Solilokui

Kepemimpinan Anies Setelah “Kurusetra 2017”

Terhadap PSI sendiri, Anies justru seolah terlihat menikmati aksi yang kerap memojokkannya itu. Serangan bising dari partai kecil yang dilihat publik sebagai pion rezim itu sangat mungkin justru dibiarkannya untuk menambah simpati publik. Mungkin saja, di kepala Anies itu tak lebih dari bising lalat tse-tse di Afrika, yang paling banter pun hanya bikin penyakit tidur. Ia tampaknya pemimpin yang tahu pasti, mana voice rakyat yang harus didengar, mana yang hanya noise pembuat bising.   

Oleh : Darmawan Sepriyossa

JERNIH– Pada 16 Oktober lima tahun lalu, Anies Rasyid Baswedan, setelah dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta, menyampaikan pidato pertamanya. Sebuah pidato langka yang padat dan bernas, yang segera setelah menyampaikan salam aneka rupa kepada pemeluk beragam agama sebagaimana yang menjadi gaya sepuluh tahun ini, ia langsung bicara persatuan, keberagaman, dan keadilan.

Darmawan Sepriyossa

Tidak kurang dari pepatah Batak, Madura, Aceh, Minang, Banjar, Minahasa, ia angkat untuk menegaskan pentingnya persatuan, justru melupakan pepatah Sunda yang menjadi tanah kelahirannya.  Singkat, namun saat itu pun dengan padat dan bernas Anies langsung bicara tentang gagasan besar kebangsaan, tentang cota-cita membangun keadilan: gagasan semua komunitas manusia di dunia yang menjadi alasan mereka mendirikan dan membangun bangsa.

Ada yang tidak saya lupakan pada momen itu: saat berpidato Anies menghadap Medan Merdeka Utara, seolah menatap sebuah bangunan yang tegak berdiri di sana, Istana Negara.

Tepat sekali Anies menjadikan persatuan sebagai tema pokok pidato pertamanya itu.  Tidak ada yang akan menyangkal betapa Jakarta saat itu telah terbelah, dengan kepingan dan luka yang tampaknya masih dirawat sementara orang hingga kini. Bahkan, pada rapat pleno KPUD yang menyatakan kemenangan Anies dengan Sandiaga yang menjadi wakilnya saat itu, pasangan kompetitor Anies-Sandi di Pilkada, Ahok-Djarot, tidak terlihat hadir. Sehari sebelumnya, menurut BBC Indonesia saat itu, Ahok dan Djarot sudah menyatakan tidak akan hadir. “Enggak (datang) lah,” kata Ahok di Taman Menteng, tanpa menjelaskan alasan lebih lanjut, sebagaimana dikutip Kompas.

Berbulan kemudian, pada saat Anies-Sandi dilantik Presiden Jokowi di Istana, Senin (16/10/2017), tak ada satu pun pimpinan partai yang pro-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Syaiful Hidayat terlihat. Yang hadir saat itu hanya Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Presiden PKS Sohibul Iman, Ketua DPR RI Setya Novanto, dan Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang. Namun petinggi dua partai yang dominan mengusung pasangan Ahok-Djarot, PDIP dan Partai NasDem, tak tampak, demikian pula pimpinan Partai Golkar dan Hanura. Itu pula yang dipertanyakan detiknews lewat artikelnya, “Ke Mana Pimpinan Partai Pro Ahok-Djarot Saat Pelantikan Anies-Sandi?”, saat itu.

Meski barangkali agak berlebihan, pemisalan banyak kalangan bahwa Jakarta pada Pilkada 2017 itu laiknya Kurusetra—perang saudara keturunan Kuru, yakni Pandawa dan Kurawa dalam mitologi Mahabharata—, cukup masuk akal. Apalagi setelah putaran kedua, yang membenturkan dua pasangan kontestan, Anies-Sandi dengan Ahok-Djarot. Jakarta, sekali lagi susah dibantah, segera terbelah.

