Solilokui

Konflik Sudan Kisah Berdarah antara RSF dan SAF

Konflik antara SAF dan RSF adalah tragedi dari sejarah panjang militerisme Sudan. Di satu sisi, SAF mewakili struktur negara formal yang ingin mempertahankan kesatuan; di sisi lain, RSF mewakili kekuatan baru yang lahir dari marjinalisasi dan ambisi pribadi. Keduanya kini saling mematikan.

JERNIH – Fajar menyingsing di Khartoum pada 15 April 2023, namun bukan suasana pagi yang indah menyelimuti ibukota Sudan tersebut. Dentuman artileri menggema di atas langit ibukota Sudan. Asap hitam membumbung dari bandara dan gedung-gedung pemerintah, sementara penduduk sipil berlarian mencari perlindungan. Dua kekuatan yang seharusnya menjaga negeri justru berbalik saling menembak: Sudanese Armed Forces (SAF) melawan Rapid Support Forces (RSF).

Pertempuran itu bukan untuk merebut wilayah. Melainkan puncak dari konflik laten antara dua figur militer paling berkuasa di Sudan: Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, pemimpin SAF, dan Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti), panglima RSF.

Siapa sebenarnya SAF dan RSF ini?

SAF: Tentara Negara yang Berusia Hampir Satu Abad

Akar Sudanese Armed Forces (SAF) menembus jauh ke masa kolonial. Pada tahun 1925, Inggris dan Mesir membentuk Sudan Defence Force (SDF) sebagai pasukan lokal bantu kolonial. Saat Sudan meraih kemerdekaan pada 1 Januari 1956, pasukan itu bertransformasi menjadi angkatan bersenjata nasional Sudan — SAF.

Selama hampir tujuh dekade, SAF bukan hanya institusi militer, tapi juga pilar politik negeri. Kudeta demi kudeta mewarnai perjalanan Sudan: dari pemerintahan sipil ke militer, lalu kembali lagi, dengan SAF selalu menjadi aktor utama di balik layar.

Dengan kekuatan sekitar 300.000 personel aktif, tiga matra (darat, laut, udara), serta jaringan ekonomi dan politik luas, SAF adalah simbol otoritas dan stabilitas negara — sekaligus penjaga tradisional tatanan lama yang hierarkis. Selain itu SAF memiliki unit khusus seperti Pasukan Pertahanan Udara dan Intelijen Militer. Pendek kata Sudanese Armed Forces (SAF), tentara negara yang menjadi tulang punggung Sudan sejak kemerdekaan.

SAF menguasai pangkalan udara strategis, artileri berat, tank, dan armada udara termasuk jet tempur MiG dan Sukhoi. Kekuatan udaranya menjadi keunggulan utama dalam konflik melawan RSF, terutama di medan terbuka.

Selain itu, SAF mengontrol industri militer negara melalui Military Industry Corporation (MIC), yang memproduksi amunisi, senjata ringan, kendaraan lapis baja, dan perlengkapan tempur. Ini memberi mereka kemandirian logistik dan pengaruh ekonomi besar.

SAF telah lama menjadi aktor ekonomi. Melalui jaringan perusahaan militer dan kontrol atas sektor-sektor strategis (seperti konstruksi, impor senjata, dan pertanian besar), SAF memiliki kepentingan ekonomi yang meluas hingga ke dunia bisnis sipil.

Hal ini menjadikan mereka bukan sekadar kekuatan militer, melainkan kelas penguasa tersendiri — dengan loyalitas politik yang terikat pada kepentingan korporatif dan elite lama.

Di arena internasional, SAF mendapat dukungan diplomatik lebih luas dibanding RSF. Negara-negara seperti Mesir, Arab Saudi, dan sebagian aktor Barat melihat SAF sebagai institusi “resmi” yang bisa menjaga stabilitas regional dan menahan pengaruh milisi tak terkendali.

RSF: Bayangan dari Darfur yang Menjadi Raksasa Paramiliter

Di sisi lain, berdirilah Rapid Support Forces (RSF) — sebuah kekuatan yang lahir dari abu konflik di wilayah Darfur. Akar RSF berasal dari milisi Janjaweed, kelompok bersenjata etnis Arab yang digunakan rezim Omar al-Bashir pada awal 2000-an untuk menumpas pemberontakan di Darfur.

Pada tahun 2013, pemerintah secara resmi membentuk RSF sebagai bagian dari aparat keamanan, dengan tugas “menjaga stabilitas dan melawan terorisme.” Namun di lapangan, RSF bertindak seperti kekuatan otonom. Pemimpinnya, Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti) — mantan penggembala unta dari suku Rizeigat — mengubah pasukan gurun ini menjadi kekuatan militer modern dengan ribuan personel, senjata berat, dan jaringan bisnis besar, terutama dari tambang emas di Darfur.

