SolilokuiVeritas

Krisis Identitas?

Salah satu akibatnya, pemerintah pusat tidak leluasa merancang program pemulihan, mengerahkan anggaran, personal, alat berat. Bahkan bantuan dari luar negeri sempat tertahan tidak masuk ke Aceh. Tentang ini, menurut sebuah siniar, 500 ton bantuan dari komunitas Aceh di Malaysia tertahan.

Oleh     :  Ana Nadhya Abrar*

JERNIH– Identitas merupakan salah satu faktor yang membuat kita percaya diri menjalani hidup. Ia lantas menjadi objek kajian berbagai ilmu, mulai dari filsafat, sosiologi hingga psikologi. Hasil kajiannya menjadi petuah bagi  banyak orang.

Beberapa tokoh mencoba merumuskan hasil kajiannya tentang identitas. Salah seorang di antaranya adalah Steph Lawler. Dia mengatakan, identitas bisa muncul sebagai identitas pribadi, identitas sosial dan identitas ego.

Identitas pribadi terkait dengan karakter khas seorang individu. Ia menjadi pengingat tentang dirinya sendiri dan hubungannya dengan orang lain. Ia bahkan menjadi referensi buat individu lain ketika berinteraksi dengan dirinya. Misalnya, berpikir out of the box.

Identitas sosial merupakan karakter seorang inidividu yang khas dalam posisinya sebagai anggota masyarakat, anggota kelompok dan warga negara. Ia muncul karena seorang individu berafiliasi sebuah dengan kelompok.  Sebuah contoh, seseorang disebut peduli dengan pelestarian lingkungan hidup karena menjadi aktivis Greenpeace. 

Identitas ego merujuk pada perasaan subjektif tentang diri seorang individu. Ia bertumpu pada hasil pikirnya tentang dirinya sendiri. Ia juga merupakan perwujudan keyakinan tentang dirinya sendiri. Sebuah misal: tidak punya rasa takut.

Di antara ketiga jenis identitas di atas, tentu saja identitas sosial yang penting didiskusikan. Soalnya, ia bisa menentukan seperti apa sebuah kelompok, bahkan sebuah negara. Ia menjadi panduan buat kelompok dan negara lain untuk berinteraksi.

Sampai di sini, muncul pertanyaan, bagaimana sebenarnya identitas sosial kita sebagai sebuah negara? Tentu tidak mudah menjawabnya tanpa mengungkapkan realitas yang riil terjadi. Itulah sebabnya kita perlu mengidentifikasi beberapa peristiwa.

Pertama, ada bencana akan yang menimpa Provinsi Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Kerugian infrastruktur dan rumah penduduk sangat banyak. Korban jiwa sudah mendekati seribu orang. Penduduk yang mengungsi belasan ribu. Namun, negara tetap enggan mengakuinya sebagai bencana nasional.

Salah satu akibatnya, pemerintah pusat tidak leluasa merancang program pemulihan, mengerahkan anggaran, personal, alat berat. Bahkan bantuan dari luar negeri sempat tertahan tidak masuk ke Aceh. Tentang ini, menurut sebuah siniar, 500 ton bantuan dari komunitas Aceh di Malaysia tertahan.

Ini menunjukkan identitas sosial kita sebagai negara setengah hati dalam mengatasi bencana alam Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Negara tidak bertindak total mengatasi bencana alam di sana. Padahal dorongan agar negara bertindak total itu sudah disampaikan berbagai lapisan masyarakat.

Kedua, ada peristiwa keluarnya Peraturan Polisi (Perpol) No. 10/2025 tertanggal 9 Desember 2025. Pasal 3 Perpol ini menyebutkan: pelaksanaan tugas anggota Polri dapat dilakukan pada kementerian, lembaga, badan, komisi, organisasi internasional, atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.

Ini mengherankan. Soalnya, sebelum itu, persisnya pada 13 November 2025, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan sebuah keputusan: polisi hanya bisa menduduki jabatan di luar kepolosian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Kalau sudah begini, Kapolri yang menandatangani Perpol No. 10/2025, bisa disebut melakukan kesalahan besar. Sebagai pejabat publik, dia dinilai melakukan pembangkangan konstitusional karena mengabaikan keputusan Mahkamah Konstitusi. Mengerikan!

Kita tidak tahu persis bagaimana respons Presiden Prabowo Subianto terhadap pembangkangan konstitusional Kapolri tersebut. Yang jelas sampai saat tulisan ini ditulis, 15 Desember 2025, kita belum dengar respons Presiden Prabowo Subianto terhadap pembangkangan konstitusional Kapolri. Padahal pembangkangan konstitusional itu sudah berlangsung enam hari!

Agaknya ini menunjukkan, identitas sosial kita sebagai negara lamban dalam mengambil keputusan. Bisa saja negara berdalih, ia membutuhkan waktu untuk berpikir. Namun, berpikir lebih lama tentang bagaimana bersikap terhadap pembangkangan konstitusional Kapolri justru berakibat negatif. Ia akan berkembang menjadi persoalan mentalitas negara.

Apakah kedua peristiwa di atas mengantarkan kita pada kesimpulan: negara kita sedang mengalami krisis identitas? Pertanyaan penting yang harus dijawab oleh negara. Namun, kita sebagai warga negara akan menjawab: ya. [ ]

*Gurubesar jurnalisme UGM

Back to top button