Solilokui

Rektor Koruptor dan Kegagalan Revolusi Mental

Korupsi model rektor universitas Lampung ini, yakni meminta uang kepada calon mahasiswa, telah menghancurkan prinsip-prinsip keutamaan moral, menghancurkan kepercayaan diri mahasiswa untuk menjadi SDM handal di kemudian hari dan merusak reputasi universitas itu sendiri.

Oleh   : Syahganda Nainggolan

JERNIH– Rektor Universitas Lampung, Professor Karomani, petinggi organisasi keagamaan tertentu, ditangkap Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK) beberapa hari lalu, karena menjual “kursi masuk” mahasiswa jalur mandiri seharga Rp 100-350 juta per calon mahasiswa. Professor ini terkenal juga selama ini sebagai tokoh forum rektor yang mempropagandakan kampus bebas dari radikalisme. Karena menurutnya radikalisme adalah ancaman yang saat ini paling membahayakan di  lingkungan kampus.

Syahganda Nainggolan

Kita harus mengapresiasi KPK untuk penangkapan ini. Meskipun nilai rupiahnya tidak seperti kasus APENG yang bernilai triliunan maupun ketika kita kecewa KPK tidak berani atau tidak siap melanjutkan pemeriksaan kasus dugaan KKN anak Jokowi yang dilaporkan Ubaidillah Badrun. Kenapa perlu diapresiasi? Karena penangkapan kaum professor dari sebuah universitas yang dibiayai negara, merupakan simbolis penanganan kasus hancurnya moralitas bangsa kita. Alasan lainnya, sebagai pendukung militan Jokowi, professor ini harusnya dapat merupakan “benchmark” keberhasilan atau kegagalan Revolusi Mental Jokowi.

Universitas dan suksesnya sebuah bangsa

Universitas sepanjang sejarah dipercaya sebagai pusat peradaban manusia. Baik ketika dahulu kala namanya Academy di era Plato, di Athena, Yunani atau madrasah, di jaman Al Ghazali mengajar di Baghdad, semuanya dimaksudkan untuk memproduksi manusia cerdas, berintegritas dan memuliakan tujuan kehidupan.

Perdebatan dan riset tentang demokrasi, hak-hak manusia, sistem pemerintahan, tentang alam semesta serta penemuan sains dan teknologi menjadi kekayaan universitas, sehingga ia di percaya untuk mendidik manusia menjadi manusia sejati.

Universitas juga dipercaya oleh sebuah bangsa untuk menjadi referensi nilai bagi pembangunan bangsa tersebut. Misalnya, universitas selalu diminta oleh negara dalam memproduksi atau mengevaluasi sebuah undang-undang. Sebab, tanpa kehadiran kaum cendikiawan dalam hadirnya sebuah produk hukum, moralitas hukum tersebut masih dapat dipertanyakan. Begitu juga ketika negara membutuhkan riset yang sangat serius untuk sebuah produk strategis, seperti energi nuklir dan lainnya.

Kesuksesan sebuah bangsa seringkali diukur dengan suksesnya universitas di negara tersebut. Atau setidaknya kita dapat melihat korelasi kesuksesan sebuah bangsa dengan majunya universitas di negara itu. Sebuah kondisi paralel.

Negara yang mempunyai banyak universitas dalam ranking tinggi global umumnya negara maju, sebaliknya juga terjadi. Indonesia dibandingkan Malaysia, apalagi Singapura, mempunyai universitas yang rankingnya jauh lebih rendah, paralel dengan negaranya yang lebih tertinggal.

Dengan demikian, sangatlah wajar jika universitas menjadi tumpuan harapan manusia, keluarga dan juga sebuah bangsa. Sehingga, jika universitas itu terlihat gagal menjalankan misinya, kekecewaan besarpun akan datang.

Rektor koruptor, Mengapa?

Korupsi yang dilakukan rektor UNILA ini adalah jenis yang paling sadis. Korupsi yang lebih rendah kebiadabannya bisa terjadi pada korupsi pengadaan barang. Karena umumnya jejaring atau broker kekuasaan memang membuat keadaan terpaksa seseorang pejabat publik harus korupsi. Beberapa universitas swasta kaya dapat memiliki peralatan laboratorium yang canggih dibandingkan universitas negeri, karena kesulitan pejabat publik berhadapan dengan calo-calo projek.

Padahal negara sudah mengalokasikan dana untuk itu. Namun, mengkorupsi dengan model rektor universitas Lampung ini, yakni meminta uang kepada calon mahasiswa, telah menghancurkan prinsip-prinsip keutamaan moral, menghancurkan kepercayaan diri mahasiswa untuk menjadi SDM handal di kemudian hari dan merusak reputasi universitas itu sendiri.

