Kedermawanan Melebihi Angin
Itu layer pertama dari kasus Arief Rosyid, sebagai ketua Departemen Ekonomi Dewan Masjid, yang lebih mengejar prestise “festival” ketimbang sungguh-sungguh memerhatikan kebutuhan para ‘ustadz kampung’ (juga ustadz pulau-pulau terluar yang jauh dari keramaian). Padahal merekalah ujung tombak dari 347.518 musala di seluruh Indonesia berdasarkan data SIMAS (Sistem Informasi Masjid) pada laman kemenag.go.id. Sebab, sehebat apapun festival-(festival) Ramadan ditampilkan di tingkat nasional, semua itu tak ada artinya jika hanya dinikmati segelintir pedakwah elite dan tak melibatkan mayoritas ‘ustadz kampung’
Oleh : Akmal Nasery Basral*
JERNIH–DUA hari lalu di sejumlah WAG beredar posting berjudul “Ustadz Kampung” tulisan Ramadhani Akrom. Cuplikannya,“Tadi malam sudah hari keempat puasa berjalan. Berarti sudah lima kali salat taraweh dilaksanakan, termasuk di musala dekat rumah saya.”
“Dari lima kali itu saya sudah dua kali jadi imam taraweh. Seorang teman bertanya di WA, bagaimana kesan setelah lewati lima kali salat taraweh? Saya jawab nggak ada kesan apa-apa. Cuma sebagai ustadz kampung, saya tak dapat pemasukan apa-apa dari jadi imam dan pengisi kultum jelang taraweh. Malah dapat kutukan dan grutukan. “Kok?” tanya temanku itu. Nggak seperti ustadz profesional yang panen waktu bulan puasa, habis jadi imam dan penceramah, nggak ada yang nyalami saya nyodorin amplop … Itu ustadz kampung, tanpa amplop tanpa kehormatan. Bulan puasa berlaku, hidup pun berlaku. Bagi ustadz seperti saya ini tidak ada istilah panen dan banyak rezeki pada masa Ramadan.”
Saya kenal dengan ‘ustadz kampung’ penulis posting ini dan memanggilnya Angku Inad tersebab darah Minang yang mengalir di tubuhnya meski lahir di Curup, Bengkulu, 60 tahun lalu. Beliau senior saya di FISIP UI.
Lulus kuliah Angku Inad pernah merajut karier sebagai wartawan koran Pelita. Tahun lalu dia terbitkan sendiri novel berjudul “Cinta di Antara Desing Peluru” yang terinspirasi dari kerusuhan Tanjung Priok 1984. Sebuah novel semi biografis yang layak dibaca.
Sebelum pandemi, Angku Inad mendirikan Pengajian Ibnu Mas’ud (PIM) untuk anak-anak duafa di kawasan Sukatani, Tapos, Depok, tempat tinggalnya. Untuk pengajaran, Angku Inad dibantu dua orang guru ngaji honorer dari warga setempat. Ketika itu saya ikut menggalang kepedulian sejumlah kawan untuk mendukung PIM dengan melengkapi kebutuhan dasar seperti pasokan mushaf Al Qur’an, rehal (bangku kecil khusus tempat menaruh Al Qur’an yang hendak dibaca) serta honor guru untuk kegiatan awal. Angku Inad dengan gembira memosting foto-foto kegiatan awal itu di dunia maya.
Kembali ke isi posting di atas, bagaimana cara kita membacanya dan menempatkan secara tepat dalam suasana umat sekarang? Apakah itu hanya sekadar curhat Angku Inad atau lebih jauh lagi sebuah kritik sosial terhadap kondisi dakwah sebagian ustadz?
Keduanya sangat mungkin, yang satu melengkapi yang lain. Apalagi saat ini masih belum lenyap kabar tak sedap tentang pemalsuan tanda tangan Ketua Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla dan Sekjen Imam Addaruqutni oleh Ketua Departemen Ekonomi Arief Rosyid. Sebuah tindakan kalap yang kurang adab.
