Leadership of Hope: Regenerasi Kepemimpinan Indonesia ke Depan
Terlalu banyak persoalan bangsa yang harus di atasi. Namun, menyakitkan sekali fenomena yang ada saat ini, narasi besar politik bangsa kita dikendalikan oleh pemain-pemain tua yang telah gagal dalam memajukan bangsa kita, tetap saja pada utak-atik copras-capres untuk perebutan kekuasaan. Belum ada pemikiran nasional untuk rembug bagaiman mengatasi krisis ini.
Oleh : Syahganda Nainggolan*
JERNIH–Bangsa Indonesia ke depan akan mengalami regenerasi kepemimpinan nasional dengan tantangan yang sangat berat. Regenerasi itu terjadi manakala tokoh-tokoh sentral dalam perpolitikan nasional, seperti Megawati Sukarnoputri, Surya Paloh, Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono, Luhut Binsar Panjaitan, dlsb, mengalami usia renta dan karenanya secara alamiah harus lengser dari perpolitikan nasional.
Berbagai kalangan yang lebih muda, seperti Anies Baswedan, Puan Maharani, Ganjar Pranowo, Agus Yudhoyono, Gatot Nurmantyo, Andika Perkasa, Sandiaga Uno, La Nyalla, dan banyak nama lain telah menawarkan diri untuk menerima estafet kepemimpinan nasional tersebut.
Persoalannya adalah, situasi nasional dan global yang menyertai regenenerasi saat ini begitu buruk, khususnya setelah berbagai masalah bertubi-tubi, yang dalam level global, ditandai dengan krisis pandemi COVID-19, perang Ukraina-Rusia dan ketegangan dagang dan politik antara Amerika/Barat dengan Cina. Di level nasional kita mengalami kemunduran ekonomi, perpecahan politik dan merosotnya moral kebangsaan. Kemerosotan moral kepemimpinan saat ini ditandai dengan merajalelanya korupsi, termasuk korupsi bantuan sosial, maupun kejahatan terkait langka dan mahalnya minyak goreng, serta pula adanya menteri-menteri yang mencari keuntungan bisnis dari situasi pandemi covid 19.
Dalam ulang tahun Mega-Bintang ini, saya akan mengupasnya dalam judul di atas, yang melihat dimensi demokrasi, dimensi keadilan sosial dan krisis global sebagai faktor penting yang harus dipertimbangan bagi semua pihak untuk kelanjutan eksistensi bangsa ini.
Kita membutuhkan kepemimpinan nasional baru yang kokoh ke depan. Kita harus meninggalkan kepemimpinan korup, yang berpura-pura cinta rakyat, dan minus nasionalisme, menuju kepemimpinan yang penuh harapan. Dimensi “leadership nasional” bukan “leader” adalah gugusan kepemimpinan, bukan sekedar seorang pemimpin.
Dibutuhkan kepemimpinan kolektif yang penuh harapan, bukan pemimpin-pemimpin lemah, apalagi sekedar menjual negara ini kepada asing. Mega-Bintang sebagai sebuah spirit, yakni spirit perlawanan atas penindasan bagi kaum miskin dan atas kepemimpinan negara yang otoriter, di masa lalu, diharapkan dapat menjadi refleksi untuk kita menemukan jalan konsolidasi kekuatan rakyat yang mampu melahirkan kepemimpinan nasional yang penuh harapan itu (leadership of hope).
Persoalan kita saat ini sesungguhnya terlalu banyak (too many) untuk kita pikirkan, kompleks dan komplikasi. Pertama, yang paling berat adalah soal demokrasi yang amburadul dan perpecahan bangsa. Dalam kacamata indonesianis, demokrasi kita saat ini bersifat tidak menentu. Ada yang menyebutnya illiberal-demokrasi, yakni demokrasi yang bersifat seolah-olah namun faktanya dikendalikan rezim yang berkuasa.
