PTN juga terdorong untuk menjadi lebih komersial. Mereka menetapkan biaya jalur mandiri yang sangat besar, senilai ratusan juta rupiah untuk satu kursi, baik melalui jalur mandiri nasional maupun jalur internasional. Kebijakan ini mendegradasi makna pendidikan tinggi negeri sebagai cara untuk memperbaiki nasib rakyat dengan pendidikan dan memperbesar peluang meningkatkan perekonomian keluarga.
Oleh : Rahmat Mulyana*
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) mengamanatkan alokasi minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk sektor pendidikan. Namun, praktik di lapangan menunjukkan adanya masalah dalam distribusi dan penggunaan dana pendidikan.
Amanat UUD 45 untuk mengalokasikan minimal 20 persen dari APBN ini bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh rakyat Indonesia mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas, yang pada akhirnya akan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (HDI). HDI adalah ukuran yang digunakan untuk menilai pencapaian suatu negara dalam tiga dimensi utama: kesehatan, pendidikan, dan standar hidup.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa distribusi dan penggunaan dana pendidikan sering kali tidak optimal. Sebagian besar anggaran pendidikan dialokasikan untuk program-program yang tidak berkaitan langsung dengan peningkatan kualitas pendidikan. Misalnya, alokasi dana desa dalam anggaran pendidikan yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan fasilitas dan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah justru dialokasikan untuk kebutuhan lain melalui mekanisme dana desa.
Masalah penyalahgunaan dana pendidikan tidak hanya disebabkan oleh kurangnya wawasan kepemimpinan di eksekutif, tetapi juga oleh legislatif yang tidak memberikan kontrol yang memadai. Peran partai politik dalam menentukan kebijakan anggaran juga sangat berpengaruh. Misalnya, Muhammad Nuh, mantan menteri pendidikan nasional, mengkritik praktik ini dalam sebuah Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR RI. Dari total anggaran pendidikan sebesar Rp 665 triliun, sekitar Rp 346 triliun dialokasikan untuk Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Nuh mempertanyakan, sejak kapan dana desa dimasukkan ke dalam anggaran pendidikan dan apa isinya, serta menekankan perlunya penjelasan tentang peran aparatur desa dalam pendidikan yang menjustifikasi alokasi ini. Kritik ini menunjukkan kekhawatiran tentang potensi ketidakefisienan dalam penggunaan dana pendidikan.
Akibat langsung dari tantangan dalam pengelolaan dana pendidikan ini sangat terasa di pendidikan tinggi. Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang seharusnya mendapatkan alokasi dana yang cukup dari APBN, kini harus mencari sumber pendanaan lain untuk menutupi kekurangan. Salah satu cara yang diambil oleh PTN adalah dengan menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Kenaikan UKT ini dilakukan karena PTN kekurangan dana operasional yang seharusnya disediakan oleh pemerintah.
Mekanisme penentuan UKT di PTN menjadi sangat rumit dan memberatkan bagi mahasiswa dan orang tua. Mahasiswa dan orang tua diharuskan mengumpulkan berbagai dokumen untuk membuktikan kondisi ekonomi mereka. Proses ini sering kali tidak transparan dan terkesan mempersulit mahasiswa untuk mendapatkan keringanan UKT. Ada kesan bahwa PTN sengaja mempersulit proses ini agar mahasiswa memilih opsi UKT tertinggi.
Di beberapa PTN, mahasiswa yang mengajukan keringanan UKT harus menyertakan berbagai dokumen seperti slip gaji, BPJS, tagihan listrik, air, foto rumah, PBB, STNK mobil, SPT pajak, print rekening tabungan tiga bulan terakhir, dan tagihan internet. Semua dokumen ini digunakan untuk menentukan apakah mahasiswa layak mendapatkan keringanan UKT, namun sering kali hasilnya tidak sesuai dengan harapan.