Pada 2017, parlemen Sudan mengesahkan Rapid Support Forces Law, menjadikan RSF sebagai entitas paramiliter resmi yang berada “di bawah presiden”, bukan di bawah SAF. Keputusan ini diam-diam menempatkan RSF sejajar, bahkan menjadi rival alami, bagi militer nasional.

Jumlah personel RSF diperkirakan antara 70.000–100.000 anggota aktif, dengan ribuan lainnya direkrut dari milisi lokal di Darfur dan Chad.

RSF dilengkapi kendaraan tempur ringan, artileri bergerak, dan sistem pertahanan antipesawat portabel. Mereka unggul dalam mobilitas tinggi dan taktik gerilya perkotaan.

RSF menguasai tambang emas Jebel Amer di Darfur, yang hasilnya mereka kelola melalui jaringan bisnis pribadi dan ekspor ke luar negeri (terutama ke Uni Emirat Arab).

Dengan kekayaan besar dari emas dan perdagangan lintas batas, RSF membangun imperium ekonomi independen, termasuk perusahaan transportasi, impor senjata, dan bahkan logistik bantuan kemanusiaan.

Ini memberi Hemedti kemampuan untuk membayar gaji pasukannya secara mandiri, membeli senjata di pasar gelap, dan memelihara loyalitas politik melalui patronase — sesuatu yang jarang dimiliki kelompok paramiliter di Afrika.

Sebelum perang, Hemedti memosisikan dirinya sebagai figur nasionalis modern. Ia menonjol dalam diplomasi, menjadi wakil dalam Dewan Kedaulatan pasca-revolusi 2019, dan bahkan membangun hubungan dengan Uni Emirat Arab, Rusia (melalui Wagner Group), dan Chad.

RSF juga dikirim untuk misi militer di Yaman bersama koalisi pimpinan Saudi, yang memperkuat pengalamannya dan menambah kasnya dengan dana besar dari Teluk.

Melalui koneksi ini, RSF bertransformasi dari milisi lokal menjadi aktor transnasional yang memainkan politik regional Afrika Timur dan Teluk Arab.

Dari Sekutu Menjadi Musuh

Ironisnya, SAF dan RSF pernah berada di pihak yang sama. Pada April 2019, setelah berbulan-bulan protes rakyat terhadap rezim diktator Omar al-Bashir, kedua pasukan itu bersatu menggulingkan Bashir. Dunia internasional sempat melihat Sudan sebagai harapan baru demokrasi Afrika. Namun euforia itu tak berlangsung lama.

Di balik panggung transisi, al-Burhan dan Hemedti mulai bersaing. Siapa yang memimpin? Siapa yang mengontrol kekuatan bersenjata negara? Upaya untuk mengintegrasikan RSF ke dalam SAF, sebagaimana disyaratkan dalam perjanjian transisi sipil, menjadi percikan utama. RSF menolak tunduk di bawah komando SAF, sementara SAF menilai RSF sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara.

Ketegangan itu meledak pada 15 April 2023, ketika bentrokan pecah di Khartoum. SAF menyatakan RSF sebagai “kelompok pemberontak”, dan RSF membalas dengan mengklaim penguasaan atas instalasi strategis. Dalam hitungan minggu, pertempuran menjalar ke Darfur, Kordofan, dan wilayah timur.

Sejak 2023, perang SAF–RSF telah menghancurkan sendi kehidupan Sudan. Menurut laporan PBB dan ACLED, ribuan orang tewas, lebih dari 10 juta penduduk mengungsi, dan sebagian besar wilayah perkotaan berubah menjadi puing.

RSF sempat menguasai empat dari lima negara bagian Darfur, memanfaatkan dukungan suku-suku lokal dan jalur pasokan melalui Sudan Selatan. Di sisi lain, SAF mempertahankan kekuatan udara dan legitimasi internasional, serta melakukan serangan balik besar pada akhir 2024 dan 2025.

Pada awal 2025, RSF bahkan mengumumkan “pemerintah paralel” di wilayah yang dikuasainya, mencoba menantang otoritas Khartoum. Namun langkah itu memperdalam fragmentasi nasional dan menimbulkan kekhawatiran Sudan akan pecah menjadi dua entitas bersenjata.(*)

BACA JUGA: Sudan di Tengah Badai Perang Saudara di Jantung Afrika

Back to top button