakai. Yang ada ia makin lusuh, karena tambah sering bercampur sama keringat, daki, dan dicuci.
Aku beberapa kali mengingatkan si sulung bila dia kedapatan pakai baju yang kelihatan kotor atau tak pantas ke tempat kerjanya. “Hargai tempat kerjamu dengan pakai baju yang baik, yang bersih.” Pakaian itu boleh lawas, tapi harus bersih. Jangan jelek. Apalagi bau. Bos dan teman kerja pasti senang bila lihat kita pakai baju yang pantas dan tidak mengganggu lingkungan kerja. Memang tiap tempat punya ketentuan tak tertulis atas kode berpakaian. Contoh di rumah ibadah ada pengumuman agar pengunjung mengenakan baju sopan.
Kenapa orang masih suka pakai baju lusuh?
Marie Kondo bilang, wajar bila seseorang menyimpan dan terus mengenakan pakaian favoritnya sampai lusuh. Baju seperti itu bikin gembira penggunanya. Sesuatu yang bikin bahagia layak disimpan, sejelek apa pun itu di mata orang lain.
Jadi wajar kalau ada ibu-ibu atau istri terus mengenakan satu daster sampai lusuh, sobek-sobek, dan malah ngambek tiap kali diingatkan agar diganti. Mungkin daster itu hadiah dari kesayangannya atau mengingatkan pada kejadian yang bikin dia bahagia.
Dia senang meski di mata orang lain dia kelihatan jelek karena bajunya sudah usang. Yang keterlaluan itu mungkin kalau orang masih pakai daleman sobek-sobek atau berlubang, apalagi persis di bagian vagina, penis, atau pantat. Sebagian orang melihatnya saja risih. Kenapa coba daleman itu sampai bolong-bolong persis di bagian itu?
Pria itu pasti bukan orang sembarangan. Begitu juga dengan kaus bolong-bolongnya. Buktinya, satpam mengizinkannya masuk. Kalau dilarang, mungkin dia menyergah, “Seragam kamu mungkin lebih keren dari kausku, tapi gajimu kalah jauh sama penghasilanku. Jangan sembarangan! Jangan lihat orang dari penampilannya. Hakimi dia dari belanjaannya.[ ]
Anwar Holid, editor dan penulis. Tinggal di Bandung. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.