Long March Buruh dan Gerakan Massa
Hal ini dilakukan Nabi Muhammad ketika long march dari Madinah Ke Mekkah ketika melakukan aksi pembebasan Ka’bah, di masa lalu. Hal ini dilakukan Mao Ze Dong juga ketika melakukan long march sejauh 9.000 km di Cina untuk pembebasan Cina dari kaum nasionalis Kuomintang. Juga long march pejuang Siliwangi, dari Bandung Ke Jogyakarta dan sebaliknya di masa kemerdekaan Indonesia. Yang mutakhir, long march santri Ciamis ke Jakarta dalam aksi 212 tempo hari. Perjuangan dengan penderitaan dilakukan untuk menunjukkan spirit atau ruh perjuangan itu sendiri, agar massa rakyat meyakini bahwa perjuangan ini tidak ada jalan kembali.
Oleh : Syahganda Nainggolan*, Sabang Merauke Circle)
JERNIH– Jumhur Hidayat, ketua umum Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dengan massa Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB), aliansi dari 40 serikat buruh, telah memasuki Jakarta pada hari ini, Rabu (10/8/22). Massa bergerak ditandai dengan long march dari Gedung Sate, Bandung, selama lima hari, dipimpin Sunarti, tokoh buruh perempuan. Jumhur Hidayat ikut bergabung ber-long march dari Karawang.
Tuntutan kaum buruh adalah hapuskan UU Omnibus law selamanya. UU ini adalah alat penindasan kaum oligarki kepada buruh. UU Omnibus law ini pun melawan konstitusi UUD’45. Hal ini telah saya bahas sebelumnya dalam tulisan “Pemberontakan Kaum Buruh”.
Gerakan massa buruh yang berpusat di Jakarta dan menyebar di berbagai daerah Indonesia, dengan Long March yang dipimpin Sunarti, ketua serikat buruh SBSI92, dan Jumhur, mengandung makna penting dalam dua hal.
Pertama, long march itu adalah simbol dari sebuah penderitaan. Sebuah perjuangan tidak mungkin mencapai makna yang dalam jika sang pemimpin tidak mengalami penderitaan. Hal ini dilakukan Nabi Muhammad ketika long march dari Madinah Ke Mekkah ketika melakukan aksi pembebasan Ka’bah, di masa lalu. Hal ini dilakukan Mao Ze Dong juga ketika melakukan long march sejauh 9.000 km di Cina untuk pembebasan Cina dari kaum nasionalis Kuomintang. Juga long march pejuang Siliwangi, dari Bandung Ke Jogyakarta dan sebaliknya di masa kemerdekaan Indonesia. Yang mutakhir, long march santri Ciamis ke Jakarta dalam aksi 212 tempo hari. Perjuangan dengan penderitaan dilakukan untuk menunjukkan spirit atau ruh perjuangan itu sendiri, agar massa rakyat meyakini bahwa perjuangan ini tidak ada jalan kembali.
Makna kedua, perjuangan dengan massa rakyat yang besar menunjukkan adanya tuntutan pengembalian makna “mass society“, sebuah konsep di mana masyarakat dikembalikan dari alienasi (keterasingan), tempat kumpulan massa rakyat berbasis/ bersifat individualistik/atomistik menjadi masyarakat yang berbasis komunalitas. Merujuk pada Erick Fromm, cendikiawan Majhab Frankfurt, keterasingan manusia dalam masyarakat terjadi karena industrialisasi dan modernisasi yang begitu pesat. Keterasingan juga dibahas Karl Marx, yang mengatakan bahwa manusia hanya menjadi robot robot atau instrumental dalam industri. Manusia telah kehilangan kemanusiaannya.
Menatap ke depan
Krisis kemanusiaan dalam konteks Indonesia saat ini sudah demikian parah. Negara berkembang ke arah yang salah, di mana negara berfungsi untuk melayani kepentingan penguasa. Penguasa, khususnya aparat yang berkuasa, telah berkomplot untuk mengakumulasi kekuasaan, kekuatan dan kekayaan untuk kepentingan segelintir elit saja. Contoh terakhir terkait pembunuhan Brigadir Yosua, yang melibatkan banyak jenderal, semakin meyakini kita bahwa hukum dan keadilan semakin kehilangan makna.
Pada sisi lain massa rakyat terjebak dalam pertarungan hidup hari demi hari. Kaum buruh selama pandemi telah kehilangan penghasilan dan pekerjaan yang layak. Gaji tergerus inflasi, harga harga kebutuhan pokok dan BBM meroket tinggi. Mereka harus mengeluarkan keringat lebih banyak lagi untuk bisa bertahan hidup.
Gerakan Jumhur dkk dengan aksi sejuta buruh dan long march tentunya akan mendorong adanya spirit kemanusiaan buruh untuk membangun solidaritas kemanusiaan. Disamping itu kaum buruh akan mampu membangun front besar rakyat vis a vis melawan arogansi segelintir elit.
HOS Tjokroaminoto, Sukarno dan Tan Malaka sudah menggariskan perjuangan massa rakyat, di masa lalu, adalah sebuah keniscayaan. Maksudnya agar negara dibangun untuk kepentingan rakyat semesta, bukan segelintir penguasa dan cukong. Saat ini Jumhur dkk kembali menghadirkan massa rakyat buruh untuk membangun “mass society“, sebuah masyarakat Indonesia yang sosialistik, yang saling mencintai dan berkeadilan sosial. [ ]
*Dr. Syahganda Nainggolan, direktur Sabang Merauke Circle