Di kota ini, saat lampu-lampu temaram, kunang-kunang jiwa mulai pendar. Kegelapan menyalakan kasmaran dan harapan. Saat musim gugur tiba, yang layu rontok jadi pupuk kehidupan, melahirkan yang laju bunga-bunga di musim semi.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH–Jalan panjang Wellington-Auckland bak jalan pancaroba. Udara tipis musim panas beriris bermesraan dengan angin sejuk musim gugur.
Awan panjang berarak mengepung perbukitan padang rumput luas, diselingi pepohonan pinus yang berderai, menghanyutkan ingatan dan impian dalam tarian alam.
Sepoi angin mengabarkan kisah penciptaan, mengajak manusia membaca tanda-tanda alam. Musim datang-hilang silih berganti, kisah memasuki babak baru, tapi pohon sejarah kehidupan tetap berjejak pada akarnya. Bahwa hidup ini pendek, sedang kehidupan itu panjang. Demi penghidupan manusia tak boleh membunuh kehidupan.
Mendekati Rotoroa, manusia seperti memasuki mesin waktu. Kisah masa lalu dan masa depan membayang di air danau masa kini. Bercermin di bening air, bahagia hidup direngkuh tatkala manusia bisa memaafkan masa lalu dan menguasai masa depan dengan memenangkan hari ini.
Barulah manusia bisa bersenda gurau di Hobbiton. Menertawakan keanehan hidup; saat raksasa tak selamanya menang, sedang kurcaci bisa saja jaya. Kemungkinan nasib selalu lebih kaya dari perhitungan di atas kertas. Maka hidup yang tak dipertatuhkan tak dapat dimenangkan.
Sekarang berjalan tegarlah menuju Auckland. Di sanalah pelabuhan idaman kita; tempat masa lalu ditinggalkan, masa depan disongsong. Tak peduli dari mana kita bermula, semuanya dipersatukan impian bahagia.
Di kota ini, saat lampu-lampu temaram, kunang-kunang jiwa mulai pendar. Kegelapan menyalakan kasmaran dan harapan. Saat musim gugur tiba, yang layu rontok jadi pupuk kehidupan, melahirkan yang laju bunga-bunga di musim semi.[ ]
*Auckland, 4 Maret 2017