Lebah dan Madu, Perbaikan Lingkungan dan Obat
Para dokter, sejak Hipocrates (500 tahun sebelum Masehi), Ibnu Sina (abad 10) hingga para dokter masa paling mutakhir, kerap menggunakan madu lebah untuk obat luka, liver, diabetes, kanker
Oleh : Usep Romli H.M.
Menghadapi Covid 19, dianjurkan menjaga ketahanan tubuh. Memakan makanan bergizi dan bernutrisi tinggi, sebagai sumber imunisasi. Dianjurkan pula meminum madu.
Bagi kebanyakan warga, memang sulit mengonsumsi semua jenis makanan dan minuman itu. Apalagi “stay at home” dan PSBB berbulan-bulan, menghambat langkah ke luar rumah untuk mencari nafkah. Kebutuhan sehari-hari tergantung bantuan yang tentu saja tak dapat diharapkan.
Apalagi untuk meminum madu yang harus dibeli dengan harga cukup tinggi. Padahal beberapa dasa warsa lalu beternak lebah merupakan kerja “sampingan” rutin warga pedesaan. Selain menguntungkan secara material, juga berdampak luas terhadap perbaikan dan lingkungan. Sebab lebah hanya dapat hidup di tempat-tempat yang rindang, banyak pepohonan. Maka setiap peternak lebah, akan berusaha menanam pohon-pohonan untuk konsumsi lebah, seperti kaliandra, randu, mahoni, albasia, dll. Termasuk pohon buah-buahan (rambutan, lengkeng, mangga, jeruk, dll) dan bunga-bungaan (cempaka, kenari, tanjung).
Dalam istilah lain, beternak lebah sangat terpadu dengan pembentukan sistem lingkungan yang lestari.
Ketika hutan-hutan masih utuh terjaga, madu lebah dihasilkan dari kawasan itu. Terutama madu lebah liar yang lebih bagus daripada madu lebah ternakan. Seperti madu odeng, yang legendaris itu, baik cara mencarinya di tengah hutan lebat dan pohon-pohon tinggi, maupun khasiatnya yang luar biasa.
Beternak lebah untuk diambil madunya, menjadi pilihan terbaik bagi warga pedesaan yang ingin mendapat hasil tambahan, sekaligus memperbaiki lingkungan. Beternak lebah lebih aman risikonya dibanding beternak hewan lain, seperti ayam yang kadang-kadang mengundang protes masyarakat sekitar, akibat merasa terganggu oleh polusi kandang. Juga kekhawatiran ancaman virus flu burung dan sejenisnya.
Memperoleh bibit lebah untuk diternakkan, tidak sulit lagi. Banyak pedagang bibit lebah siap menyediakan, sekaligus memberi bimbingan teknis yang memadai.
Apalagi jika lebah sudah menghasilkan madu. Selain mudah diserap pasar, dengan harga relatif stabil dan memuaskan, madu lebah mengandung berbagai zat yang berguna untuk pengobatan aneka macam penyakit. Dalam suasana “kembali ke alam” di bidang pengobatan, madu berada di jajaran terdepan obat-obatan herbalis. Firman Allah SWT, Q.S.an Nahl : 68-69, yang menyatakan, madu merupakan penyembuh bagi (pernyakit) manusia, menjadi jaminan tentang peran dan fungsi madu di bidang pengobatan.
Para dokter, sejak Hipocrates (500 tahun sebelum Masehi), Ibnu Sina (abad 10) hingga para dokter masa paling mutakhir, kerap menggunakan madu lebah untuk obat luka, liver, diabetes, kanker, dll. Madu memiliki semacam zat menyerupai antibiotik, yang mampu menghancurkan microba, virus dan jamur dalam tubuh manusia.
Dengan beternak lebah dan menghasilkan madu, warga masyarakat secara langsung berperanserta melaksanakan program ketahanan pangan dan ketahanan kesehatan. Minimal untuk pribadi dan keluarganya.
Yang menjadi masalah, adalah aspek permodalan. Kredit Usaha Kecil Menengah, selama ini hanya terarah kepada bidang usaha yang dianggap sektor ril (perdagangan dan industri). Belum ada pemikiran-pemikiran baru mengenai sasaran kredit UKM. Usaha beternak lebah seharusnya dapat dianggap sebagai “sektor riil”, karena akan menghasilkan produk bermutu yang dibutuhkan konsumen.
Mungkin karena lingkungan sudah amat rusak, usaha ternak lebah diperkirakan akan merugi. Di tengah hutan semakin gundul, bukit-bukit semakin gersang, usaha galian C merajalela, mana mungkin lebah mau hidup dan berkembang. Usaha ternak lebah menjadi hal mustahil untuk dimodali kredit UKM yang banyak persuaratan itu ini, yang kadang tak terpenuhi oleh para calon penerima kredit.
Anjuran minum madu, akhirnya hanya semacam imbauan kosong tak berguna. [ ]