Solilokui

Kesaksian Seorang Penderita Covid-19, Bagian 3

Aku kumpulkan ada tiga yang begini. Cuci lah, pakai sabun mandi. Kudu hati-hati supaya jarum infus tetap pada tempatnya. Jadi maklumi saja kalau tidak bersih-bersih amat. Yang penting bau keringat bablas.

Tulisan di bawah ini adalah kesaksian, Nina Susilowati, yang tengah dirawat di rumah sakit rujukan karena terpapar Covid. Karena panjang, kami bagi menjadi tiga tulisan. Semoga menjadi pelajaran bagi kita untuk semakin mawas diri, dan membuka hati bagi orang lain agar kita bisa melewati pandemi ini.–

Episode 8

Ngomah

Kalian tahu ngomah? Itu, kondisi di mana kita sudah nyaman di satu tempat. Feel like home. Itulah ngomah.

Di ruang isolasi setelah beberapa hari, akhirnya aku juga membiasakan diri.  Bisa bayangkan kan ruang isolasi? Ruang tertutup, dikunci bahkan. Pada kasus Corona ini, masuknya suster dan tenaga medis lainnya terjadwal. Di sini adalah jam 05.00 – 11.00 – 17.00 dan 23.00 WIB. Empat kali sehari, untuk supply makanan, obat, ukur tensi dan suhu tubuh. Selebihnya mereka tidak bisa masuk sembarangan karena keterbatas APD (Alat Pelindung Diri). Bahkan misalnya pasien yang sudah menggunakan Pampers dan BAB pun, baru akan mendapatkan bantuan pada jam yang sudah ditentukan.

Pada saat masuk, sesak nafasku parah. Dua hari aku diventolin, dan menggunakan selang oksigen sepanjang waktu. Masih boleh turun dari tempat tidur untuk ke kamar mandi. Tentu sambil nyangking botol infus karena jarumnya sudah tertanam di nadi tangan.

Hari pertama tidak mudah. Kalau aku bergerak terlalu cepat, nafas langsung ngos-ngosan. Ngunyah makanan terlalu bersemangat, juga langsung engap. Padahal aku ini orangnya sak-sek, trengginas, serba cepat, dan mau semua selesai dalam waktu singkat. Eh sekarang kudu serba lambat. Menyiksa banget. Mosok aku disuruh jadi kungkang alias sloth, yang bergerak sangaaaat lamban. Tapi itulah yang terjadi.

Hari ketiga, nafas mulai mulai ada perubahan. Ventolin masih diberikan pagi hari, tapi selang oksigen sudah tidak kupakai seharian. Sesak nafas tak lagi memburu, hanya sesekali saja datang dan langsung kuraih oksigen. Kupakai sebentaran saja. Setelah nafas membaik, kulepas lagi.

Selebihnya aku jadi punya waktu untuk eksplorasi sekitarku. Berkenalan lebih intens dengan dua orang pasien lain, sebut saja Ria dan Lydia. Tentang mereka, nanti aku tulis di bagian lain.

Aku juga sudah bisa ganti baju sendiri. Ini bukan persoalan mudah karena keterikatanku dengan infus. Kantong infus harus masuk duluan di lengan baju. Misal infus di tangan kanan, ya dia harus masuk dulu dari dalam bagian baju, keluar di lengan kanan, baru tangan kita mengikuti. Pernah lho, aku masukin kantong infus itu ke lengan kanan, lupa kalau infus sudah dipindah ke sebelah kiri..! Asli ngakak sendiri.

Hari keempat, sudah tak tahan rasanya untuk segera mandi. Tapi lagi, mikir panjang karena tangan ‘terikat’ infus. Hm, boleh basah tidak ya? Karena mau tidak mau, jarum yang nempel di tangan pasti basah kena air. Tapi saking badan sudah tidak nyaman empat hari nggak mandi, nekat lah aku. Mandi. Basah-basahlah.

Aku keramas tiga kali, sabunan tiga kali. Biarin, karena aku tahu bakalan repot banget kalau setiap hari mandi. Lagian, ruangan berAC kan, aku tidak berkeringat terlalu banyak, jadi mandi dua hari sekali rasanya cukup. Juga irit ganti baju. Aku hitung anakku hanya mengirim 8 baju ganti, tepatnya daster, sesuai permintaanku. 

Seiring waktu, menipis juga baju ganti. Jadi mikir, bagaimana caranya ya? Bisa sih minta anakku kirim baju bersih dan membawa pulang baju kotor. Tapi kan kasihan, jarak ke rumah sakit lumayan. Belum lagi aku dengar dia juga sedang flu. Mana baju kotor nanti harus dicuci dengan treatment khusus.

Akhirnya aku putuskan untuk mencuci baju dan celana dalamku sendiri. Tidak semua baju kotorlah. Aku pilihin baju yang ringan, biar nanti mudah kering. Aku kumpulkan ada tiga yang begini. Cuci lah, pakai sabun mandi. Kudu hati-hati supaya jarum infus tetap pada tempatnya. Jadi maklumi saja kalau tidak bersih-bersih amat. Yang penting bau keringat bablas.

Cucian aku gantung di tempat handuk, yang tersedia di kamar mandi. Nunggu hingga tetesnya habis. Setelah itu baru baju aku angin-anginkan di gantungan infus. Habis mau jemur kan nggak bisa tho.

Kalau aku perhatikan kok kayak pedagang pasar Tanah Abang ya. Baju digantung-gantung. Untung di sini kagak ada yang beli… *nyengir..*

Begitu deh. Kita ini diberi kemampuan beradaptasi. Kelangsungan hidup dipengaruhi oleh seberapa struggle kita mengelola kesulitan dan rintangan. Jadi, apapun hambatan di depan, sebaiknya segera dicari solusi. Gunakan energi untuk menyelesaikan masalah, bukan mencarinya.

Jadi, aku mulai ngomah. Dan itu memberikan kontribusi ketenangan batinku. Feel like home. Dan kita bisa lebih pasrah menerima keterbatasan yang ada.

Selamat pagi teman. Semoga hidupmu dimudahkan Gusti Allah. [  ]

Check Also
Close
Back to top button