Keluar dari Kemelut
Politik ketakterelakkan berujung pada “politik kekekalan” (the politics of eternity), dengan terus mempertahankan hal-hal buruk. Masalah yang muncul tidak dicari solusinya, melainkan dielakkan dengan jalan pabrikasi krisis dan manipulasi emosi. Untuk mengalihkan perhatian publik dari ketidakmampuan dan ketidak-sediaan elit politik untuk memperbaiki demokrasi, para “elit kekekalan” meninabobokan rakyat dengan pencitraan atau hasutan permusuhan.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH–Hendak ke mana demokrasi kita menuju? Pertanyaan reflektif seperti itu sulit terlintas dan terpikirkan elit politik dan ilmuwan pengamat hari ini karena mengidap problem rabun jauh.
Perkembangan politik mengalami gerak degenerarif karena terperangkap dalam kesadaran palsu bahwa praktik demokrasi (“liberal” nan iliberal) yang berjalan sebagai kemestian yang tak terelakkan. Meminjam Timothy Snyder, “politik ketakterelakkan” (the politics of inevitability) membutakan mata terhadap alternatif lain, yang memunculkan penolakan terhadap ide-ide solutif, mengempiskan diskusi, mencacatkan kebijakan, dan menormalkan ketidakadilan dan kesenjangan.
Di antara eskpresi “politik ketakterelakkan” adalah pernyataan/penerimaan bahwa demokrasi itu memang mahal; melibatkan rakyat secara langsung untuk segala jenis pemilihan di segala jenjang itu lebih baik dan lebih maju; popular vote sebagai satu-satunya modus pemilihan; bentuk pemerintahan itu hanya boleh presidensialisme atau parlementerisme—tak bisa semi parlementer atau semi presidensial.
Politik ketakterelakkan berujung pada “politik kekekalan” (the politics of eternity), dengan terus mempertahankan hal-hal buruk. Masalah yang muncul tidak dicari solusinya, melainkan dielakkan dengan jalan pabrikasi krisis dan manipulasi emosi. Untuk mengalihkan perhatian publik dari ketidakmampuan dan ketidak-sediaan elit politik untuk memperbaiki demokrasi, para “elit kekekalan” meninabobokan rakyat dengan pencitraan atau hasutan permusuhan.
Praktik demokrasi seperti itu takkan mendatangkan kemaslahatan dan keselamatan. Demi transformasi, perlu kita memahami bahwa demokrasi punya prinsip universal, namun memiliki model (penerapan) yang beragam. Untuk bisa tumbuh subur, pilihan pohon demokrasi harus disesuaikan dengan lahan yang ada. Para pendiri bangsa telah mengambil pilihan visioner, dengan mengidealisasikan demokrasi “sistem sendiri”.
Akibat penyalahgunaan kekuasaan dan kekurangpahaman, “sistem sendiri” itu lantas dilucuti tanpa kejernihan pikir untuk memilah mana hal fundamental yang harus dipertahankan, mana hal instrumental yang bisa disesuaikan.
Padahal, demokrasi stabil dan sehat memerlukan derajat kesetiaan pada rumah bersama, dengan menjaga tradisi, institusi dan konsensus baik yang diwarisi dari masa lalu. Itulah sebabnya, mengapa di Amerika Serikat, kendati amandemen konstitusi telah dilakukan berulang kali (27 kali), namun tetap mempertahankan struktur asal konstitusinya.
Itu juga sebabnya, kendati sistem pemilihan presiden berbasis electoral college telah beberapa kali memakan korban calon presiden yang sebenarnya menang secara popular vote, namun AS tetap tak mau mengubah sistem pemilihannya. Mereka sadar, mengubah pemilihan presiden dari electoral college ke popular vote merupakan penyangkalan terhadap tradisi federalisme Amerika Serikat.
Setiap sistem politik ada kelebihan dan kekurangannya, oleh karena itu yang memberi kepastian mengapa kita harus memilih sistem tertentu tidak selalu dapat ditentukan oleh kalkulasi rasional, melainkan oleh loyalitas pada tradisi rumah bersama. [ ]