Selain itu, PTN juga terdorong untuk menjadi lebih komersial. Mereka menetapkan biaya jalur mandiri yang sangat besar, senilai ratusan juta rupiah untuk satu kursi, baik melalui jalur mandiri nasional maupun jalur internasional. Kebijakan ini mendegradasi makna pendidikan tinggi negeri sebagai cara untuk memperbaiki nasib rakyat dengan pendidikan dan memperbesar peluang meningkatkan perekonomian keluarga. Mahasiswa dari keluarga kurang mampu harus berjuang lebih keras untuk bisa tetap berkuliah, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi prestasi akademik mereka.
Dampak psikologis dan sosial dari kebijakan UKT yang kontroversial ini sangat signifikan. Mahasiswa merasa tertekan dan cemas karena kesulitan membayar UKT yang tinggi. Banyak mahasiswa yang akhirnya harus mengambil pinjaman online (pinjol) untuk menutupi biaya kuliah, yang kemudian membebani mereka dengan utang yang harus dibayar setelah lulus. Orang tua juga merasa terbebani dengan biaya pendidikan yang semakin tinggi, terutama jika mereka memiliki lebih dari satu anak yang kuliah. Kebijakan ini juga memperburuk kesenjangan sosial karena hanya mahasiswa dari keluarga mampu yang dapat mengakses pendidikan tinggi dengan mudah.
Kurangnya wawasan kepemimpinan dalam memahami hakikat dan tujuan pendidikan menjadi akar masalah dari tantangan pengelolaan dana pendidikan ini. Pemimpin yang tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya pendidikan cenderung mengutamakan kepentingan politik di atas kepentingan pendidikan.
Hal ini diperparah dengan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pendidikan, yang membuka peluang untuk ketidakefisienan penggunaan dana. Legislatif juga memainkan peran penting dalam pengelolaan dana pendidikan. Sebagai pengawas eksekutif, legislatif harus memastikan bahwa anggaran pendidikan digunakan secara efisien dan tepat sasaran. Namun, dalam praktiknya, kontrol legislatif terhadap eksekutif sering kali lemah. Partai politik yang mendominasi legislatif sering kali memiliki agenda politik sendiri yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan pendidikan. Hal ini mengakibatkan kurangnya pengawasan yang memadai terhadap penggunaan dana pendidikan, yang pada akhirnya merugikan mahasiswa dan orang tua.
Untuk mengatasi masalah ini, sangat penting bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang memiliki wawasan luas tentang pendidikan dan integritas tinggi. Pemimpin yang memahami pentingnya pendidikan akan memastikan bahwa alokasi anggaran pendidikan digunakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik.
Selain itu, perlu adanya peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pendidikan. Pengawasan yang ketat harus dilakukan untuk memastikan bahwa dana pendidikan benar-benar digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Masyarakat dan media juga memiliki peran penting dalam mengawasi penggunaan anggaran pendidikan dan mengungkap praktik-praktik ketidakefisienan. Keterlibatan aktif mahasiswa dan orang tua dalam advokasi pendidikan yang lebih baik juga sangat diperlukan. Mereka harus berani menyuarakan ketidakadilan yang terjadi dan menuntut transparansi dalam penentuan UKT serta penggunaan dana pendidikan.
Tantangan dalam pengelolaan dana pendidikan telah berdampak negatif pada pendidikan tinggi di Indonesia. Masalah ini menyebabkan kenaikan UKT yang memberatkan mahasiswa dan orang tua, serta mendorong PTN menjadi lebih komersial. Untuk masa depan yang lebih baik, sangat penting bagi kita untuk memilih pemimpin yang berkualitas dan memahami hakikat pendidikan.
Hanya dengan pemimpin yang berintegritas tinggi, kita dapat memastikan bahwa alokasi anggaran pendidikan digunakan dengan benar dan pendidikan tinggi di Indonesia dapat berkembang dengan lebih baik dan adil. Memilih pemimpin yang berkualitas bukan hanya sebuah pilihan, tetapi sebuah keharusan untuk memastikan masa depan pendidikan yang cerah bagi generasi mendatang. Mari kita bersama-sama mengawasi dan mengadvokasi penggunaan dana pendidikan yang transparan dan akuntabel demi kemajuan bangsa. [ ]