Pemalsuan tanda tangan dilakukan untuk mengundang Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin agar berkenan menghadiri Festival Ramadhan yang disemarakkan kegiatan pameran UMKM, kuliner halal, buka puasa bersama, dan kegiatan lainnya selama sebulan penuh yang gemebyar.
Arief Rosyid, 36 tahun, bukan sosok sembarangan. Dia memiliki gelar Magister Kesehatan Masyarakat dari FKM UI (2014), ketua umum PB HMI (2013-2015), dan sedang menjabat sebagai komisaris independen PT Bank Syariah Tbk (BSI) sejak Februari tahun lalu. Lantas, dengan kredensial begitu mengkilat apa motif sebenarnya sampai nekad menggunting otoritas ketua dan sekjen DMI yang dikenalnya sangat dekat? Apa iya cuma urusan festival Ramadan saja yang melibatkan umat? Atau ada motif lain yang lebih misterius dan syubhat?
DMI sudah memecat Arief Rosyid sehari sebelum puasa dimulai. Bukan tak mungkin urusan berlanjut ke ranah hukum jika Jusuf Kalla melaporkan ke kepolisian seperti disampaikan juru bicaranya, Husain Abdullah, kepada para wartawan.
Arief juga diminta mundur dari jabatan sebagai Plt Ketua Yayasan Pengkaderan Insan Cita (YPIC), meski sebagai salah seorang dari tujuh pendiri. YPIC adalah yayasan yang dibangun aktivis HMI untuk melakukan penggalangan dana yang digunakan untuk pelatihan SDM. “Saya gagas dan inisiasi agar ada fund endowment untuk kaderisasi umat dan bangsa yang tak boleh dikooptasi oligarki,” ungkap Marbawi Azis Katon, sosok sentral dan pemikir utama YPIC, kepada saya dini hari tadi.
Arief menjadi plt ketua akibat musibah yang dialami Mulyadi P. Tamsir, Ketua HMI yang wafat bersama istri dalam kecelakaan pesawat Sriwijaya rute Pontianak-Jakarta di Kepulauan Seribu, Januari 2021. “Pencopotan (Arief) terpaksa dilakukan agar jadi ibroh (pelajaran) saya juga, meski sebenarnya saya tak suka melakukan ini,” lanjut Marbawi yang pernah menjadi wakil ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka era Adhyaksa Dault.
Bagaimana kita menempatkan curhat ‘ustadz kampung’ Angku Inad di satu kutub dan laku lancung Arief Rosyid di lain kutub? Keduanya terbuhul benang merah yang sama: bulan Ramadan yang penuh degup.
Curhat Angku Inad adalah puncak gunung es yang sudah lama dialami para ustadz dan da’i yang berkomitmen mengurusi masyarakat pinggiran yang papa duafa. Mereka hanya menjadi penonton dari aneka gebyar keriaan Ramadhan yang tak jarang hanya jadi ajang flexing umat kaya raya penuh glamor–termasuk juga sebagian ustadz sosialita yang tampil bak pesohor. Tinggi honor, mobil bermerek penuh pamor, busana mahal—kadang sebagai brand ambassador–yang bikin umat kebanyakan jadi minder dan menggigil tremor.
Itu layer pertama dari kasus Arief Rosyid, sebagai ketua Departemen Ekonomi Dewan Masjid, yang lebih mengejar prestise “festival” ketimbang sungguh-sungguh memerhatikan kebutuhan para ‘ustadz kampung’ (juga ustadz pulau-pulau terluar yang jauh dari keramaian). Padahal merekalah ujung tombak dari 347.518 musala di seluruh Indonesia berdasarkan data SIMAS (Sistem Informasi Masjid) pada laman kemenag.go.id. Sebab, sehebat apapun festival-(festival) Ramadan ditampilkan di tingkat nasional, semua itu tak ada artinya jika hanya dinikmati segelintir pedakwah elite dan tak melibatkan mayoritas ‘ustadz kampung’, ‘ustadz pulau terluar’, serta ‘ustadz kawasan terasing’.
