Solilokui

Kontroversi Wayang dan Fatwa Ulama

Keragaman pendapat di kalangan Islam, khususnya komunitas Sunni, ada aspek positifnya: tidak ada monopoli kebenaran oleh elit agama. Tapi, aspek negatifnya: orang dibuat sibuk berdebat soal fiqh (halal/haram) tanpa benar-benar memahami akarnya.

Oleh  : Farid Gaban*

JERNIH– Belakangan ini orang ribut mendiskusikan fatwa haram Ustadz Khalid Basalamah tentang wayang.

Ini bukan kasus pertama. Tempo hari orang juga meributkan fatwa ulama tertentu tentang sesuatu: tentang musik, tentang bunga bank, tentang pakaian, dan tentang hal-hal lainnya.

Farid Gaban

Keragaman fatwa ulama Islam, khususnya di lingkungan Sunni seperti Indonesia, adalah suatu yang jamak.

Di lingkungan Syiah agak berbeda. Di Iran, misalnya, jarang sekali ada perdebatan tentang fiqh (aturan agama) di kalangan awam. Kaum Syiah mengikut marja (ulama rujukan). Marja bisa berbeda-beda, tapi perdebatan berhenti di kalangan mereka yang benar-benar mendalami jurisprudensi agama (filsafat, sejarah dan konteks kehidupan masa kini).

Bagaimanapun, baik di lingkungan Sunni maupun Syiah, fatwa ulama hanya berlaku bagi yang mempercayai ulama bersangkutan. Fatwa halal dan haramnya sesuatu hanya berlaku bagi komunitas yang mempercayainya. Tidak berlaku untuk orang lain di luar komunitas itu.

Organisasi Islam terbesar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebenarnya punya lembaga fatwa sendiri-sendiri, yang dalam hal tertentu berbeda satu sama lain.

Muhammadiyah punya majelis tarjih (majelis fatwa) yang mengharamkan rokok, misalnya. Sementara NU punya batsul masail yang menetapkan rokok sebagai makruh (diperbolehkan tapi tidak disarankan).

NU dan Muhammadiyah juga sering berbeda dalam menetapkan hari raya karena memakai dua metode/pendekatan berbeda. Bahkan di kalangan NU sendiri, satu dan lain ulama pondok pesantren bisa punya pendapat berbeda tentang sesuatu, baik ibadah ritual maupun ibadah sosial.

Keragaman pendapat ulama di lingkungan Islam Sunni adalah jamak. Di atas tadi, kita belum memperhitungkan perbedaan mazhab (ada empat mazhab besar) dan keragaman ormas/komunitas termasuk komunitas-komunitas tarekat (sufisme) yang jumlahnya ratusan.

Di lingkungan Syiah, keragaman pendapat ulama sedikit lebih terkendali karena hirarki keulamaan yang ketat. Seorang hojatulislam atau ayatullah tidak sembarangan omong. Mereka dituntut menulis risalah yang mendekati risalah ilmiah dalam dunia akademis. Struktur komunitas Syiah lebih mirip ke Gereja Katolik.

Struktur Sunni lebih longgar dan egaliter, lebih mirip Protestan. Ada terlalu banyak orang yang bisa mengaku ulama dan mengeluarkan fatwa. Di lingkungan Sunni ini, situasi makin riuh oleh munculnya ulama-ulama seleb yang populer berkat televisi maupun media sosial seperti YouTube.

Keragaman pendapat di kalangan Islam, khususnya komunitas Sunni, ada aspek positifnya: tidak ada monopoli kebenaran oleh elit agama. Tapi, aspek negatifnya: orang dibuat sibuk berdebat soal fiqh (halal/haram) tanpa benar-benar memahami akarnya.

Di masa lalu, bahkan perbedaan pendapat di lingkungan Sunni tidak seliar seperti sekarang karena ada kepatuhan tradisional terhadap organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah.

Tapi, pengaruh dua ormas ini makin luntur ketika mereka dipersatukan dalam MUI (Majelis Ulama Indonesia). Kaum muslim secara umum lebih banyak mengetahui fatwa MUI ketimbang tertib membaca hasil tarjih Muhammadiyah atau bahtsul masail NU.

Seperti kita tahu, MUI dibentuk oleh Orde Baru untuk pertama-tama mengkooptasi dan menjinakkan kaum Muslim. Disadari atau tidak, keberadaan MUI justru memperlemah pamor ormas tradisional seperti NU dan Muhammadiyah tadi.

Melemahnya peran NU dan Muhammadiyah kini diisi oleh ustadz/ulama populis yang populer di televisi atau media sosial, dengan pemikiran yang lebih beragam dan lebih riuh.

Khutbah dan fatwa di lingkungan komunitas-komunitas kecil kini bisa diakses secara luas dan diperdebatkan secara luas. Tidak hanya memicu konflik lebih luas, tapi juga perdebatan yang kurang produktif.

Jika umat Islam mau jujur, situasi seperti sekarang justru memperlihatkan hancurnya pamor keulamaan.

Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah mengembalikan pamor mereka, dengan menata dan memperkuat kembali organisasi seperti NU, Muhammadiyah dan Persis (Persatuan Islam).

Sambil menunggu solusi seperti itu, satu hal yang bisa meminimalisasi perdebatan adalah menerima keragaman interpretasi agama secara lebih rileks: fatwa seorang ulama hanya berlaku bagi komunitas yang percaya ulama itu. [ ]

*mantan wartawan Majalah TEMPO, Editor, Republika

Back to top button