Ada juga yang menyebutnya “Jokowi’s Authoritarian Turn”. Kebebasan berserikat dan berkumpul mengalami kemunduran yang tajam, seperti kembali pada masa Orde Baru. Perbedaan pendapat diseleksi oleh rezim yang berkuasa, mereka berusaha menjinakkan dengan berbagai rayuan, sampai pada pemenjaraan aktivis, seperti yang saya dan beberapa anggota Koaliasi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan beberapa pimpinan Front Pembela Islam alami. Pemberlakuan undang-undang maupun pasal-pasal karet dilakukan terang-terangan, sekali lagi mirip dengan Orde Baru ketika menangkapi para aktivis dengan UU Subversif.
Rezim Jokowi berusaha memonopoli narasi demokrasi dan ideologi dalam versi yang mereka inginkan. Terutama ketika Jokowi mendirikan Badan Pembinaan Ideologi Pancasiala (BPIP). Ini persis ketika Suharto mendirikan BP7, Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Masyarakat dibelah oleh garis ideologi semu, Pancasila versus non Pancasila, sesuka hati definisi penguasa.
Faktanya, arah bangsa yang salah, saat ini diakui sendiri oleh “shareholders” rezim Jokowi. Surya Paloh, seorang pendiri rezim Jokowi, mengakui bahwa Indonesia saat adalah negara kapitalis liberal dan uang adalah segala-galanya, artinya bukan negara Pancasila. “You tahu nggak bangsa kita ini adalah bangsa kapitalis hari ini, You tahu nggak bangsa kita ini bangsa yang sangat liberal hari ini. Ngomong Pancasila, mana itu Pancasila?”, demikian petikan pidato Paloh di Universitas Indonesia, 14 Agustus 2019, yang dikutip berbagai media.
Megawati Sukarnoputri pada tahun ini telah menuduh DPR suka bikin undang-undang yang inkonstitusional dan orang-orang pintar di Indonesia banyak menjual aset negara. Menteri Jokowi, Mahfud MD, juga mengakui adanya situasi perpecahan bangsa yang begitu besar, serta kepemimpinan yang lemah, menuju tahun 2024 nanti. Banyak lagi potret politik yang kacau balau, seperti kegagalan pemerintah mengendalikan harga minyak goreng, penunjukan militer dan polisi aktif dalam jabatan kepala daerah masa transisi, nafsu kekuasaan rezim Jokowi untuk memperpanjang jabatan atau isu tiga periode, dan lain sebagainya, khususnya pula upaya mempertahankan UU Omnibus Law yang inkonstitusional.
Buruknya demokrasi, pengekangan atas kebebasan dan arah bangsa yang salah, sejalan dengan pembajakan demokrasi oleh kekuatan oligarki. Biaya politik yang mahal dan semakin lebih mahal lagi, menunjukkan kegagalan eksistensi ideologi bangsa dan juga ideologi partai politik saat ini. Tanpa ideologi, dan kepemimpinan yang memihak rakyat dan kepentingan nasional, maka pemilik modal mampu mengkooptasi negara dan partai politik untuk kepentingan segelintir pemilik modal itu sendiri.
Oligarki juga melakukan politik “devide et impera“, politik adu domba, agar rakyat bertikai satu sama lainnya, sehingga kehabisan energi untuk perubahan struktural. Dan itu telah terjadi, saat ini, khususnya diperlihatkan, misalnya, oleh adanya keinginan pemilik modal menentukan siapa presiden Indonesia terus menerus dan oleh kasus ketidakberdayaan rakyat memperoleh harga minyak goreng dan berbagai barang lainnya secara murah saat ini.
Kedua, terkait persoalan dalam negari, saat ini kemiskinan dan ketidakpastian hidup dirasakan oleh mayoritas bangsa kita. Survei Kompas baru-baru ini menunjukkan 70 persen orang Indonesia mengalami kesulitan membeli kebutuhan pokok. Ini sekadar indikator. Deindustrialisasi dan informalisasi sektor formal, terlebih akibat pandemi COVID-19, menjadi fenomena kehidupan, yang mana pertahanan hidup rakyat bergantung pada penghasilan terbatas harian dan pertolongan keluarga dalam “extended family“.
Memang, pasca-pandemi semua negara mengalami kesulitan dalam mempertahankan kelayakan hidup masyarakat bawah. Di Amerika, misalnya, TIME edisi Mei 2022 mengulas situasi di Amerika “Middle Class, Low Hope”, dengan “trouble with the H’s”, yakni mahalnya harga kontrakan (House), mahalnya biaya kesehatan (Health Care) dan biaya pendidikan (Higher Education).
