Veritas

Konflik Sudan: Ketika Mantan Pedagang Unta Punya Tentara dan Melawan Pemerintah

  • RSF menguasai nyaris seluruh tambang emas di Sudan, yang membuat mereka mampu mendatangkan tentara bayaran.
  • Jika RSF menang, pemerintah Sudan akan menjadi divisi perusahaan transnasional yang mengurus birokrat dan rakyat, bukan kekayaan negara.

JERNIH — Tidak ada yang terkejut ketika dua faksi yang bertikai di Sudan sepakat tidak menandatangani gencatan senjata dan melanjutkan pertempuran. Konflik bersenjata di Sudan tidak sekedar tentang dua faksi yang bertikai, tapi lebih dari itu.

Mengutip sejumlah ahli, Daily Nation menulis Sudan telah lama mengirim tentara bayaran ke luar negeri. Kini, Sudan adalah medan tempur tentara bayaran dari berbagai negara dan pendukung militer bayangan yang terpikat emas dan uang.

“Pencari keberuntungan bersenjata dari wilayah Sahel Afrika; Mali Chad, dan Niger, membanjiri zona tempur Sudan,” kata perwakilan khusus PBB Volker Perthes. “Jumlah mereka tidak sedikit.”

Panglima Sudah Abdel Fattah al-Burhan menuduh Rapid Support Forces (RSF) merekrut tentara bayaran dari Chad, Republik Afrika Tengah, dan Niger. Identifikasinya sederhana, yaitu mereka menggunakan Bahasa Prancis.

Tentara Sudan mengklaim membunuh satu sniper asing yang dibayar RSF. Saksi di Khartoum mengatakan sniper itu kemungkinan berasal dari Chad.

Jenderal Burhan vs Pedagang Unta

Selama sebulan terakhir Sudan menyaksikan pertempuran mematikan di jalan-jalan Khartoum. Tentara pemimpin de facto Abdel Fattah-Burhan dan RSF yang dipimpin Mohamed Hamdan Daglo, dikenal sebagai Hemeti, tidak bisa saling mengungguli.

Hamdan Daglo adalah mantan wakil Al Burhan. Ia juga mantan pedagang unta yang berubah jadi tentara. Sejak 2003 ia memimpin milisi Janjaweed yang terkenal kejam; menjarah desa-desa di wilayah Darfur, dan menghadapi tuduhan melakukan kebrutalan perang yang meluas.

Ketika konflik Yaman meletus, Hamdan Daglo melihat peluang bisnis penyewaan senjata dan penyedia amunisi. Ia melayani Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dengan memasok senjata ke pemerintah Yaman yang sibuk melawan pemberontak Houthi dukungan Iran.

Hamdan Daglo memperluas bisnis perang-nya ke Libya, dengan mendukung dua kubu yang bertikai. Siapa pun yang menang di Libya, yang untung adalah Hamdan Daglo.

Washington dan Brussels menuduh RSF memiliki hubungan dengan Wagner Group, tentara bayaran Rusia pimpinan Yevgeny Prigozhin, dan menumpahkan darah di sejumlah negara Afrika.

Prigozhin membantah tuduhan itu dengan mengatakan; “Dua tahun terakhir tidak ada personel Wagner Group yang hadir di Sudan.”

Cameron Hudson, dari Pusat Kajian Strategis dan Internasional, mengatakan Wagner Group tidak berperang di Sudan tapi menempatkan penasehat teknis.

Pertanyaannya, dari mana penghasilan Hamdan Daglo untuk membayar tentara asing?

Yang pasti bukan dari penjualan unta, kontrak penyewaan senjata dan penyediaan amunisi ke Yaman, atau bayaran dari Jenderal Khalifa Haftar di sebelah timur Libya. Penghasilan utama Hamdan Daglo adalah pertambangan emas.

Keluarga Hamdan Daglo menguasai tambang emas di Darfur, dan di sejumlah tempat di Sudan, dan menjadi penghasil logam mulia terbesar ketiga di Afrika. Wagner Group tergiur dengan kilau cahaya kuning yang ditawarkan.

“Hamdan Daglo membayar tentara bayaran dengan emas,” kata Andreas Krieg, profesor studi keamanan di King’s College London.

Menurut Departemen Keuangan AS, Prigozhin tidak sekedar dibayar emas tapi mendapatkan salah satu tambang emas di Sudan. Personel Wagner Group tidak datang ke Sudan untuk sekedar bertempur, tapi juga mengeruk emas.

Bisnis Evakuasi

Sudan adalah negara yang dihuni belasan suku Arab. Beberapa di antaranya adalah Ababda, Artega, Awadia, Awlad, Himayd, Batahin, Bedaria, Beni, Halba, Dubasiyin, Fadnia, Fezara, Gawamaa, Gimma Habbaniya, dan Hasania.

Lainnya adalah Hasania, Hawazma, Humr, Husseinat, Ja’alin, Kababish, Kawahla, Maalia, Mahamiyah, Manasir, Messiria, Rashaida, Rizeigat, Rubatab, Rufa’a, Selim, Shaigiya, Shukria, dan Ta’isha.

Dari belasan suku itu, Rizeigat diketahui yang paling luas penyebarannya, sampai ke luar wilayah Sudan. Arab Rizeigat terdapat di Chad dan Sudan. Hamdan Daglo berasal dari Arab Rizeigat.

Tidak sulit bagi Hamdan Daglo memperkuat milisi RSF dengan merekrut Arab Reizegat dari Chad dan Niger. Caranya, menawarkan kewarganegaraan dan tanah terlantar yang ditinggalkan suku-suku non Arab.

Dalam kampanye media sosial baru-baru ini, RSF menerbitkan video pejuang Chad dan Niger menyuarakan dukungan untuk Hamdan Daglo.

Krieg mengatakan kawasan di bawah kendali Haftar kemungkinan menjadi pusat dan simpul pengiriman senjata ke RSF. Senjata-senjata itu semulai dibeli Uni Emirat Arab (UEA).

Alex de Waal, pakar Sudan, mengatakan uang dan tentara bayaran adalah mata uang yang dapat dipertukarkan di pasar politik Sudan. Hamdan Daglo memperdagangkan keduanya.

“RSF saat ini adalah perusahaan tentara bayaran transnasional,” tulis de Waal dalam analisisnya baru-baru ini. “RSF adalah penegakan kerajaan komersial Hemeti yang terus berkembang.”

Jika RSF menang, menuru de Waal, negara Sudan akan menjadi anak perusahaan dari usaha transnasional. Dalam bahasa bisnis, RSF akan menjadi holding company, dan pemerintah Sudan — siapa pun yang kelak memimpin — adalah divisi yang mengurus rakyat.

Di tengah kepanikan warga asing keluar dari Sudan, tentara bayaran melihat peluang bisnis bernilai jutaan dolar AS, yaitu jasa melarikan diri dari zona perang. Sebuah perusahaan swasta butik kecil, terdiri dari pensiunan operator pasukan khusus Inggris, mengenakan tarif 20 ribu sampai 50 ribu dolar AS, atau Rp 295 juta sampai Rp 737 juta, kepada mereka yang tertinggal evakuasi massal.

Sudan adalah ironi. Seperempat abad lalu, Sudan adalah negara terbesar di Afrika dengan kekayaan tambang luar biasa. Setelah Sudan Selatan memisahkan diri, Sudan terkoyak konflik penguasaan kekayaan alam yang melibatkan suku-suku Arab.

Back to top button