Layer kedua adalah sikap masyarakat Muslim sendiri. Sebagian mereka hidup bermewah-mewahan hedonisme murni saat berbuka puasa di tempat-tempat classy dengan menu berlimpah ruah, yang sekali makan bisa memenuhi kebutuhan anak yatim sebulan. Sebagian lagi tega menunjukkan hedonisme ibadah—misal dengan kembali umrah meski sudah berulang kali—di tengah masyarakat sekitar sedang menjerit akibat harga kebutuhan pokok yang terus melangit. Problem yang juga mencekik leher para ‘ustadz kampung’ yang punya anak-istri, punya keluarga yang harus dihidupi.
Maka Ramadan, sedihnya, sering terlihat sebagai bulan anomali. Alih-alih terjadi pengendalian diri dan gaya hidup lebih sederhana dari bulan-bulan sebelumnya, Ramadan berubah menjadi bulan pemborosan yang dipertontonkan dengan gamblang oleh sebagian kalangan. Kalaupun ada kepedulian sosial dalam bentuk infaq, sedekah dan bantuan yang dilakukan dalam bentuk paket sembako dan sejenisnya, umumnya itu hanya sejumput kecil persentase dari total pengeluaran yang mereka hamburkan.
Padahal dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma yang sangat populer karena begitu sering disampaikan para ulama, bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah seorang Ajwadan Nas (orang paling dermawan) yang di bulan Ramadan menjadi “ajwadu bil khair min rihil mursalat” (kedermawanan beliau dalam kebaikan melebihi tiupan angin) saking intensnya membantu orang lain.
Bukankah ini yang seharusnya dilakukan mereka yang mendaku mencintai dan ingin meneladani sikap hidup Nabi mulia? Terutama para aghniya (kalangan berpunya) agar menggerakkan tangan mereka ‘melebihi kecepatan angin’ dalam berderma, khususnya terhadap masyarakat di sekeliling mereka.
Senyampang masih hari keenam Ramadan yang masih pada periode turunnya limpahan rahmat Allah, umat Islam sudah harus lebih serius memerhatikan kehidupan para ustadz yang menggerakkan dinamika dakwah di musala, langgar, surau, dan aneka sebutan lainnya di seluruh Indonesia, agar Ramadan benar-benar menjadi syahru ash shadaqah (bulan sedekah) yang merupakan satu dari sekian nama julukan bulan suci.
Kurangi konsumsi pribadi dan keluarga, tingkatkan intensitas dan kuantitas sedekah.
Bagi yang ingin menyalurkan kepedulian sosial kepada Angku Inad dan pengajian anak-anak duafa di Depok yang dikelolanya serta untuk memakmurkan musala yang dijalankannya, silakan salurkan kepedulian melalui BNI no rek 0449599150 a/n Ramadhani.
Untuk konfirmasi ke 0813-8480-5573, nomer pribadi beliau yang saya tampilkan seizinnya.
Tentu saja ini bukan satu-satunya cara bersedekah karena sudah pasti banyak sekali “Angku Inad-Angku Inad” lain di sekitar tempat Anda bermukim. Bagaimana cara mendeteksinya? Cukup lakukan “tiga buka”: buka mata, buka hati, buka dompet lebih lebar lagi.
Semoga Allah merahmati dan mudahkan semua yang sungguh-sungguh berniat melakukan kedermawanan melebihi cepatnya tiupan angin seperti dicontohkan Nabi. [ ]
*Sosiolog, penulis 24 buku. Karya terbarunya Serangkai Makna di Mihrab Ulama tentang kisah hidup Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) bisa dipesan dari IG @bukurepublika atau www.bukurepublika.id