Beberapa media di Prancis, juga mengatakan bahwa gerakan mahasiswa di Prancis saat ini bangkit merespon kepemimpinan nasional mereka, baik Macron, maupun oposisi Maria Le Pen, tidak punya konsep mengurus rakyat bawah. Persoalannya, negara-negara besar mempunyai kekayaan yang cukup untuk bertahan dalam krisis ekonomi yang panjang.
Namun, negara berkembang, seperti Pakistan dan Bangladesh, kita saksikan mengalami kegagalan dalam mempertahankan diri dalam situasi seperti ini. Indonesia, sebagai negara miskin, juga mempunyai potensi kegagalan yang sama, yakni menjadi negara gagal, rakyat miskin dan perang saudara.
Kemiskinan bangsa dan rakyat mayoritas di Indonesia selalu berulang terjadi sejak jaman penjajahan dan kemerdekaan karena nafsu segelintir elit ingin mengambil untung semuanya. Namun, saat ini adalah jaman terburuk sepanjang sejarah kita.
Pada saat Sukarno membacakan pledoinya di pengadilan Laanraad di Bandung, dalam pledoi tersebut, dia mengutuk segelintir oligarki, kapitalis Belanda dan Eropa, yang membawa keuntungan untuk negeri mereka. Namun, pada masa itu, keterjajahan membuat kita tidak berdaya dalam melawan bangsa asing.
Saat ini, saat Indonesia merdeka 77 tahun, negara ini juga tidak berdaya menghadapi segelintir oligarki rakus. Ekonomi tumbuh dalam model yang buruk. Professor Matriana Mazzucato menyebutnya sebagai model “consumption-led growth” bukan “investment-led growth”. Uang-uang yang diambil share holder sebagai keuntungan disimpan mereka, umumnya di luar negeri, bukan ditanamkan kembali dalam investasi.
Dalam kasus minyak goreng, misalnya, pemerintah terkejut atau berpura-pura terkejut, kantor pusat perusahaan perusahaan minyak goreng itu adanya banyak di luar negeri. Ekonom Faisal Basri, pada sisi lain, mencatat penjualan batubara sepanjang setahun krisis ekonomi saat ini mencapai Rp 1000 triliun, begitu juga minyak sawit yang mencapai ratusan triliun rupiah. CNBC news, pada 9 Februari 2022 mencatat, sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2021, enam emiten batu bara membukukan pendapatan Rp 133,8 triliun, naik 41 persen dari tahun sebelumnya.
Ini belum lagi situasi perang Ukraina-Rusia. Pertanyaan Faisal Basri, apa untungnya buat bangsa dan rakyat Indonesia? Setimpalkah perolehan negara dari royalti dan pajak?
Situasi kemiskinan kita, baik karena dampak pandemi COVID-19, maupun karena faktor-faktor ekonomi yang ada pra-krisis, begitu menyolok dan menyakitkan karena tidak ada tanda-tanda bangsa ini ke depan akan memikirkan kekayaan dari semua untuk untuk semua.
Tidak ada tanda-tanda yang miskin akan sejahtera. Pemimpin nasional umumnya tidak mempunyai sense nasionalisme yang kuat untuk membangun ekonomi rakyat. Tema-tema redistribusi, seperti pemerataan penguasaan lahan/tanah, penguatan upah buruh dan berbagai tema kesejahteraan tidak menjadi arus utama. Upah buruh, misalnya, secara rata-rata hanya mengalami kenaikan di bawah satu persen tahun lalu. Hanya Gubernur Anies Baswedan yang menaikkan upah minimum sebesar 5,1 persen. Itu pun para pengusaha menggugat keputusan Anies Baswedan itu.
Padahal, sesungguhnya upah buruh adalah alat redistribusi kekayaan yang paling utama. Redistribusi penguasaan tanah juga tidak terjadi. Upaya Jokowi dalam sertifikasi tanah adalah berasal dari ide genuine Hernando de Soto, seorang ekonom liberal di Peru, yang maksudnya untuk mendorong rakyat kecil masuk ke dalam market ekonomi. Sementara, konsep redistribusi asset, tanah misalnya, adalah untuk memberdayakan kemampuan produksi kaum miskin. Agar para petani mampu berdikari. Agar kita tidak terus menerus tergantung pada impor pangan.
