Solilokui

Kota Beradab

Dalam kota hampa jiwa itu, pemerintah menyeret warganya melakukan pemujaan terhadap budaya kedangkalan. Standard ekselensi dan rasionalitas birokrasi dilumpuhkan buruknya kompetensi dan mentalitas (bablasan) pangreh praja yg cuma pandai memerintah tanpa kesiapan melayani; diperparah oleh berimpitnya penguasaan birokrasi dgn kepentingan pemodal, yang  menghancurkan  perencanaan  tata ruang  perkotaan seraya melambungkan praktik kolusi.

Oleh   :  Yudi Latif

JERNIH– Saudaraku, dalam tradisi besar umat manusia, kita temukan istilah kota (polis, civic, madina) dalam konotasi positif:  keberadaban (civility), kemuliaan (nobility), dan keteraturan (order). Penjaga kota sendiri bernama “polisi” (police), yang masih satu rumpun dengan kata “poli” (polite), yang berarti tertib sosial-santun berkeadaban.

Yudi Latif

Menjadi warga kota berarti menjadi manusia beradab. “Menjadi manusia beradab,” ujar  Fernand  Braudel, “berarti  memuliakan  tingkah  laku,  menjadi  lebih tertib-taat  hukum (civil)  dan  ramah (sociable).”

Berbeda dengan gambaran itu, perkembangan kota di Indonesia umumnya  bersifat antiteori; melenceng dari watak ideal kota yang digambarkan Max Webber sebagai tempat yang direncanakan bagi kelompok “berbudaya” dan “rasional”.

Pangkal penyebabnya diisyaratkan Clifford Geertz dalam  “The  Social  History  of  an  Indonesian  Town”.  Dalam  desain  kota kolonial (pasca-kolonial), ada  kesenjangan  antara  sektor  komersial  padat  modal  di  tangan  org asing dan sektor subsisten padat karya di tangan penduduk lokal.

Di sini, terjadi segregasi secara radikal antara sektor ekonomi, sosial, dan budaya modern dan tradisional. Implikasinya, proses menjadi kota bukan hasil konversi dari desa ke kota melalui perubahan secara gradual dari nilai dan institusi yang ada, melainkan karena tekanan dari luar.

Akibatnya,  kolonialisme  berlalu  dengan  meninggalkan  jejak  fisik,  tanpa mewariskan rasionalitas dan mentalitas kemodernannya. Di bawah  gedung  pencakar  langit  dan  apartemen  mewah,  mentalitas  udik bertahan, menjadikan kota bak hutan beton tanpa jiwa.

Dalam kota hampa jiwa itu, pemerintah menyeret warganya melakukan pemujaan terhadap budaya kedangkalan. Standard ekselensi dan rasionalitas birokrasi dilumpuhkan buruknya kompetensi dan mentalitas (bablasan) pangreh praja yg cuma pandai memerintah tanpa kesiapan melayani; diperparah oleh berimpitnya penguasaan birokrasi dgn kepentingan pemodal, yang  menghancurkan  perencanaan  tata ruang  perkotaan seraya melambungkan praktik kolusi.

Di sini, banjir jadi penanda hanyutnya rasionalitas; kemacetan penanda lumpuhnya keadaban. [  ]

Back to top button