Program penerimaan mahasiswa mandiri sebenarnya mempunyai banyak manfaat. Pertama, universitas tidak terjebak pada penyeragaman tersentralisasi, seperti era Sipenmaru tahun 1980-an. Kedua, universitas memberikan kesempatan kedua kepada calon mahasiswa yang gagal dalam saringan pertama. Kesempatan kedua secara teoritis diharapkan mampu memberikan penyempurnaan pada kemungkinan kegagalan sistem penerimaan disaringan pertama. Misalnya, ada saja calon mahasiswa genius yang terhalang masuk pada saringan pertama.

Bagaimana dengan biaya jalur mandiri? Sebenarnya, ketika kampus kesulitan mencari pembiayaan dari negara maupun upaya kampus menambah kemampuan pembiayaan sendiri, wajar saja saringan ala jalur mandiri dikaitkan dengan sumbangan calon mahasiswa. Namun, tentu saja itu bukan syarat mutlak. Syarat mutlaknya adalah kemampuan akademik dan IQ sang calon tersebut. Dan uang yang diperoleh tentu saja untuk universitas, bukan pribadi rektor dan kawan-kawannya.

Lalu kenapa rektor ini korupsi? Hal ini tentu merupakan kerusakan mental. Pertama, di lingkungan universitas negeri, di bawah jajaran Kemendikbud,  belum terdengar kabar adanya biaya suksesi yang mahal untuk menjadi rektor. Model biaya mahal umumnya terjadi untuk kursi kekuasaan eksekutif dan legislatif. Tapi, ini juga mungkin mulai berubah?

Kedua, seorang rektor dan sebagai professor, seharusnya dia sudah hidup lebih dari cukup. Bahkan, seorang professor masih mendapatkan tunjangan negara sampai usia tua.

Lalu apa motivasi rektor koruptor? Ini perlu penyelidikan serius, bisa jadi karena rektor ini korban projek Revolusi Mental?

Gagalnya Revolusi Mental

Jokowi membawa ide, semangat dan api “Revolusi Mental” ketika kampanye menjadi presiden. Menurut situs pemerintah, “Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.” (Kominfo.go.id). Dan, “Revolusi mental Jokowi ditandai dengan prinsip integritas, etos kerja dan gotong royong.” (situs Kemendikbud). Pemerintah mengalokasikan biaya untuk ide ini terwujud, khususnya dalam pelatihan pelatihan dan pendidikan (Diklat) yang diberikan kepada aparatur negara.

Penangkapan Rektor UNILA yang menjijikkan ini telah menunjukkan adanya kegagalan Revolusi Mental di dunia pendidikan. Ini memang baru sebuah indikator. Namun, indikator ini sangat penting mengingat keterlibatan rektor dan pimpinan universitas perguruan tinggi negeri dengan model korupsi yang biadab. Apalagi rektor tersebut petinggi organisasi keagamaan dan promotor utama anti radikalisme di kampus.

Bisa jadi, modus korupsi penerimaan mahasiswa baru ini sudah berkembang lama dan terjadi diberbagai perguruan tinggi negeri lainnya. Ade Armando, misalnya, pernah mengatakan bahwa mahasiswa di kampusnya mengajar, banyak yang berbayar, alias diterima masuk karena uang, bukan IQ dan kapasitas.

Lalu bagaimana nasib Revolusi Mental ini? Setelah 8 tahun Jokowi presiden? Kasus penangkapan rektor koruptor ini bukanlah satu-satunya indikasi kegagalan Revolusi Mental. Kita melihat sebelumnya kasus Ferdy Sambo, “penegak hukumnya penegak hukum” alias provos dari institusi utama penegakan hukum  pun telah menunjukkan kegagalan Revolusi Mental ala Jokowi. Belum lagi banyaknya deretan kasus-kasus korupsi dan moralitas kekuasaan saat ini. Untuk itu maka kita melihat Revolusi Mental ala Jokowi sudah gagal.

Lalu what’s next?

Kegagalan Revolusi Mental Jokowi perlu ditindaklanjuti dengan adanya sebuah upaya baru dalam memperbaiki mentalitas bangsa yang sedang terpuruk ini. Apakah melalui konsep Revolusi Akhlak ala Habib Rizieq diperlukan ke depan? Kita harus kaji. Tapi setidaknya kita sudah saatnya mengatakan,”Bubarkan Revolusi Mental ala Jokowi.” [  ]

*Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

Back to top button