Kita sekarang beralih pada isu global. Bagaimana situasi dunia saat ini. Setelah pandemi COVID-19 mereda dan pengaruhnya pada kita.
Professor Stiglitz dalam tulisannya “Davos 2022 meeting was a missed opportunity over globalization”, di The Guardian, 1 Juni 2022, memperlihatkan krisis global yang dialami dunia saat ini, dengan berbagai persoalan yang meliputi ketidak pastian arah ekonomi ke depan, kehancuran sistem supply-chain, dan ambiguitas banyak negara dalam melihat situasi demokrasi dan atau ultra nasionalistik, yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 serta perang Ukraina-Rusia.
Globalisasi mengalami cacat sejarah ketika di masa pandemi, negara-negara maju malah memperlihatkan ego sentris dalam memonopoli vaksin dan obat-obatan , yang membuat makna global dalam persaudaraan manusia mengalami degradasi. Mazzucato, professor pada University of London, dalam diskusi “What next for global growth?”, World Economics Forum, yang dipandu Tom Kenee, 30 Mei 2022, memperlihatkan distribusi (distributive justice) kesejahteraan saat ini begitu buruk.
Porsi pendapatan kaum buruh dibandingkan profit yang didapatkan kaum kapitalis adalah porsi terburuk sepanjang sejarah kapitalisme. Hal ini terjadi karena kontrol institusi negara, atau rezim global, terlalu lemah untuk meminta agar profit yang diperoleh segelintir elit diinvestasikan kepada sektor produksi. Terutama jika mengingat, misalnya, berbagai inovasi teknologi yang ada saat ini dihasilkan oleh riset yang dibiayai pemerintah (publik), bukan swasta.
Korporasi raksasa bekerja untuk kepentingan pemilik saham (share holders) saja. Stiglitz dan Mazzucato juga mempersoalkan tidak adanya kritik atas segelintir pengusaha farmasi yang mencari keuntungan berlimpah ruah dari pandemi COVID-19, sebuah pertanyaan besar tentang moral kebersamaan manusia hidup di dunia saat ini.
Terkait dengan situasi dunia saat ini, McKensey, dalam “Spotlight on Davos: Highlitghts from the 2022 annual meeting”, menyoroti “global instability” terkait perang Ukraina-Russia menjadi sumber utama resiko potensial dalam ketidakpastian pertumbuhan ekonomi ke depan. Hal ini menggantikan problematika pandemi COVID-19 yang mulai dapat diatasi dan inflasi ekonomi global selama ini.
Perang ini telah mengakibatkan indeks harga makanan secara global naik antara 20-45 persen sampai Q4 tahun ini. Memang dampak langsung dihadapi oleh kawasan Eropa, yang tergantung pada kebutuhan energi dan makanan, berupa naiknya jumlah kemiskinan sebanyak 44 juta orang, maupun negara-negara yang tergantung dengan gandum, nikel, material untuk pupuk seperti Amonia dan Potassium, yang diproduksi kedua negara ini dalam jumlah signifikan.
Begitu juga rasa insekuriti menghantui berbagai belahan dunia, karena kenaikan anggaran pertahanan negara-negara Barat, untuk keperluan perang, semakin tinggi.
Indo-Pasifik, baik yang diperkenalkan oleh Menteri Luar Negeri Amerika, Blinken, dalam pidatonya di Universitas Indonesia beberapa bulan lalu, maupun yang diangkat Tom Kenee dalam diskusi di Davos, beberapa hari lalu, adalah lingkungan strategis Indonesia saat ini. Indonesia, menurut framework Indopasifik, mempunyai keterikatan dengan transaksi dagang yang menembus angka tiga triliun dollar. Karenanya, kita mendapatkan tekanan besar dari kekuatan-kekuatan strategis yang akan mengambil keuntungan dalam wilayah ini, khususnya Amerika dan Cina.
