Lenyapnya Berkah Allah dari Kehidupan
Berkah adalah “karunia Allah yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Atau menurut ulama sufi Imam Al Gazali, berkah adalah “ziyadatul khair”. Bertambahnya kebaikan.
Oleh : H.Usep Romli HM
Sebuah hadis sahih, riwayat Iman Bukhari dan Imam Muslim, mengungkapkan kekhawatiran Nabi Muhammad Saw, tentang lenyapnya berkah Allah SWT dari tengah kehidupan manusia. Disebutkan, berkah Allah SWT itu, ibarat “bunga dunia” (zahratud dunya), yang identik dengan kebaikan dan keindahan,sehingga mustahil mendatangkan kejahatan dan kerusakan.
“Sesungguhnya kebaikan tidak mendatangkan kejahatan. Ketahuilah, dunia ini manis dan hijau. Siapa yang mencari, mendapatkan dan menggunakannya secara benar, itulah orang yang paling nikmat hidupnya. Sedangkan siapa yang mendapatkan dunia tanpa semestinya, maka ia seperti binatang pemakan rumput yang tak pernah kenyang,”Kangjeng Nabi Saw menegaskan.
Kekhawatiran Rasulullah Saw memang sangat beralasan. Mengingat perubahan sikap umat yang memperoleh nikmat berkah Allah SWT, sering berubah. Tidak istikamah. Tidak konsisten . Mengakibatkan, berkah yang keluar dari bumi, berupa aneka macam kekayaan baik tumbuhan maupun mineral, yang sangat dibutuhkan dalam memenuhi hajat kehidupan manusia, sering diselewengkan.. Berkah yang disebut “zahratud dunya”, bunga atau keindahan dunia, yang seharusnya membawa kebaikan dan kebajikan, berubah menjadi malapetaka. Dunia yang manis dan hijau itu malam menjadi bencana. Ibarat semut terbenam di dalam gula.
Tempat yang manis dan hijau, mengandung arti subur makmur, indah permai. Tentu banyak yang menginginkan, baik untuk bermukim, maupun investasi . Namun kadangkala keinginan itu tidak terkendali. Berbagai upaya dilakukan. Termasuk cara-cara yang tidak proporsional. Tidak semestinya. Menempuh segala macam jalan pintas yang melanggar hukum. Seperti manipulasi perizinan dan peruntukan, menyimpang dari analisis dampak lingkungan, dll. Maka terjadilah hal-hal yang bertentangan dengan makna dan nilai berkah yang mengandung unsur kebaikan. Berkah yang menjadi bagian tak terpisahkan dari permohonan kepada Allah SWT, baik berupa do’a individu atau jamaah, maupun shalawat dan salam kepada para Nabi dan Rasul Allah, khususnya Muhammad Rasulullah Saw., tersia-siakan begitu saja.
Berkah yang bernilai positif, menjadi negatif, karena kelalaian umat manusia dalam memanfaatkannya. Berkah sebagai sesuatu kebaikan, tidak akan mendatangkan kejahatan. Hanya saja, tergantung dari manusia yang memanfaatkan berkah itu. Apakah ia teguh kukuh memegang amanah berkah sesuai dengan ketentuan asal sebagai sumber kebaikan dan kebajikan. Atau justru menyelewengkannya, menjadi keburukan dan kejahatan. Menempatkan berkah tidak pada tempat semestinya. Sehingga manusia pemilik dan pengguna berkah itu, berubah drastis. Kehilangan jatidiri kemanusiaan. Menjadi mirip binatang pemakan rumput yang tak pernah kenyang. Semua dimakan. Bahkan sambil buang kotoran pun. tak henti-henti memamah-biak.
Berkah Allah SWT dari langit dan bumi, memang selalu tersedia bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa. Namun berkah tersebut dapat menjadi siksa bencana, tatkala penerima berkah ingkar dari keimanan dan ketakwaan. Melupakan syukur nikmat dan memilih kufur nikmat untuk menentang Maha Pemberi Berkah. Firman Allah SWT :
“Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Kami bukakan pintu berkah kepada mereka, dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Q.s.Al A’raf : 96)
Dari hadits tadi, diperkuat ayat Quran barusan, dapatlah disimpulkan, karunia anugerah berkah Allah SWT selalu tersedia bagi umatNya yang memenuhi syarat keimanan dan ketakwaan. Yang dikhwatirkan oleh Rasulullah Saw, adalah sikap lupa diri pada manusia. Mengelola berkah itu ibarat semut mengerumuni manisan. “Zahratad dunya”, bunga atau hiasan keindahan dunia, memang menggiurkan.
Padahal, Rasulullah Saw telah membuat rambu-rambu. Dalam sebuah hadits, dinyatakan : “Orang Islam yang paling beruntung adalah orang yang memperoleh dunia (penghasilan) secara halal. Lalu digunakan untuk kepentingan di jalan Allah (fi sabilillah), menyantuni yatim piatu fakir miskin dan ibnu sabil (orang yang menjalankan tugas syiar agama Allah SWT).”
Tegasnya, orang-orang yang beruntung mendapat anugrah karunia berkah Allah SWT, adalah yang menggunakannya dengan cara benar pada jalan yang benar pula. Orang yang paling beruntung, adalah orang yang mendapat berkah serta mampu memanfaatkannya untuk kepentingan kemaslahatan sesama manusia.
Karena, berkah adalah “karunia Allah yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Atau menurut ulama sufi Imam Al Gazali, berkah adalah “ziyadatul khair”. Bertambahnya kebaikan.
Para ulama juga menjelaskan makna berkah sebagai segala sesuatu yang banyak dan melimpah, mencakup berkah-berkah material dan spiritual, seperti keamanan, ketenangan, kesehatan, harta, anak, dan usia. Semua tumbuh, berkembang, bertambah dan menjadi kebaikan yang berkesinambungan.
Penghasilan barokah bukan laba atau gaji yang besar. Tapi berupa jalan rizqi bagi yang lainnya dan semakin banyak orang yang terbantu dengan penghasilan tersebut.
“Sungguh, Allah menguji hamba dengan pemberian-Nya. Barangsiapa rela dengan pembagian Allah terhadapnya, maka Allah akan memberikan keberkahan baginya dan akan memperluasnya. Dan barangsiapa tidak rela, maka tidak akan mendapatkan keberkahan.” (hadis riwayat Imam Ahmad).
Segala sesuatu akan kehilangan berkah, jika digunakan bukan dengan keikhlasan, dan bukan dalam keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. [ ]