Pendukung kedua pihak sama-sama ngotot, sama-sama terlihat all-out, hingga pada banyak sisi, jelas kebablasan. Lupa, ada tujuan mulia yang jauh melampaui goal kecil kontestasi untuk memilih pemimpin tersebut. Jangan lupa, banyak persahabatan puluhan tahun retak gara-gara Pilkada. Dan ironisnya, itu tak hanya terjadi di Jakarta, melainkan merambah hingga keluar wilayah.

Ada yang berkata itu karena 4,5 bulan masa kampanye yang terlalu lama. Banyak yang bilang, persoalannya terjadi jauh sebelum masa-masa Pilkada. Yang ditunjuk, misalnya, perangai, sikap dan cara komunikasi gubernur saat itu yang kemudian menjadi petahana. Bagi sebagian Muslim Betawi yang tradisional, beleid gubernur saat itu yang melarang tiga hal, yakni pemotongan hewan qurban di sekolah, bertakbir keliling Jakarta saat Hari Raya, dan menggelar kegiatan keagamaan di Monas, adalah diskriminasi pada kaum Muslim Jakarta.

Adapun soal menguatnya isu SARA pada Pilkada tersebut, semua itu wajar dan masuk akal karena Pilkada berlangsung bersamaan dengan menguatnya tuntutan publik agar Ahok diadili pasal penodaan agama gara-gara “keseleo lidah” saat memberikan pernyataan di Kepulauan Seribu.   

Mardani Ali Sera, ketua tim sukses Anies-Sandi mengatakan, tuduhan bahwa pihaknya memakai isu SARA sejatinya sebuah kampanye untuk menyudutkan. “Isu ini tak bisa dilepaskan dari perkembangan umum, ada kriminalisasi terhadap ulama dan ada kondisi di mana isu Al-maidah 51, bukan kita yang mengkriminalisasi ulama. Siapa yang mengangkat Al-Maidah 51? Bukan kami, dan mengapa kami diminta yang menyelesaikan tentang larangan mensalatkan jenazah? Surat Mas Anies tegas bahwa semua kewajiban yang hidup untuk mengurus yang meninggal,” kata Mardani saat itu, panjang lebar.

Parahnya gesekan akibat Pilkada tersebut terbukti dengan tidak sembuhnya luka bersamaan dengan selesainya kontestasi. Jakarta, bahkan Indonesia, barangkali mencatatnya sebagai sejarah: kiriman karangan bunga yang mengiringi lengsernya Ahok tercatat fantastis. Konon, menurut catatan wartawan BBC Indonesia, Oki Budhi, lebih dari 100 karangan bunga membanjiri Balai Kota Jakarta. Kalau penuturan seorang pengantar karangan bunga dijadikan standard, berapa uang yang terkuras untuk itu manakala satu karangan bunga saja harganya antara Rp 500 ribu hingga Rp 3 juta?  

Isi pernyataan dalam karangan pun beragam. “Dari kami yang patah hati, ditinggal saat lagi sayang2nya”, kata satu karangan. Pengirim atas nama Lambe Nyinyir TarQ IPA 01, menulis, “Tahukah Bapak, hati kami masih pilu. Tetap semangat ya pak. We love you!” Partai Solidaritas Indonesia (PSI), partai baru yang mendukung penuh Ahok saat itu, bahkan menyinggung langsung kekalahan di Pilkada itu dalam karangan bunga mereka yang panjangya sekitar 10 meteran. “Satu kekalahan seribu bunga merekah, Terima Kasih Ahok”. PSI setelah itu memang selalu menjadi oposisi bagi kepemimpinan Anies di Jakarta.  

Wajar bila ada yang terperangah kagum. Tak sedikit yang mempersoalkan. Ada yang menyebutnya Kesia-siaan, sebagaimana tulisan Zulman Koto di akun Facebook BBC Indonesia. “Daripada mubazir duitnya buat karangan bunga, mending beliin sembako. Bagiin sembakonya buat rakyat… Jangan pas pilkada doang bagi-bagi sembakonya.” Seorang netizen bernama Khansa Safika menyoroti kesedihan para pendukung Ahok itu. “Kasihan, (mereka) gagal move on,” tulisnya.