Ketegangan dunia bukan saja ada di Eropa akibat perang Ukraina dan Rusia, namun saat ini ketegangan di kawasan Indo-Pasifik berada pada level kewaspadaan tinggi. Baru-baru ini, Amerika Serikat, Jepang dan Australia telah berhasil menggaet India, membentuk QUAD, untuk berhadapan dengan RRC, baik dalam perang urat syaraf, maupun perang sesungguhnya.
Indonesia, yang coba bersikap netral, khususnya dalam perang Ukraina-Rusia, pasti tidak dapat bertahan selamanya. Contoh yang paling baru adalah ketika pertemuan sektor keuangan dan perbankan G-20 di Washington beberapa pekan lalu, di mana Menteri Keuangan Amerika, Janet Yellen, mengkritik Indonesia yang coba melihat situasi sekarang sebagai situasi normal. Yellen menekankan suatu istilah baru di dunia saat ini, “FriendShore”, sebuah istilah kerja sama yang menyandarkan bantuan pada sahabat dengan “value” yang sama. Dalam tekanan global yang semakin bersifat langsung, mampukan Indonesia berjalan terus dengan “politik dua kaki”?
Situasi global saat ini, sekali lagi, sangat berbahaya bagi kita. Baik yang bersifat umum, seperti pertumbuhan global yang rendah, inflasi yang besar dan ancaman perang dunia, maupun yang bersifat langsung, seperti ketergantungan kita pada utang dan impor, membutuhkan sebuah kepemimpinan nasional yang kokoh, berintegritas dan tidak gampang tunduk pada kemauan asing.
Isu demokrasi, redistribusi dan tantangan geopolitik merupakan isu sentral bagi transformasi bangsa kita ke depan. Kedalaman persoalan, kompleksitas dan komplikasi, telah saya uraikan di atas. Pada tahun-tahun mendatang, ketika generasi tua lengser dari kekuasaan nasional, ketiga isu di atas bisa saja menjadi “bom waktu” bagi kehancuran bangsa kita. Persatuan bangsa tidak mungkin dibangun tanpa demokrasi. Demokrasi tanpa keadilan sosial akan menjadi sumber konflik sosial laten. Tanpa persatuan dan demokrasi, Indonesia akan menjadi bangsa lemah yang gampang didikte asing serta mendorong munculnya para petualang politik yang menjadi kolaburator asing.
Ini adalah persoalan yang harus diatasi. Namun, menyakitkan sekali fenomena yang ada saat ini, narasi politik besar bangsa kita dikendalikan oleh pemain-pemain tua yang telah gagal dalam memajukan bangsa kita, tetap saja pada utak-atik copras-capres untuk perebutan kekuasaan. Belum ada pemikiran nasional untuk rembug bagaiman mengatasi krisis ini.
Dalam pertemuan HUT 25 Mega-Bintang ini, tentunya kita sebagai kekuatan rakyat yang berkumpul di sini, harus mampu membangun narasi serius mengurus negara. Menyiapkan konsep-konsep pembangunan yang berbasis keadilan redistribusi (redistributive justice). Mengilhami persaudaraan, persatuan dan kebebasan.
Kita semua adalah kaum pecinta negeri ini. Kita adalah orang-orang yang bertarung dari masa-ke-masa hanya semata-mata untuk rakyat. Kita hanya tahu kepentingan nasional, bukan kepentingan pribadi. Kita, sekali lagi, harus merebut pengelolaan negara kita ini, menyingkirkan kekuasaan oligarki, dan membangun demokrasi, persatuan nasional dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Merebut dan mengelola persoalan berat ini tidak bisa dihasilkan dari politik pencitraan dan iklan berbiaya tinggi. Tidak bisa dipercayakan begitu saja pada pemimpin partai politik dan segelintir oligarki. Kita harus mencari tokoh-tokoh nasional baru yang kuat dan memihak rakyat. Mengajak mereka menguatkan barisan rakyat, buruh, tani, mahasiswa dan ulama. Mereka itulah yang akan memberi harapan pada rakyat, sebuah “Leadership of Hope”. [ ]
*Dr Syahganda Nainggolan adalah ketua Sabang Merauke Circle. Artikel ini adalah pemikiran beliau yang disampaikan pada acara “25 Tahun Mega Bintang”, 5 Juni 2022, di Solo, Jawa Tengah.