Solilokui

Kenaikan Upah dan Kemarahan Umar bin Khattab

Umar pernah marah haya gara-gara upahnya hendak dinaikkan. Bagaimana mungkin upah naik di tengah pemimpin dan rakyat sedang berkesusahan?

JERNIH –  Dalam lembar sejarah yang harum oleh jejak para sahabat, ada satu kisah tentang Umar bin Khattab—pemimpin tegas, pemberani, namun hatinya selembut embun.

Suatu ketika, para sahabat mengusulkan agar Umar mendapatkan kenaikan upah sebagai khalifah. Bagi mereka, wajar bila seorang pemimpin besar yang menanggung beratnya urusan umat, yang menjaga negeri-negeri luas dari ujung timur hingga barat, memperoleh imbalan lebih. Umar mengatur keadilan, memastikan perut rakyat kenyang, menuntun umat dalam cahaya Islam—bukankah layak baginya kehidupan yang lebih lapang?

Namun, di hadapan usulan itu, Umar tidak bergembira. Justru wajahnya memerah, dan dengan suara lantang ia menolak. Ia marah, bukan karena hinaan, tetapi karena khawatir dirinya tergelincir dari jalan kebenaran.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kekasih Allah, hanya memiliki dua buah pakaian untuk dipakai bergantian. Beliau tidur beralaskan tikar dari daun kurma hingga membekas di punggungnya. Bagaimana mungkin aku berani hidup lebih mewah dari beliau?” ujarnya.

Kata-kata itu mengguncang hati yang mendengarnya. Semua terdiam. Di hadapan mereka, Umar bukan sekadar seorang khalifah, melainkan sosok teladan yang menjadikan kesederhanaan sebagai benteng harga diri dan kejernihan jiwa. Baginya, kepemimpinan bukan kesempatan menimbun harta, melainkan amanah berat yang kelak dipertanyakan di hadapan Allah.

Umar bin Khattab mengerti bahwa kemewahan hanyalah hijab antara pemimpin dan rakyatnya. Jika pemimpin tidur di atas ranjang empuk, bagaimana ia akan mengerti pedihnya rakyat yang beralaskan tanah? Jika pemimpin makan dari piring emas, bagaimana ia akan merasakan getirnya perut rakyat yang lapar?

Kesederhanaan Umar bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan. Dari kesederhanaan lahir wibawa yang tak tergoyahkan, kasih sayang yang tulus, dan keberanian untuk berkata benar.

Kepemimpinan adalah amanah, bukan jalan mencari keuntungan. Umar mengajarkan bahwa jabatan bukanlah kesempatan memperkaya diri, melainkan beban berat yang harus dipikul dengan hati yang ikhlas.

Kesederhanaan akan melahirkan kewibawaan. Pemimpin yang hidup apa adanya akan lebih mudah dicintai rakyatnya. Ia bukan berada di menara gading, melainkan hadir di tengah umat.

Umar tidak hanya berbicara tentang zuhud, ia menjalani zuhud itu. Penolakannya terhadap kenaikan upah adalah khutbah hidup yang lebih keras dari pidato manapun. Teladannya lebih kuat dari seribu nasihat.

Kebahagiaan sejati bukan pada kemewahan, melainkan kelapangan jiwa. Rasulullah tidur beralaskan tikar, namun beliaulah manusia paling mulia. Artinya, kehormatan manusia tidak terletak pada harta, melainkan pada iman dan akhlaknya.

Kisah Umar bin Khattab adalah pelajaran agung bagi siapa pun yang diberi amanah, besar ataupun kecil. Bahwa kesederhanaan bukanlah kekurangan, melainkan mahkota sejati seorang pemimpin. Bahwa amanah tidak boleh dinodai dengan kerakusan. Dan bahwa teladan jauh lebih berharga daripada seribu janji.

Di zaman ketika kemewahan sering dijadikan ukuran martabat, Umar mengingatkan kita: kehormatan sejati justru lahir dari hati yang sederhana dan jiwa yang takut kepada Allah. (*)

BACA JUGA: Belajar dari Umar bin Khathtab, Tak Pernah Ingin Hidup Mewah

Back to top button