Soal gagal move on itu tidak sepenuhnya salah. Sementara pendukung Ahok yang lain kemudian memilih diam dalam mengawal kepemimpinan Anies, ada dua kalangan yang terus mencereweti kepemimpinan Anies. Keduanya adalah para influencer yang lebih dikenal publik sebagai buzzerRp, dan PSI.   Keduanya bergeming pada sikap tersebut, bahkan setelah Ahok mengimbau pendukungnya untuk legowo.  

“Ke depan, kami ingin, semua lupakan semua (saling serang) kampanye selama Pilkada. Jakarta adalah rumah kita bersama,”kata Ahok. “Kami mengerti, para pendukung tentu kecewa. Tetapi tak perlu terlalu dipikirkan.”

Hingga menjelang selesainya periode kepemimpinan Anies, para buzzerRp dan PSI senantiasa berdengung nyaring. Misalnya, beberapa waktu lalu buzzer bernama Denny Siregar mencuit pedas, menyebut Anies sebagai bapak politik identitas. Pernyataan itu dibalas setara oleh aktivis Kolaborasi Warga Jakarta, Andi Sinulingga, yang tampaknya merupakan pendukung Anies. “Bapak politik identitas itu bukan Anies, Mas, tapi Ahok,”jawab Andi melalui akun Twitter-nya, Ahad, 19 Juni lalu. Menurut Andi hal itu bisa dilihat dari rekam jejak Ahok. Bisa juga dibandingkan narasi yang muncul dari setiap ucapan Ahok dengan Anies saat Pilkada. “Periksa juga bagaimana Anda/ahoker yang terus menerus mempolitisasi mayat, tapi liciknya Anda, malah tuduhkan ke orang lain,” ia menambahkan. Denny Siregar adalah  buzzer yang sebelumnya pernah mencuit bahwa Jakarta akan menjadi layaknya Syiria bila dipimpin Anies.

Terhadap PSI sendiri, Anies justru seolah terlihat menikmati aksi yang kerap memojokkannya itu. Serangan bising dari partai kecil yang dilihat publik sebagai pion rezim itu sangat mungkin justru dibiarkannya untuk menambah simpati publik. Mungkin saja, di kepala Anies itu tak lebih dari bising lalat tse-tse di Afrika, yang paling banter pun hanya bikin penyakit tidur. Ia tampaknya pemimpin yang tahu pasti, mana voice rakyat yang harus didengar, mana yang hanya noise pembuat bising.   

Besok, Anies akan meninggalkan Balai Kota. Tentu saja, banyak legasi besar ia berikan untuk warga Jakarta. Satu saja, dialah gubernur yang mampu mewujudkan impian Gubernur Jakarta, Fauzi Bowo, 15 tahun lalu: membangun stadion internasional, setelah Jokowi dan Ahok tak mampu mewujudkannya.

Kini, Jakarta International Stadium (JIS) telah terwujud sebagai stadion sepak bola kelas dunia pertama kali di Indonesia. JIS meraih tiga rekor Muri, yakni lifting struktur atap stadion dengan bobot terberat, stadion pertama yang menggunakan sistem atap buka-tutup, stadion ‘green building’ dengan sertifikasi platinum pertama di Indonesia.Dengan kapasitas 82 ribu penonton, JIS menggunakan rumput hybrid turf berdasatkan standard FIFA.

Tanpa berniat membuka luka lama, seharusnya warga Jakarta melihat ke depan. Melihat ke belakang hanya untuk berkaca dari hal-hal yang seharusnya tak membuat mereka terpantik amarah, hanya gara-gara lontaran sejenis fitnah.   

Benar kataAndi Sinulingga dalam Twitter-nya, tak seharusnya warga Jakarta terhasut oleh mereka yang rajin untuk terus memupuk kemarahan anak-anak muda agar mendendam. Lihat saja fakta yang terpampang di depan mata.

“Coba lihat wajah Jakarta hari ini, tak tampak kayak suriah seperti yang selalu dinarasikan kalau Anies menang, Jakarta akan seperti Suriah. Justru sebaliknya Jakarta damai dan harmoni. Adil. Coba dengar bagaimana pendapat mereka yang non Muslim, apakah terdiskriminasikan oleh Anies?” [ ]

Darmawan Sepriyossa

Back to top button