SolilokuiVeritas

Lembaga Independen Pengawas Sistem Merit Pasca-Putusan MK*

Setelah berlakunya UU No. 20/2023, di era Jokowi, fungsi pengawasan yang dahulu dijalankan KASN justru dipindahkan ke dua lembaga eksekutif, yakni Kementerian PANRB dan BKN. Perubahan ini menghadirkan masalah karena lembaga pelaksana kebijakan ASN sekaligus menjadi pihak yang mengawasi tindakan mereka sendiri. MK menyatakan bahwa pengawasan eksternal tidak mungkin efektif jika dijalankan oleh institusi yang memiliki kepentingan langsung terhadap objek yang diawasi.

Oleh     :  Aidul Fitriciada Azhari**

JERNIH– Pada 16 Oktober 2025 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan penting bagi agenda reformasi birokrasi di Indonesia. Putusan Nomor 121/PUU-XXII/2024 tersebut menegaskan kembali urgensi lembaga independen yang mengawasi penerapan sistem merit dalam pengelolaan Aparatur Sipil Negara (ASN). MK menilai bahwa penghapusan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dalam UU Nomor 20/2023 tentang ASN telah menimbulkan kekosongan pengawasan yang berisiko melemahkan asas profesionalitas, integritas, dan netralitas ASN.

Secara garis besar Putusan MK tersebut ingin memastikan tiga hal penting. Pertama,  MK menyatakan bahwa norma Pasal 26 ayat (2) huruf d UU ASN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa: “pengawasan Sistem Merit, termasuk pengawasan terhadap penerapan asas, nilai dasar, kode etik dan kode perilaku Aparatur Sipil Negara yang dilakukan oleh suatu lembaga independen”.

Kedua, norma tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) karena belum menjamin keberadaan lembaga pengawas independen yang memadai untuk menjaga sistem merit, netralitas, kode etik/budaya ASN.

Ketiga, MK memberi jangka waktu maksimal dua tahun untuk membentuk lembaga independen pengawas penerapan sistem merit sejak putusan dibacakan. Artinya, pada tanggal 16 Oktober 2027 sudah harus terbentuk suatu lembaga independen yang berwenang menegawasi penerapan sistem merit.

Krisis Pengawasan

Sistem merit merupakan fondasi birokrasi modern yang menempatkan kompetensi, kinerja, dan integritas sebagai dasar utama manajemen ASN. Karena itu, jabatan publik semestinya tidak diberikan berdasarkan kedekatan politik atau relasi personal, melainkan melalui proses yang objektif dan profesional.

Namun setelah berlakunya UU No. 20/2023, fungsi pengawasan yang dahulu dijalankan KASN justru dipindahkan ke dua lembaga eksekutif, yakni Kementerian PANRB dan BKN. Perubahan ini menghadirkan masalah karena lembaga pelaksana kebijakan ASN sekaligus menjadi pihak yang mengawasi tindakan mereka sendiri. MK menyatakan bahwa pengawasan eksternal tidak mungkin efektif jika dijalankan oleh institusi yang memiliki kepentingan langsung terhadap objek yang diawasi. Tanpa lembaga independen, ruang politisasi dan penyalahgunaan kewenangan dalam birokrasi semakin terbuka.

Perspektif Prinsipal–Agen

Urgensi pembentukan lembaga independen pengawasan sistem merit di antaranya dapat dijelaskan melalui kaca mata teori prinsipal–agen, bahwa relasi antara negara dan aparatur adalah hubungan pemberi kuasa (prinsipal) dan pelaksana mandat (agen). Rakyat sebagai pemegang kedaulatan memberikan mandat kepada pemerintah, dan pemerintah menjalankannya melalui ASN. Dengan demikian, ASN adalah agen negara yang berkewajiban melayani publik, bukan kepentingan golongan atau pihak tertentu.

Namun, teori ini juga menjelaskan adanya agency problem, yaitu risiko agen menyimpang dari kepentingan prinsipal. Dalam birokrasi, bentuk penyimpangannya berupa nepotisme, politisasi jabatan, pelanggaran netralitas, hingga penyalahgunaan kewenangan. Di sinilah dibutuhkan mekanisme pengawasan yang independen sebagai pengendali agar agen tetap bekerja sesuai mandat publik. KASN sebelumnya memainkan peran ini, termasuk menangani ribuan laporan pelanggaran netralitas ASN. Hingga tahun 2024, lembaga tersebut mencatat lebih dari 1.700 perkara, dengan tindak lanjut sanksi mencapai sekitar 87 persen.

MK menegaskan bahwa lembaga pengawas sistem merit memiliki nilai penting secara konstitusional. Walaupun tidak tertulis secara eksplisit dalam UUD NRI Tahun 1945, keberadaannya berfungsi menjaga prinsip pemerintahan yang bersih, objektif, dan bebas intervensi politik. Karena itu, MK memerintahkan agar pembentuk undang-undang mendirikan lembaga independen baru paling lama dua tahun sejak putusan dibacakan.

MK juga mengingatkan bahwa fungsi pengawasan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada lembaga pelaksana eksekutif, karena hal tersebut bertentangan dengan doktrin non-delegation, yakni negara tidak boleh menghapus perlindungan hak warga tanpa mengganti mekanismenya dengan pengendalian yang memadai.

Rantai Akuntabilitas

Dilihat dari teori prinsipal–agen, putusan MK ini memperkuat rantai akuntabilitas antara rakyat (prinsipal utama), pemerintah (prinsipal antara), dan ASN (agen). Ketika pengawasan diserahkan kepada institusi eksekutif, pengawasan menjadi timpang karena pengawas dan yang diawasi berada dalam posisi yang sama, sehingga mekanisme kontrol runtuh.

Lembaga independen yang diminta MK berfungsi sebagai meta-agen yang mengawasi perilaku ASN agar tetap sesuai kontrak publik. Tanpa itu, peluang moral hazard semakin besar yang dapat mengakibatkan aparat publik menggunakan kewenangannya untuk kepentingan politik atau pribadi.

Putusan MK 121/PUU-XXII/2024 memiliki implikasi besar bagi regulasi dan kelembagaan. Pemerintah dan DPR wajib merancang lembaga independen baru dengan kewenangan jelas, mandat kuat, dan mekanisme akuntabilitas yang transparan. Tantangan selanjutnya adalah memastikan independensi tersebut tidak sekadar formalitas.

Lembaga baru harus terbebas dari intervensi politik, memiliki pendanaan otonom, serta proses seleksi pimpinan yang terbuka dan berbasis merit, sebagaimana model KPK, KPU, atau OJK. Selain itu, pemanfaatan sistem digital pengawasan yang dikembangkan BKN sekalipun dapat mendukung pengendalian berbasis teknologi, tetapi digitalisasi tersebut tidak boleh sepenuhnya menggantikan independensi kelembagaan yang diatur undang-undang.

Pada akhirnya, Putusan MK 121/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa reformasi birokrasi bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal etika dan akuntabilitas. Independensi pengawas sistem merit bukan sekadar isu teknis, tetapi merupakan bagian penting dari demokrasi birokratis untuk menegakkan nilai keadilan, profesionalitas, dan netralitas sebagai roh negara hukum yang demokratis. Dalam kerangka prinsipal–agen, pengawasan independen menjadi syarat agar ASN tetap menjadi pelayan publik — bukan pelayan kekuasaan. [ ]

*Pernah dimuat Harian Kompas, dimuat ulang atas izin penulis.

* Guru Besar Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum dan Ilmu Politik-UMS; mantan Ketua Komisi Yudisial

Back to top button